Kaidah Umum Tafsir: Argumentatif, bukan Dugaan
Selain memiliki istilah dan terma teknis, setiap ilmu juga mengandung kaidah. Kendati pada mulanya menjadi aktivitas intelektual kaum Muslimin, tafsir dapat dikatakan sebagai ilmu pertama yang lahir dan berkembang pesat dalam peradaban keilmuan Islam. Sebagai disiplin ilmu, tentu bidang keislaman ini memiliki kaidah-kaidah. Dengan kaidah-kaidah ini seseorang akan dengan mudah memahami dan menggali makna Al-Quran.
Memang di kalangan para mufasir dan ushul fiqih ada uraian panjang lebar terkait cara memahami Al-Quran dan teks-teks agama lainnya sehingga, pada batas-batas tertentu, dapat dijumpai perselisihan pendapat di antara mereka dalam merumuskan kaidah-kaidah apa saja yang diperlukan dalam pemahaman teks agama. Namun, apa pun perselisihan itu, dapat diamati adanya kesepakatan di antara mereka, yaitu terkait dengan kaidah-kaidah dasar yang secara umum berlaku dan diperlukan dalam memahami Al-Quran. Tentunya, kaidah-kaidah ini mengacu dan diperoleh dari dalam Al-Quran itu sendiri.
Bukan Dugaan
Secara umum, tafsir adalah upaya menyingkap makna ayat-ayat Al-Quran dan menjelaskan maksud Allah SWT. Karena itu, dalam menafsirkan, tidak diperbolehkan bersandar pada data-data dzanni (dugaan) yang tidak meyakinkan, akan tetapi harus berdasarkan dalil-dalil logis dan nash yang muktabar dan valid. Kaidah ini mengacu pada surah Yunus, 59:
“Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?’”
Sayyid Abul Qasim Khu’i menyimpulkan dari ayat ini, setidaknya, dua poin berikut:
1. Dalam memahami dan mengamalkan nash (teks agama yang jelas dan tegas maknanya), dilarang mengikuti dalil-dalil dzanni, yakni pengetahuan yang tidak meyakinkan.
2. Terdapat larangan atau hukum haram menisbatkan sebuah konsep kepada Allah SWT tanpa ijin-Nya dan ini merupakan dosa tak terampuni sebagaimana dalam firman-Nya:
Ayat lain yang melandasi kaidah ini adalah ayat berikut: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS: Al-Isra’, 36).
Selain dua ayat di atas, terdapat banyak ayat dan riwayat yang menyatakan peringatan kepada siapa saja yang menyandarkan dirinya dan melakukan sesuatu tanpa pengetahuan yang valid dan belum pasti benar. Lebih dari itu, banyak riwayat lain dari jalur Syiah dan Ahli Sunnah yang benar-benar keras melarang dan mencegah tafsir bi al-ra’y, yakni sebentuk penafsiran yang berdasarkan pada pendapat pribadi dan takwil sesuka hati.
Oleh karena itu, tidak benar tafsir al-Quran bersandar pada pendapat pribadi mufassir dan mengikuti pendapatnya sendiri, karena ini tidak lebih dari sekadar mengikuti dzann (dugaan) dan prasangka yang tidak akan menghasilkan objektifitas dan kebenaran:
“Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS: Al-Najm, 28).
Pola-Pola Memperoleh Pengetahuan Argumentatif
Telas dijelaskan bahwa dalam tafsir al-Quran, tidak boleh mengikuti dan bersandar pada dzann dan prasangka yang tidak memiliki dasar hujjah (pembuktian) secara rasional maupun nash, namun harus dengan dalil-dalil ilmiah yang meyakinkan berdasarkan data-data logika dan nash yang valid dan memiliki kredibilitas. Seorang mufassir Al-Quran dalam proses penafsirannya harus mengikuti data-data ilmiah, rasional dan nash yang objek-objeknya teringkas sebagaimana berikut:
1. Makna zahir (literal) dari lafadz al-Quran. Makna ini merupakan salah satu sumber dan data kredibel dalam tafsir, karena sudah jelas bahwa makna zahir lafadz Al-Quran memiliki kredibilitas dan nilai autoritatif yang pasti.
2. Logika autentik. Yakni, logika dan pola penalaran yang murni dari pengaruh pemikiran pribadi dalam proses penafsiran juga merupakan salah satu sumber yang dapat menjadi dasar, karena logika merupakan hujjah dan petunjuk yang benar dan kredibel dalam diri manusia, sebagaimana Nabi SAW merupakan hujjah dan petunjuk di luar dirinya.
3. Hadis, yakni keterangan yang pasti bersumber dari Nabi SAW dalam penafsiran Al-Quran sepenuhnya memiliki kredibilitas dan layak untuk diikuti, karena ia adalah penafsir pertama langsung dari Allah SWT dan rujukan yang dapat dipercaya dalam persoalan-persoalan agama.
4. Riwayat Ahlul Bait. Dalam banyak hadis, disebutkan figur-figur lain yang menjadi referensi untuk membantu memahami Al-Quran. Nabi SAW bahkan telah mendeklarasikan secara jelas dan tegas keharusan berpegang teguh kepada hadis mereka dengan sabdanya, “Aku telah meninggalkan untuk kalian dua pusaka berat, jikalau kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian selamanya tidak akan jatuh dalam kesesatan” (Kanz Al-Ummal, Bab Al-I’tisam bi Al-Kitab wa Al-Sunnah, jld. 1, hlm. 153 & 33). Hadis dan riwayat dari para imam Ahlul Bait a.s. bisa dijadikan sandaran dalam penafsiran Al-Quran, yakni hadis-hadis sahih yang secara pasti bersumber dari figur-figur maksum a.s. tidak diragukan untuk digunakan sebagai sandaran dalam mentafsiran Al-Quran. Tentunya tidak diperbolehkan jika kualitas hadisnya adalah dhaif (lemah).
Lantas, bagaimana dengan hadis-hadis yang disebut sebagai “khabar wahid” yang memiliki syarat-syarat autoritatif (hujjiyah) dan kredibel? Apakah dapat digunakan dalam tafsir Al-Quran? Ini persoalan yang banyak diperselisihkan oleh para mufassir dan ulama hadis. Tampaknya, riwayat-riwayat yang demikian ini masih dapat digunakan sebagai sandaran dalam menafsirkan Al-Quran sehingga mufasir dapat memanfaatkannya dalam proses penafsiran al-Quran karena dapat memenuhi kriteria hujjah dan kredibilitasnya.