Level Cinta Tertinggi: Perbedaan antara Hubb dan ‘Isyq
Ungkapan cinta dalam bahasa Arab pada umumnya digunakan kata “hub”, “’isyq” dan “wudd” atau “mawaddah”. ‘Isyq merupakan level mahabbah (cinta) yang paling tinggi. ‘Isyq adalah cinta yang di atas mahabbah. Mahabbah pada tingkatan yang biasa terdapat pada setiap manusia. Dengan kata lain, ‘isyq adalah jenjang cinta yang luar biasa, sedangkan mahabbah adalah jenjang cinta yang biasa.
Orang-orang Arab menggunakan istilah hababu al asnân untuk kesegaran, keputihan dan kebeningan gigi. Jadi, mahabbah berasal dari hubb yang merupakan nama untuk kejernihan dan kebeningan persahabatan.
Ada juga yang berpendapat bahwa akar kata mahabbah adalah “hubâb” yang merupakan sesuatu yang saat hujan deras yang turun akan tampak (muncul) pada permukaan air. Karena itu, mahabbah adalah mendidihnya hati dan dorongannya untuk bertemu dengan sang kekasih.
Sebagian pakar bahasa mengatakan bahwa mahabbah merupakan derivasi dari “habâbu al mâ’” yang merupakan batas maksimal dari volume air. Jadi, mahabbah adalah puncak dan batas maksimal persahabatan dan kecintaan dalam hati.
Penulis Kasyf al Mahbub, al Hujwiri mengatakan bahwa hub boleh jadi berasal dari habb yang bermakna benih. Hubb bermakna demikian karena ia bersemayam di benih-benih hati, tetap tak tergoyah sebagaimana benih berada di tanah dan menjadi sumber kehidupan meski hujan-badai menerpa dan panas matahari membakar. Hubb juga disebut demikian karena kata itu berasal dari hibbah yang berarti benih tetanaman. Cinta disebut hub karena sebagaimana hibbah adalah benih tanaman, ia adalah benih kehidupan.
Kata hubb dengan pelbagai derivasinya digunakan tidak kurang dari 74 kali secara langsung dalam ayat-ayat Alquran
Adapun kata “isyq” dalam bahasa Arab berasal dari kata “’asyaqah”. Dan ‘asyaqah adalah nama tumbuhan yang sifatnya menempel kepada apa saja yang ia sampai kepadanya. Misalnya, ketika ia sampai kepada suatu tanaman maka ia akan mengelilinggi tanaman tersebut sehingga tanaman itu terbatas dan terpusat pada keinginannya. Kondisi seperti ini akan timbul pada seseorang dan pengaruhnya—tidak sebagaimana cinta biasa—membuat manusia keluar dari kondisi alamiah; tidak lagi tertarik untuk makan dan tidur; dan seluruh konsentrasinya tertuju kepada ma’syuq (sang kekasih), yakni semacam kebersatuan dan kemanunggalan terwujud padanya. Jadi, ia terputus dari segala sesuatu dan hanya teringat dan tertuju kepada satu hal dimana segala suatu menjadi bayangan kekasihnya.
Kisah legenda dalam Roman Arab antara Laila dan Majnun sejatinya adalah hikayat antara ‘asyiq (pecinta) dan ma’syuq (yang dicintai). Majnun telah mencapai level cinta tertinggi, yaitu ‘isyq, sehingga lamunan dan khayalannya hanya tentang Laila. Majnun hanya berpikir bagaimana menggembirakan dan menghibur Laila. Baginya, penderitaan Laila adalah penderitaan dirinya. Sebaliknya, kesenangan Laila adalah kesenangan dirinya. Cinta Majnun kepada Laila sudah menyatu dan memadu. Dan kebersatuan dan kesatuan dalam cinta disebut dengan ‘isyq. Level cinta yang mencapai tahapan ‘isyq pasti menegasikan keakuan dan justru menerbitkan kekitaan. Yang ada hanya kita dan aku telah tiada.
Kisah berikut ini menjadi bukti bahwa Laila dan Majnun telah menggapai kemanggulan dalam cinta. Syahdan, Majnun terlambat datang dan di waktu tengah malam ia mengetuk pintu rumah. Laila tidak langsung membukakan pintu tapi bertanya, siapa gerangan di balik pintu? Majnun menjawab, kamu. Dan Laila pun segera membukan pintu dengan senyuman yang mengembang di pipinya. Majnun sadar dan berpengalaman bahwa bila ia menjawab, aku maka Laila tidak akan pernah membukakan pintu untuknya. Majnun ingin memberikan pelajaran kepada para pecinta sepanjang sejarah bahwa problema rumah tangga itu berakar dari keakuan dan banyaknya “aku”dalam satu rumah. Ibarat perahu yang dikomandoi oleh dua nahkoda, maka tentu akan sulit berjalannya dan akan berhenti di tengah jalan.
Muhyiddin Ibn Arabi yang menganggap ‘isyq sebagai agama dan keimanannya berkata tentang ‘isyq seperti ini:
Setiap orang yang mencoba mendefenisikan ‘isyq maka sejatinya ia tidak mengetahuinya. Dan orang yang belum merasakan satu teguk dari cawannya maka ia belum mengetahuinya. Dan orang yang mengatakan bahwa aku telah puas dari meminumnya maka ia belum mengetahuinya. Jadi, ‘isyq adalah minuman yang tidak pernah memuaskan (dahaga) seseorang pun.
Murtadha Muthahari berpendapat bahwa hubungan terhadap seseorang atau sesuatu ketika mencapai puncaknya sehingga wujud manusia dikuasai dan mutlak wujudnya didominasi olehnya maka itu dinamakan dengan ‘isyq. Jadi, ‘isyq merupakan puncak hubungan dan perasaan.
Jadi, hubungan vertikal antara hamba dan Maula (Sang Pemimpin) harus dibangun dengan cinta dan ditingkatkan kadarnya sampai pada level cinta tertinggi, yaitu ‘isyq. Dan ketika insan salik telah mencapai maqam ‘isyq maka ibadahnya tidak akan pernah dihinggapi dengan kemalasan, bahkan ia senantiasa melakukan aktifitas zikir dan munajatnya dengan penuh kesemangatan dan kesenangan.
Persoalan kita selama ini adalah bahwa ibadah yang kita bangun tidak dilandasi dengan akar cinta dan ‘isyq, sehingga kita masih kedodoran dan keteteran dalam amalan fardhu kita. Kita belum menjadi Majnun “pecinta yang gila”, kita memang sudah gila tapi gila dunia: gila harta dan tahta. Dan kata pepatah Arab, al-junun funun (kegilaan itu banyak modelnya). Maka beruntunglah orang-orang yang gila, yaitu orang-orang yang tenggelam dalam zikrullah. Dan merugilah orang-orang yang tergila-gila dengan dunia yang fana.
Cinta mengurai tirai dan melepas hijab (penutup) antara pecinta dan yang dicintai atau antara ‘asyiq dan ma’syuq. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
یقول الله عزوّجل: اذا کان الغالب علی العبد الاشتغال بی جعلت بغیته و لذّته فی ذکری، فاذا جعلت بغیته و لذته فی ذکری عشقنی و عشقته، فاذا عشقنی و عشقته رفعت الحجاب فیما بینی و بینه و صیرت ذلک تغالباً علیه، لا یسهو اذا سها النّاس
Allah Azza wa Jalla berkata: Bila kesibukan seorang hamba difokuskan pada-Ku maka Aku jadikan obsesi dan kenikmatannya terpusat pada mengingat-Ku. Saat Aku jadikan obsesi dan kenikmatannya pada-Ku maka ia akan mencintai-Ku dan Aku pun mencintainya. Bila ia dan Aku saling mencintai maka hijab-hijab antara Aku dan ia akan dilepas, dan Aku membuatnya menyaksikan dominasi keindahan dan kebesaran-Ku, sehingga ia tidak lalai saat banyak orang lalai.
Syekh M.G.