Konsepsi Masyarakat Menurut Murtadha Muthahhari
Masyarakat dan sejarah adalah dua hal penting yang perlu dipahami untuk menganalisa dan menentukan sikap kita sebagai bagian dari masyarakat dan pelaku sejarah. Jika kita telisik lebih jauh. Sebagai agama yang komprehensif, maka Islam sudah tentu tidak hanya membahas individu saja, melainkan juga sebuah masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu beserta persoalan-persoalan yang muncul di dalamnya. Sejarah juga memiliki kedudukan penting. Bahkan di dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat dalam bentuk cerita dan sejarah tertentu. Sejarah tentang Nabi Yusuf, Maryam dan Nabi Isa dan lain sebagainya.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah, bukan pula hasil penelitian, apalagi diskursus keilmuan satu bidang, akan tetapi Islam merespon persoalan kemanusiaan yang muncul di masyarakat. Yang perlu kita pahami bahwa apa yang terjadi di masyarakat adalah fenomena, sementara pemaknaan atas fenomena tersebut membutuhkan pemahaman atau tafsiran tentang sejarah itu sendiri.
Murtadha Muthahhari lebih dari sekedar mengutip ayat untuk memahami masyarakat dan sejarah. Bagi Muthahhari, memahami hakikat dari sebuah masyarakat dan sejarah satu upaya mempertegas ideologi kita sebagai seorang muslim. Karena pemahaman kita tentang hakikat sesuatu itu (epistemologi) mempengaruhi apa yang kita yakini keberadaannya (ontologi) dan apa yang kita yakini tersebut sangat memengaruhi kita dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan (aksiologi), sehingga tindakan tersebut menjadi tahapan penting utk mencapai tujuan yang telah dirumuskan saat kita sudah memahami hakikat kehidupan ini.
Dalam bukunya Pengantar Epistemologi Islam, Muthahhari memaparkan alur kerja pikiran dan tindakan manusia. Pikiran kita pada umumnya didasari pada apa yang orang sebut sebagai pengetahuan. Pengetahuan ini disistematisasikan sedemikian rupa hingga ia mendapatkan bentuknya yang kita sebut dengan teori pengetahuan atau Epistemologi. Setidaknya, di dalam membangun kerangka berpikir, kita mulai memikirkan apa yang disebut sebagai pengetahuan. Apakah pengetahuan seperti yang disebutkan oleh para penganut empirisme bahwa pengetahuan itu adalah apa yang dialami secara empiris? Ataukah seperti penganut rasionalisme yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah konsep-konsep yang ada di pikiran kita saja? Ataukah memang pengetahuan itu ada pada level empiris dan ada juga pada level rasional seperti yang diamini oleh Muthahhari sendiri dan filosof muslim lainnya.
Empirisme akan membatasi pengetahuan itu terhadap sesuatu yang bersifat empiris, tampak oleh panca indera manusia. Selain itu, tidak bisa disebut sebagai pengetahuan. Berbeda dengan pendapat pertama, Rasionalisme berpendapat bahwa yang disebut pengetahuan bukan saja yang ada di luar, melainkan ada juga pengetahuan yang berasal dari rasio kita sendiri. Kerangka atau struktur pengetahuan seseorang selanjutnya akan sangat memengaruhi cara pandang kita tentang segala sesuatu yang ada di alam ini. Cara pandang ini kita sebut dengan world view atau pandangan dunia.
Pandangan Dunia. Pandangan dunia merupakan kesimpulan kita mengenai hakikat segala sesuatu yang ada di alam ini, baik itu Tuhan, manusia maupun alam semesta. Oleh karena itu, setiap manusia pasti memiliki pandangan tentang masyarakat dan sejarah. Dua aliran epistemologi di atas memiliki konsekuensi logis pada struktur keyakinan mereka terhadap segala sesuatunya. Aliran empirisme ketika menyoroti masyarakat dan sejarah, maka pemahamannya cukup pada sisi materialnya saja. Karena selain materi tidaklah ada. Sementara itu, rasionalisme memfokuskan optimasi akliyyah pada kumpulan individu dan sejarah. Mereka menolak pandangan bahwa landasan dari masyarakat dan sejarah hanya dari sisi materialnya saja. Adapaun Islam sebagai agama yang juga memiliki pandangan mengenai masyarakat dan sejarah akan melihat secara komprehensif dan dari berbagai sisi (akan dibahas pada sub tema terakhir).
Muthahhari terlebih awal mengklarifikasi konsep masyarakat. Bahwa masyarakat tidak sekedar suatu bentuk kehidupan bersama, sama-sama hidup di tempat yang sama, dimana kebersamaannya hanya dilandasi oleh ikatan biologis (beranak-pinak), atau instingtif pada kedekatan jenis spesies suatu makhluk hidup. Bagi Muthahhari, hidup bersama belumlah merupakan hal yang disebut masyarakat, seperti kumpulan pohon di hutan yang juga tumbuh bersama, atau kumpulan hewan yang tumbuh bersama dan saling berhubungan dalam relasi spesies dan dalam kebutuhan rantai organisme.
Masyarakat dalam pandangam Muthahhari muncul dalam suatu ikatan pemikiran, kebutuhan hidup, dan sarana untuk mencapai satu tujuan kemanusiaan seperti keadilan, kesejahteraan, atau kebaikan bersama. Karenanya, dalam masyarakat terbentuk di dalamnya sistem-sistem, adat-istiadat, yang diramu oleh suatu jenis pengetahuan (pandangam dunia). Maka, tegas Muthahhari, hanyalah manusia yang disebut sebagai masyarakat. Karena manusialah yang sanggup membangun kebersamaannya dalam ruang kebudayaan dimana terdapat interaksi alam pikiran individu-individu dalam membentuk sistem sosial politik, ekonomi, hukum dan kelembagaan sosial lainnya.
Selanjutnya, dalam konteks sebab membentuknya manusia menjadi suatu bangunan masyarakat, Muthahhari, dengan merujuk pada al Quran, menegaskan bahwa bermasyarakat bagi manusia terutama adalah karena fitrah-Jiwanya. Muthahhari percaya bahwa Tuhannlah yang mensetting jiwa manusia untuk cenderung pada ikatan-ikatan sosial kesukuan dan kebangsaan. Meskipun, tak dapat ditampik bahwa boleh jadi bentuk kebermasyarakatannya manusia dapat saja dilandasi oleh motif kerjasama baik dalam rangka membangun kekuataan fisik lantaran adanya ancaman-ancaman dari luar dirinya atau komunitasnya, atau kerjasama sebagai hasil perhitungan untung rugi untuk mendapatkan sesuatu seperti konsinyasi permodalan pihak-pihak yang sedang bekerjasama dalam ekonomi.
Dengan mempijakkan pandangan dunia kemanusiaan pada intimasi nilai-nilai kejiwaan manusia. Maka, eksistensi masyarakat dalam terang pandangan agama, terdapat suatu proyeksi besar dalam sejarah yakni ‘saling memahami’ (lita’arofu), dimana dengan proyeksi ini, budaya dan peradaban terbentuk. Dengan upaya saling memahami manusia hadir dalam suatu dinamika sejarah yang progresif dan tidak stagnan sebagaimana kehidupan hewan pada umumnya. Masyarakat dengan begitu tak sekedar berkumpul tapi membentuk visi-misi, tujuan bersama yang dirancang dengan kesadaran penuh tentang kemestian menghadirkan kenyataan akan sesuatu yang baik yang mampu membawa setiap individu pada kebahagiaannya.(Oleh: Fardiana Fikria Qur’any, M. Ud)