Kajian Singkat Musnad Imam Ahmad (Bag. Keempat)
II- Mengenal dan mengkaji Musnad Imam Ahmad
a) Nilai dan validitas kitab Musnad Imam Ahmad
Al-Madini, ahli rijal Ahlu Sunnah berkenaan dengan hal ini berkata, “Musnad Imam Ahmad adalah dasar yang besar, sumber yang tsiqah untuk ahli-ahli hadis, tempat bergantung, referensi, dan sandaran dalam berbagai perselisihan.”
Lalu Al-Madini menambahkan, “Bahwasanya tidak ada riwayat dalam Al-Musnad (Musnad Imam Ahmad) kecuali riwayat shahih menurutnya sendiri, namun ulama tidak menyepakati keshahihan seluruh riwayat yang terdapat dalam Al-Musnad.”[1]
Berkenaan dengan keshahihan dan kedhaifan riwayat-riwayat Musnad Imam Ahmad, Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis:
“Semula saya melihat bahwa dalam kitab ini tidak banyak terdapat hadis-hadis maudhu’. Ketika saya membacanya di hadapan Ali bin Ahmad ‘Urdhi, beberapa pertanyaan terlontarkan: “Apakah dalam Musnad ditemukan hadis-hadis dhaif? Dan apakah semuanya shahih?”
Saya menjawab, “Banyak hadis-hadis dhaif di dalamnya yang sebagiannya maudhu dan ja’li.”
Sebagian pengikut Imam Ahmad yang hadir di tempat itu dengan keras mengingkari keberadaan hadis maudhu’ di dalam Musnad. Mereka sangat mencelaku.”
Dinukil dari Ibnu Taimiyah bahwa hadis-hadis seperti itu terdapat dalam ziyadat (tambahan) Qathi’i (perawi hadis), bukan dalam ucapan Imam Ahmad dan juga bukan ziyadat Abdullah, putera Imam Ahmad.
Terakhir Ibnu Hajar menulis, “Hal ini mendorongku untuk mengumpulkan hadis-hadis maudhu’ yang diakui oleh para ahli dalam bidang ke-maudhu’-an hadis”[2]
b) Gaya Penulisan Musnad Imam Ahmad
Gaya penulisannya dengan urutan kelompok sahabat sebagai berikut:
- ‘Asyarah Mubasysyarah (10 orang sahabat yang dijamin masuk surga)
- Ahlul Bait Nabi saw.
- Ahlul Badr (Para sahabat Nabi saw. yang ikut dalam perang Badr)
- Ahlul Hudaibiyah (Para sahabat yang hadir dalam Perjanjian Hudaibiyah)
- Kaum Wanita
Seluruh musnad mencapai 1.700 orang dan mencakup 40 ribu hadis yang bila pengulangannya dihapus akan berjumlah 31 ribu.
Satu pembahasan yang layak untuk direnungkan adalah banyaknya volume hadis dari Abu Hurairah yang bahkan lebih banyak dari hadis-hadis ‘Asyarah Mubasysyarah, musnad-musnad Bani Hasyim dan Ahlul Bait. (Penting untuk diperhatikan juga bahwa Abu Hurairah hanya dua tahun menjangkau kehidupan Nabi saw.!)
c) Katalog berbagai musnad dalam Kitab Musnad Imam Ahmad
1- Musnad Abi Bakr, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib a.s.
2- Musnad Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Abi Bakr, Musnad Ahlul Bait (Hasan, Husain, Aqil, Ja’far, dan Abdullah), dan Musnad Bani Hasyim (Fadl dan Abbas)
3- Musnad Ibn Abbas dan Musnad Abdullah bin Mas’ud
4- Musnad Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Umar
5- Musnad Abdullah bin Umar
6- Musnad Abdullah bin Umar dan Musnad Abu Hurairah
7, 8, dan 9 – Musnad Abu Hurairah[3]
10- Musnad Abu Said Al-Khudri dan Musnad Anas bin Malik
11- Musnad Anas bin Malik dan Musnad Jabir bin Abdullah Al-Ansari
12- Musnad Jabir bin Abdullah, Musnad Makkiyain
13- Musnad Makkiyain dan Musnad Syamiyain
14, 15, 16- Musnad Syamiyin[4]
17- Musnad Aisyah[5]
18- Musnad Aisyah, Hadis-hadis Fatimah Az-Zahra a.s., Musnad Isteri-isteri Nabi saw. dan seluruh wanita lainnya
19- Mu’jam Alfadh Ar-Riwayat
20- Faharis Fiqhiyyah.
d) Jalur Kitab
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki dua putera; Abdullah dan Saleh. Setelah menyandang status santri untuk beberapa lama, Saleh (sang adik) menjadi seorang hakim (qadhi), namun Abdullah (lahir tahun 213 H) tetap berstatus sebagai santri.
Imam Ahmad sendiri tidak menulis riwayat, namun metode yang digunakan adalah membaca hadis dan sang putera, Abdullah mencatatnya.[6]
Riwayat-riwayat tersebut diambil oleh Qathi’i dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan membacakannya untuk murid yang bernama Ibnu Mudzhib. Syaibani juga mengambilnya dari Ibnu Mudzhib. Dengan demikian, maka seluruh sanad kitab kembali kepada sanad berikut:
Ahmad bin Hanbal ===> Abdullah (putera Ahmad) ===> Qathi’i ===> Ibnu Mudzhib ===> Syaibani
- Qathi’i?
Dzahabi berkenaan dengan Qathi’i berkata, “Dia bukan ahli dan juga bukan pembaharu dalam bidang hadis, namun ia hanya menyampaikan apa saja (walau tidak dia pahami atau mengerti) yang didengarnya, itupun bila dia tidak salah dalam sebagian sanad dan matannya.”
- Ibnu Mudzhib
Dzahabi berkata, “Orang terakhir yang meriwayatkan musnad secara keseluruhan darinya (Qathi’i) adalah Syeikh Abu Ali Ibnu Mudzhib. Dia bukan ahli hadis, namun kebutuhan hidup yang mendorongnya melakukan sima’ kitab dan meriwayatkannya.”
- Syaibani
Berkenaan dengan Syaibani dikatakan, “Abu Al-Qasim Syaibani juga orang yang tidak mengerti bidang ini.”[7]
Bersambung
==============================================
[1] Khashaish Al-Imam Ahmad, Abu Musa Al-Madini, halaman 13.
[2] Al-Qaul Al-Musaddad Fi Adz-Dzabb ‘An Mudnad Ahmad, Ibnu Hajar, halaman 33.
[3] Dalam musnad ke-8 juga terdapat Shahifah Hammam bin Munabbah. Hammam menukil satu shahifah shahihah (shahihah menurut klaim Dzahabi) yang mengandung sekitar 140 hadis. (Siyar A’lam An-Nubala’, 5/311)
[4] Dikarenakan di Syam pernah terdapat berbagai pabrik pembuatan (pemalsuan) hadis yang sangat aktif, sebagian ulama Ahlu Sunnah yang adil (tidak memihak) melakukan pemilahan dan mempertanyakan riwayat-riwayat dari orang-orang Syam. Melihat volume hadis Imam Ahmad dari orang-orang Syam, tampak jelas bahwa Imam Ahmad memiliki hubungan baik dengan mereka. Huraiz bin Usman Hammushi, imam jamaah Syam yang selalu melaknat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. 70 kali setelah shalat Subuh dan Isya’, saling berkirim surat dengan Imam Ahmad. Ketika ditanya mengenai Huraiz, Imam Ahmad menjawab, “Tsiqah, tsiqah, tsiqah.” Huraiz pun membacakan surat-surat Imam Ahmad yang dikirimkan untuknya pada shalat Jumat. Huraiz ingin mengatakan bahwa sebegitu pentingnya ia sehingga Ahmad menulis surat untuknya dari Baghdad.
[5] Di antara musnad yang penting dalam kitab ini adalah Musnad Aisyah yang menyebutkan, “Kami isteri-isteri Nabi terbagi dalam dua kelompok; kelompok Ummu Salamah dan kelompok Aisyah.” Bisa disaksikan Ahlu Sunnah lebih mendahulukan dan mempercayai ucapan kelompok mana; Ummu Salamah (wanita ahli fikih di antara isteri-isteri Nabi saw. dan berusia 35 tahun saat menikah dengan beliau saw., namun hingga usia 95 tahun wajahnya tetap tampak muda dikarenakan pernah membasuh wajah dengan air bekas wudhu Nabi saw.) atau Aisyah (dengan segala sikap yang ditunjukkan kepada Ahlul Bait Nabi saw.)?
[6] Abdullah lebih sering menukil hadis dari sang ayah, Imam Ahmad dan bila terkadang harus menukil dari orang lain, akan diberikan topik “ziyadat”.
[7] Siyar A’lam An-Nubala’, 13/523.