Ketika Rumi Membedah Cinta

Rumi dan cinta
Manfaat Cinta
Rumi menjelaskan manfaat-manfaat cinta dalam pernyataannya: “Sesungguhnya cinta abadi akan mengubah—dengan izin Allah SWT—yang pahit menjadi manis, tanah menjadi emas, kekeruhan menjadi kejernihan, sakit menjadi kesembuhan, penjara menjadi taman, penyakit menjadi kenikmatan, kekerasan menjadi kasih sayang, malam menjadi siang, kegelapan menjadi cahaya, dan kekerasan menjadi kelembutan. Cintalah yang melunakkan besi, mencairkan batu, dan membangkitkan orang yang mati serta meniupkan di dalamnya kehidupan yang baru.”
Catatan: Luar biasa pengambaran Maulana Jalaluddin Rumi tentang energi cinta tersebut. Demikian dahsatnya cinta itu hingga nyaris tak ada yang tak bisa dilakukan dengan cinta. Cinta bukan berarti mengubah tatanan hukum sebab akibat, seperti kebakaran yang pasti disebabkan oleh adanya api dan kebanjiran yang pasti dikarenakan air yang melimpah. Namun cinta mengubah sudut pandang pecinta hingga api yang menyala-nyala dan membakar itu terasa dingin.
Ibrahim al-Khalil (kekasih Tuhan) adalah sang pecinta sejati. Saat api membakarnya, dia justru merasakan kedinginan, karena Tuhan menghendaki api menjadi dingin untuknya, “kuni bardan wasalam ‘ala Ibrahim” (hai, api jadilah engkau dingin dan membawa keselamatan bagi Ibrahim).
Kekuatan Cinta
Sesungguhnya cinta inilah yang merupakan sayap yang dengannya manusia yang materialis mampu terbang di udara, dan dengannya ia sampai ke pangkuan Pencipta langit dan bumi. Cintalah yang mengantarkan seseorang dari tanah ke bintang Tsuraya dan dari alam yang keras ke alam yang lembut. Jika cinta ini melalui gunung yang kokoh maka gunung itu akan terhuyun, miring, dan bergoncang. Allah SWT berfirman: “Takkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A`raf: 143)
Catatan: Mungkin bila Rumi hidup saat ini, ia akan mengatakan bahwa cinta bak pesawat jet berkecepatan tinggi yang akan melesatkan salik menuju muntaha (puncak kedekataan dengan al-Haqq). Cinta adalah motor penggerak yang akan mengantarkan pejalan cinta menuju rumah Sang Kekasih. Hanya dengan cinta manusia mampu melewati alam materi yang sempit dan menembus alam spiritual yang luas.
Penderita Cinta
Semua penderita penyakit pasti mengharapkan kesembuhan dari penyakitnya, kecuali penderita penyakit cinta yang justru berharap agar penyakitnya semakin “parah”. Mereka suka bila kepedihan dan penderitaan mereka meningkat. Oleh karena itu, aku tidak pernah melihat minuman yang lebih manis dari racun ini, dan aku tidak pernah menemukan kesehatan yang lebih baik dari penyakit ini.
Catatan: Seringkali penderita cinta itu disalahpahami dan dianggap abnormal alias ”gila”, padahal pecinta itu adalah orang yang paling waras dan paling sehat. Semua cinta itu semu dan tidak bermakna, tapi cinta Ilahiah adalah cinta hakiki dan cinta abadi. Karena umumnya manusia tidak mengenal cinta hakiki dan mereka sering berurusan dengan cinta palsu, maka mereka menganggap aneh dan kurang waras orang-orang yang sedang asyik-masyuk di jalan cinta Ilahiah. Sebaliknya, para pejalan cinta Ilahiah justru menyayangkan kebanyakan orang yang begitu serius dan siap berkorban demi cinta palsu.
Perjalanan Cinta
Alkisah, terasinglah sebilah bambo dari rumpunnya, dan kini ia lahir sebagai sebuah seruling. Ia dirundung duka dan kerinduan yang tak berkesudahan. Setiap kali ditiup, suaranya sendu menyayat hati. Rasa terpisah dari induknya membuat dia menyanyi penuh duka dan kerinduan.
Dengarkan nyanyian sendu seruling bambu,
Menyayat selalu,
Sejak dirunggut dari rumpun rimbunnya dulu,
Alunan lagu sedih dan cinta membara
Rahasia nyanyianku, meski dekat
Tak seorang pun dapat mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman yang tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala cinta yang membakarku,
Ini anggur cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan seruling…!
Catatan: Dalam kisah ini, Jalaluddin Rumi mengibaratkan manusia sebagai bilah-bilah bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Berasal dari Allah, kini kita terpisah dari-Nya. “Setiap orang yang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya,”” kata Rumi.
Dunia bagi pecinta adalah tempat yang terasing. Ia mengembara di sini sesaat dan merasakan nikmat sesaat. Dan puncak kenikmatannya adalah saat ia berhasil memandang Wajah Tuhan Yang Mahamulia. Sebaliknya, puncak penderitaan pecinta adalah saat dia dipalingkan dan dijauhkan dari melihat Wajah Sang Kekasih, al-Haqq.
Apalah kenikmatan dan kebahagiaan bagi anak ayam yang jauh dari induknya?! Apalah arti kedamaian bagi anak yang jauh dari ibunya?! Maka, apalah arti kehidupan bagi insan yang jauh dari Tuhannya?!
Ya, hanya dengan zikir dan mengingat al-Haqq hati menjadi tenang dan damai. Wujud kita adalah percikan dari samudera wujud-Nya dan hanya Dia yang Wajibul Wujud. Tanpa kehendak-Nya, kita tak pernah ada. Dia bisa saja menjadikan kita bekicot, kura-kura, keong, rumput, ketela, singkong dan apapun namanya. Tapi dengan kun fayakun, Dia menghendaki kita menjadi manusia yang di dalamnya ada tiupan Ilahiah. Bahkan kita dijadikan-Nya khalifah-Nya di muka bumi. Maka adakah kemuliaan yang lebih hebat daripada dijadikan sebagai manusia, makhluk terbaik? Lalu syukur seperti apa yang mesti kita lakukan atas kedudukan yang terhormat ini sebagai makhluk pilihan-Nya? Syukur yang mesti kita laksanakan adalah dengan hanya menyembah-Nya dan mengingat-Nya sebagai Sumber Wujud kita dan Sumber Kebaikan kita dan kita tidak boleh mengotori sumber ini dengan dekil-dekil dosa dan nista. Dan kita berikrar untuk hanya membesarkan-Nya dan mengangungkan asma-Nya serta memohon pertolongan-Nya: Iyyaka na’budu wa iyya ka nasta’in.
Syekh Muhammad Ghazali