Napak Tilas Kehidupan Sayidah Khadijah as, Perempuan Pertama Pembela Dakwah Rasulullah saww (Bagian terakhir)
Bagaimana hubungan Sayidah Fathimah as dengan bundanya, Khodijah as? Bagaimana keeratan hubungan dua perempuan surga ini? Juga, bagaimana kedudukan Khodijah di mata suami tercintanya, Rasululullah saww? Kita akan mengetahuinya di bagian terakhir dari tulisan ini.
Hubungan Sayidah Khadijah as dengan Sayidah Fathimah as
Sejak masih dalam kandungan Sayidah Khadijah as, Sayidah Fathimah as senantiasa menjadi teman dan menjadi penenang bagi ibundanya. Seringkali Rasulullah saww mendengar Sayidah Khadijah as berbicara sendiri. Saat ditanya Rasulullah saw, Sayidah Khadijah as menjawab bahwa beliau tengah berbicara dengan janin yang ada di dalam perutnya. Begitupula saat para perempuan Quraisy meninggalkan Sayidah Khadijah as karena menikah dengan Nabi Muhamad saww, Sayidah Fathimah as yang masih dalam kandungan ibundanya menasehatinya agar senantiasa bersabar.[1]
Saat Sayidah Khadijah as wafat, saat itu Sayidah Fathimah as masih kecil. Beliau memegangi ayahandanya dan berkata, “Ayahku, kemana ibunda?” Rasulullah saww tidak tega melihat putri kecilnya bertanya seperti itu. Saat itu turunlah Malaikat Jibril as dan berkata, “Sampaikan salam dari Allah untuk Fathimah, dan katakana pada Fathimah bahwa ibundanya tinggal di sebuah istana di surga yang semua pondasinya terbuat dari emas, dan tiang-tiangnya terbuat dari batu Yakut merah. Dia duduk di antara Asiyah dan Maryam.” Setelah mendengar ucapan Malaikat Jibril as, Sayidah Fathimah as pun tenang.[2]
Tahun Duka dan Kesedihan Nabi Muhamad saw
Setelah berlalu beberapa tahun dari dakwah Nabi Muhamad saww, dengan segala kesulitan dan rintangan yang dihadapinya, ujian datang menimpa Nabi Muhamad saww. Pembela paling gigih dakwah Nabi Muhamad saww yang mampu menghadang gangguan-gangguan para pembesar kaum Quraisy telah meninggal dunia. Abu Thalib ialah paman Nabi Muhamad saww ialah orang yang sangat membela dan mendukung dakwahnya. Selama Abu Thalib masih hidup, para pembesar Quraisy tidak berani mengganggu Nabi Muhamad saww. Nabi Muhamad saww sangat bersedih atas meninggalnya Abu Thalib.
Beberapa bulan setelah itu, seorang lagi dari pembela dan pendukung paling gigih dakwah Nabi Muhamad saww pun meninggal dunia. Beliau ialah Sayidah Khadijah as, istri tercinta dan termulia Nabi Muhamad saww. Istri yang telah mengorbankan jiwa raga dan hartanya demi dakwah Islam. Semua harta kekayaannya digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Nabi Muhamad saww sangat terpukul atas meninggalnya istri tercintanya. Istri yang senantiasa memberikan kenyamanan dan mendampinginya dalam keadaan sedih maupun senang. Karena begitu dalam duka yang dirasakan oleh Nabi Muhamad saww, maka tahun itu dinamakan ‘’Ammul Huzn atau Tahun Kesedihan’.
Sayidah Khadijah as tutup usia pada tanggal sepuluh Ramadan tahun sepuluh Bi’tsat saat itu beliau berusia 65 tahun. Beliau hidup bersama Nabi Muhamad saww, dan mendampinginya di saat sulit dan senang selama 25 tahun.
Kedudukan Sayidah Khadijah as di Mata Nabi Muhamad saww
Beberapa tahun setelah wafat Sayidah Khadijah as, Nabi Muhamad saww menikah dengan beberapa perempuan. Namun, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, tidak ada seorang istri pun yang dapat menyamai kedudukan Sayidah Khadijah as di mata Nabi Muhamad saww, juga sangat dicintai sepertinya. Rasa kehilangan Nabi Muhamad saww sangat dalam setelah kepergian Sayidah Khadijah as dari dunia ini. Meski bertahun-tahun lamanya setelah kepergian Sayidah Khadijah as, Nabi Muhamad sawww senantiasa mengingat-ngingatnya, memuliakan saudara-saudaranya dan teman-temannya. Suatu hari, beberapa tahun setelah wafatnya Sayidah Khadijah as, Halah saudari Sayidah Khadijah as datang ke Madinah. Nabi Muhamad saw dengan sangat antusias menyambut kedatangannya, dengan semangat beliau kembali mengingat Sayidah Khadijah as, “Selamat datang, wahai Halah!”
Aisyah istri beliau tidak begitu senang menyaksikan kondisi seperti itu seraya berkata, “Kenapa selalu mengingat-ngingat dengan sedih perempuan Quraisy tua itu… padahal bertahun-tahun dia telah meninggal dunia, dan Allah pun telah memberikan pengganti yang lebih baik.”
Nabi Muhamad saww tampak murka mendengar ucapannya seraya berkata, “Demi Allah, tidak pernah aku mendapatkan yang lebih baik darinya. Dia beriman kepadaku saat orang-orang mengkafirkanku, dia membenarkanku di saat orang-orang mendustakanku, dia membantuku dengan hartanya di saat orang-orang membuatku menderita. Dan, Allah Swt telah menganugrahkan kepadaku anak-anak melaluinya bukan istri lainnya.”
Mendengar hal itu Aisyah pun terdiam dan berkata, “Sumpah demi Allah, setelah ini aku tidak akan membicarakannya lagi.”[3]
Tiap kali Nabi Muhamad saww menyembelih kambing, beliau pun akan menyuruhnya memberikan ke teman-teman Sayidah Khadijah as, “Beritahukan kepada teman-teman Khadijah, agar mereka dikirimi daging ini.” Aisyah sempat memprotes perilaku Nabi Muhamad saww ini, namun beliau menjawab, “… aku menyukai yang disukai Khadijah.”
Beliau pun terkadang mengirim hadiah untuk teman-teman Sayidah Khadijah as, “Berikan hadiah ini kepada Fulanah, karena ia teman dan pecinta Khadijah.”
Aisyah istri Nabi Muhamad saww sering merasa cemburu atas perlakuan Nabi Muhamad saww terhadap Sayidah Khadijah. Kecintaan Nabi Muhamad saww kepada Sayidah Khadijah as sangat dalam, dan penghormatannya kepadanya sangat tinggi. Ini semua dikarenakan kemuliaan kepribadian Sayidah Khadijah as dan pengorbanan yang sangat total terhadap dakwah risalah Nabi Muhamad saww.
(Euis Daryati MA)
[1] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 2
[2] Riyahan asy-Syariah jil 2, hal 203 dinukil dari Cesyme dar Bastar, Pur Sayid Aghai, hal 257
[3] Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, jil 4, hal 1824; ‘Alamun Nisail Mukminat, hal 321-324