Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara ( Bagian Keempat)
Jejak Teori Insan Kamil Ibn Arabi di Nusantara
Secara umum, tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan Kamil” tidak canggung-canggung menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha’i sebagai sufi kawakan dan sekaligus bapak sufisme, tak terkecuali ketika kita berbicara tasawuf di nusantara rasanya aroma Ibn Arabi tercium dimana-mana. Hal ini tidak mengherankan karena sebagaimana pengakuan Prof. Abdul Hadi WM., sejak abad ke-17 karya-karya penting sufi terkemuka menyebar di pusat-pusat studi keagamaan tanah air, seperti pesantren dan sudah akrab di kalangan para ulama, khususnya yang konsen tehadap kajian tasawuf dan tarekat: Dalam hal ini Prof. Abdul Hadi WM. menulis:
Pada awal abad ke-17 M dengan pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalaman, kegiatan penulisan suluk berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17 M. Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk pesisir disalin dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya Suluk Wujil karya Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan Panggung (Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi yang masyhur Diwan-i Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah judul Suluk Syamsi Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul Karim al-Jili (al-Insan al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan Persia lain mulai dipelajari secara meluas di berbagai pesantren.
Salah satu tokoh sufi kenamaan tanah air yang pemikiran tasawufnya sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sufistik Ibn Arabi adalah Hamzah Fansuri. Berikut ini kami akan mengulang sedikit bagaimana pandangan insan kamil Ibn Arabi memengaruhi pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri.
Hamzah Fansuri dan Pandangan Insan Kamil Ibn Arabi
Tasawuf Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh pandangan Ibn Arabi. Berkaitan dengan hal ini Prof. Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Madinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.
Sehubungan dengan pandangan Hamzah Fansuri terkait dengan kemuliaan manusia dan insan kamil, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Dalam pandangan Hamzah Fansuri, kemulian manusia terletak pada kesempurnaannya dalam berhubungan dengan Allah. Manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya.
Dalam Burung Pingai Hamzah menyatakan:
Mazhar Allah akan rupanya
Asma Allah akan namanya
Malaikat akan tentaranya
‘Akulah wasil’ akan katanya
Sayapnya bernama furqan
Tubuhnya bersurat Qur’an
Kakinya Hannan dan Mannan
Daim bertengger di tangan Rahman
Ruh Allah akan nyawanya
Sirr Allah akan angganya
Nur Allah Akan matanya
Nur Muhammad daim sertanya
Syair di atas menggambarkan posisi manusia yang telah menyatu dengan Tuhan. Ia menggambarkan bagaimana keseluruhan dirinya diliputi oleh asma’ dan sifat Tuhan. Tidak ada sisi dalam dirinya yang tidak diliputi Tuhan. Bagaikan Tuhan ia dikawal malaikat-Nya dan berdiri di atas kakinya yang juga merupakan malaikat-Nya (Hannan dan Mannan). Dalam tataran inilah manusia menjadi sempurna.
Anda perhatikan bagaimana Hamzah Fansuri menggambarkan sosok insan kamil secara apik dan elegan dan bagaimana ia menggunakan istilah manusia sempurna atau insan kamil dalam beberapa penjelasannya. Ini membuktikan bahwa beliau bukan hanya terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi tapi sebenarnya juga berusaha mengembangkannya dengan bahasa yang lebih mudah dan popular sehingga dapat dipahami dan kemudian diamalkan oleh para muridnya dan umat Islam di Indonesia yang peduli terhadap kajian tasawuf.
(MA)