Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara (Bagian Kelima)
Cinta Ilahi, Akhir perjalanan Pesalik
Hamzah Fansuri lebih jauh memotret insan kamil secara lebih tajam ketika beliau menjelaskan konsep mahabbah (cinta). Baginya, cinta hakiki akan terbangun antara ‘asyiq dan ma`syuq ketika tidak ada lagi noda cinta dunia. Selama masih ada kepentingan materi, maka cinta hakiki dan abadi tidak akan pernah terwujud. Maka pesalik harus berusaha sekuat tenaga untuk bagaimana caranya menghilangkan noktah-noktah hitam dan merah akibat cinta. Sebagaimana disabdakan oleh wujud insan kamil terbesar, yaitu Rasulullah saw bahwa: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan (dosa).” Dalam kaitan ini, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Cinta adalah hakikat Tuhan yang Wujud dalam alam. Ia menampakkan dirinya berupa surah dalam diri manusia. Setiap manusia yang menempah jalan menuju Tuhan mesti membersihkan diri dari sifat keduniawian. Sifat ketuhanan akan masuk dalam diri yang telah bebas dari sifat keduniawiannya. Seseorang yang telah mampu menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya ia adalah insan kamil.
Dan yang menarik, ketika Hamzah Fansuri menyebutkan cinta Ilahi sebagai terminal akhir pesalik/abid. Ya, Allah SWT memanisfestasi melalui asma-asma-Nya yang paling indah dan terbaik, supaya dengan nama-nama tersebut para pesalik mampu mengenal-Nya dengan baik dan menjalankan aktifitas ibadah dengan kesadaran tauhid tertinggi; tauhid yang mengantarkan insan pada hakikat ibadah, yaitu penyembahan yang semata karena cinta dan kerinduan kepada-Nya dan tenggelam dalam asma-Nya; hingga tiada lagi abid; tiada lagi ibadah, yang ada hanya Ma’bud (Sang Kekasih Absolut); yang ada hanya nyayian dan lagu cinta.
Dalam hal ini, Hamzah Fansuri mengatakan, “Akhir dari perjalan seorang salik adalah mendapatkan cinta Ilahi yang akan menjadikannya sebagai insan kamil.” Penggapaian ini berwujud pada kesadaran kesatuan pandang antara diri dan Tuhan, seperti terungkap dalam sya’irnya:
Ma’bud itulah yang bernama haqiq
Sekalian alam di dalamnya ghariq
Olehnya itu sekalian fariq
Pada kunhi-nya tiada beroleh thariq
Konsep Insan Kamil dalam Tasawuf Syamsudin Pasai
Tokoh sufi kesohor lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Syamsudin Pasai.
Dalam kitabnya Mir`at al-Muhaqqiqin Syamsudin Pasai menerangkan bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Uraiannya mengenai wahdat al-wujud (kesatuan transenden wujud) dapat dilihat dalam bab ketiga bukunya ini, yaitu fasal yang membicarakan nisbah (kaitan) perbuatan atau fi`il dan sifat, serta nisbah dzat dan wujud. Perbuatan kita sebenarnya, jika ditilik secara mendalam, digerakkan Tuhan, tetapi mengikuti keinginan dan gerak hati kita sendiri. Kata Syamsudin, “ “Dalil (nya ialah) firman Tuhan yang berarti: Allah Ta`ala menjadikan kamu dan perbuatan kamu”. Mengutip pernyataan Ibn `Arabi, dia mengatakan, bahwa barang siapa memandang perbuatan makhluq tiada berasal dari diri makhluq itu sendiri, maka ia benar.
Seperti Ibn `Arabi, bagi Syamsudin Pasai sempurnanya makrifat seseorang terletak pada penguasaan tujuh pengetahuan; 1. Pengetahuan tentang nama-nama-Nya; 2. Pengetahuan tentang tajalli Ilahi; 3. Pengetahuan taklif Tuhan terhadap hamba-Nya; 4. Pengetahuan tentang kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta; 5. Pengetahuan mengenai alam akhirat; 6. Pengetahuan tentang hakikat diri; 7. Pengetahuan mengenai sebab-sebab dari penyakit batin dan obatnya (Ibid).
Syamsudin Pasai juga menulis beberapa syair. Satu bait dari syairnya yang indah ialah yang ini:
Heninglah laut semata-mata
Hapuslah sekalian rupa yang nyata
Pendeklah sini sekalian kata
Isyarat pun habis dari cita
(Braginsky 2002)
Coba Anda garis bawahi pernyataan beliau: “Rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan.” Betapa indahnya beliau menggambarkan potret batin insan kamil yang jiwanya dipenuhi dengan pantulan dan cahaya asma Allah. Ketika beliau mengatakan bahwa batin manusia merupakan salinan dan duplikat dari wajah Allah, maka di sini menunjukkan bahwa insan kamil memiliki kekuatan ilahiah. Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal dikatakan:
Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku, hingga aku menjadikanmu seperti-Ku. Maka, sebagaimana Aku yang memiliki kemampuan “kun fayakun” maka engkau pun dapat mengatakan kepada sesuatu “kun fayakun”.
Kemampuan mendemontrasikan “kun fayakun” ketika seseorang berhasil menjadi salinan Allah di muka bumi. Namun menjadi salinan wajah Allah bukan perkara mudah. Kedudukan ini tidak diberi cuma-cuma, Syamsudin Pasai membatasi tipe manusia yang paling ideal ini hanya bagi mereka yang memang bersedia melalui jenjang-jenjang spiritual yang mengantarkannya kepada posisi terhormat sebagai insan kamil. Dengan kata lain, idealitas manusia bukan diukur dari sebanyak mana harta yang dikumpulkannya; secantik apa istri yang dinikahinya; sebesar dan seluas apa tahta yang didudukinya namun semua itu hanya fatamorgana yang tak berguna ketika ia belum mencicipi rasanya menjadi insan kamil. Insan kamil adalah martabat kemanusiaan yang paling tinggi dan paling mulia.