Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Pelajaran Terpenting Kebangkitan Asyura
Salah satu ungkapan Imam Husain as yang terkenal mendasari kebangkitan beliau di Karbala: “…Aku ingin beramar ma’ruf dan nahi munkar….”
Amar ma’ruf nahi munkar adalah pelajaran paling penting dan berharga dari kebangkitan Asyura Imam Husain as yang selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Kewajiban ini termasuk dari rukun agama Islam dan diterima oleh seluruh madzhab.
Amar ma’ruf nahi munkar menjadi salah satu faktor superioritas umat Islam atas pemeluk agama lain dan menjadi salah satu kritikan Al-Quran terhadap agama-agama lain yang sering melalaikannya. Peristiwa yang memiliki sisi revolusioner merubah amar ma’ruf nahi munkar dari rukun praktis dan berdimensi fikih semata menjadi prinsip-prinsip keagamaan.
Amar ma’ruf nahi munkar berarti merasakan tanggung jawab terhadap peristiwa dan kejadian sosial di sekitar kita. Kelompok atau partai ketika berkuasa dan saat kehilangan kekuasaannya harus selalu membela hak-hak bangsa.
Amar ma’ruf nahi munkar menurut seorang penulis Amerika
Michael Cook dalam pengantar bukunya tentang amar ma’ruf nahi munkar bercerita: “Seringkali saya membaca dan melihat di media bahwa seorang lelaki melakukan pelecehan terhadap seorang wanita di stasiun kereta Chicago. Wanita tersebut meminta pertolongan, namun tidak ada yang datang menolongnya. Saya memahami, dalam masyarakat kita tidak ada tanggung jawab sosial yang mendalam dan berakar. Maka saya tertarik mentelaah hal ini dan menemukan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu dasar utama dalam Islam.”
Membatasi amar ma’ruf nahi munkar dalam masalah-masalah keagamaan saja menjadi sebab lemahnya prinsip ini dalam masyarakat. Ketika kita membatasi hal ma’ruf dan munkar hanya pada kasus-kasus tertentu dan mengabaikan hal-hal yang munkar, pengaruhnya akan tampak di tengah masyarakat. Padahal ma’ruf tidak terbatas hanya pada hal-hal yang syar’i (berkenaan dengan syariat) semata, namun memiliki arti luas, yaitu segala sesuatu yang layak dan normal serta diterima oleh akal sehat semua orang, meski berhubungan dengan lingkungan hidup atau lifestyle yang lebih baik.
Menurut Ayatullah Ali Khamenei, bahkan olahraga pun sebuah hal yang ma’ruf dan mengajak untuk berolahraga juga sebuah kema’rufan. Tidak perlu kiranya kita membawakan ayat dan hadis untuk berolahraga, namun cukup dengan hukum yang diterima oleh akal. Bahkan konvensi humaniter internasional, selama kita tidak memiliki argumen yang kuat dan penjelasan hukum syar’i untuk menolaknya, maka hal itu adalah ma’ruf. Tidak menerimanya sebagai hal yang munkar.
Hal lain yang dapat melemahkan amar ma’ruf nahi munkar adalah metode penerapannya. Individu atau kelompok yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi munkar perlu mengenal permasalahan dan obyeknya (orang/kelompok yang akan diseru).
Supaya beberapa kewajiban agama dan hal-hal yang ma’ruf mengakar di tengah masyarakat memerlukan pendidikan keagamaan dan pelembagaan kebaikan dalam struktur kehidupan masyarakat. Imam Baqir as berkata, “Syiah sejati adalah orang yang bila hidup di tengah-tengah jamaah Ahlu Sunnah, ia menjadi amin (orang kepercayaan) mereka dan mereka akan mempercayakan harta, jiwa dan kehormatan mereka kepadanya.”
Al-‘Afwu adalah wasathiyah
Dalam surat Al-A’raf [7]: 199 disebutkan: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.
Biasanya ayat di atas diartikan atau ditafsirkan seperti ini: “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Namun terdapat sebuah riwayat dari Imam Baqir as yang menyatakan bahwa al-‘afwu tidak berarti pemaafan, akan tetapi wasathiyah, moderat, dan menghindari ifrath dan tafrith. Maka ayat ini mengkorfirmasikan bahwa ma’ruf tidak hanya hal-hal yang bersifat keagamaan saja.
Selanjutnya disebutkan, harus bersikap toleran terhadap orang-orang yang bodoh. أَعْرِضْ di sini kurang tepat diartikan berpaling atau melepaskan/membiarkan mereka, namun harus mengambil sikap toleran terhadap mereka.
Ifrath dan tafrith, tanda kebodohan
Tanda kebodohan dan orang bodoh yang paling tampak adalah ifrath dan tafrith. Bila ingin amar ma’ruf nahi munkar mengakar di tengah masyarakat dan membawa kemajuan, harus dilakukan dengan bijak, penuh kearifan dan strategi yang baik supaya kewajiban ini dapat diterima oleh masyarakat. Meskipun awalnya ada yang merasa keberatan, namun akhirnya akan memahami bahwa hal tersebut akan bermanfaat baginya, keluarga dan masyarakatnya.
Kearifan dan strategi yang bagus ini perlu ditekankan, karena terkadang amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa kearifan dan strategi yang baik tidak akan efektif dan memberikan hasil maksimal. Menurut ungkapan Allamah Thaba’thabai, seringkali amar ma’ruf dan nahi munkar ini justru menjadi hal munkar. Untuk keberagamaan perlu menggunakan logika dan kearifan kolektif. Ada waktunya beramar ma’ruf dengan berdiam diri, ada saatnya bangkit dan memberikan perlawanan dengan mengorbankan segala-galanya; harta benda, nyawa, keluarga, sahabat dan… demi menjaga agama (Islam) dari konspirasi dan penyelewengan yang sangat jelas.