Thariqah Alawiyyah: Pintu Masuk Menuju Pelbagai Tarekat dan Tasawuf

thariqah alawiyyah
Sejarah budaya dan peradaban selalu menunjukkan adanya kecenderungan spiritual dan ’irfan (mistik) pada manusia. Pelbagai kebutuhan manusia—setelah diamati—ternyata lebih tinggi dari sekadar tuntutan ruang dan waktu. Tentu saja hal ini mendukung orientasi spiritual yang ada pada manusia tersebut. Di sisi lain, para pemimpin spiritual dunia yang paling terkemuka adalah para nabi dan para sahabat mereka, sehingga mayoritas mereka yang terlibat dalam urusan spiritual dunia terbentuk dari para pengikut orang-orang ini. Namun selalu saja di samping agama-agama asli dan para nabi yang benar, terdapat fenomena orang-orang yang mengaku-ngaku dan para pembohong. Masalah ini memiliki pelbagai penyebab dan sepanjang sejarah ia menunjukkan identitasnya dengan bermacam bentuk, bahkan sebagian penyimpangan agama dan spiritual begitu serius dan dalam sampai-sampai kelompok atau aliran spiritual yang menyimpang mengklaim dirinya sebagai realitas tasawuf.
Manusia modern yang telah cukup lama jauh dari nilai spiritual dan hanya berurusan dengan dunia materialis dan tidak menganggap penting nilai selainnya, kini sangat berkeinginan dan cenderung tergesa-gesa untuk terjun ke dunia spiritual, bak masyarakat yang telah lama mengalami kekeringan lalu mendapatkan air yang melimpah, sehingga mereka mengambil setiap tradisi kuno ’irfan dan spiritual—apapa pun nama dan ajarannya—dan berusaha memuaskan dahaga mereka dengannya.
Lebih dari seribu tahun silam, seorang guru sufi bernama Ali Ibn Ahmad pernah mengeluh bahwa tak banyak orang mengetahui ihwal apa sesungguhnya tasawuf itu. Sekarang ini, katanya, “tasawuf adalah nama tanpa realitas, tetapi dahulu ia adalah realitas tanpa nama.”[1]
Dan salah satu realitas tasawuf tanpa nama-nama dan aturan-aturan formal yang terlalu mengikat—sebagaimana umumnya ada pada pelbagai tarekat—adalah Thariqah ‘Alawiyyah. Betapa tidak, thariqah ‘Alawiyyah adalah thariqah sulukiyah yang bersifat umum dan tidak formal serta tidak pernah menjadi jam’iyyah shufiyyah (lembaga tasawuf).
Menurut Dr.Umar Ibrahim, embrio Thariqah Alawiyyah berada di tangan Ahmad bin Isa al-Muhajir, dan beliau bukanlah pendirinya. Sebab, pemikiran-pemikiran Ahmad bin Isa al-Muhajir menjadi landasan Thariqah Alawiyyah.
Al-Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir[2] al-Alawi beliau hijrah dari Bashrah Ke Hadramaut pada tahun 319. Beliau adalah salah satu perawi hadis ahlul bait dan dikenal dengan sebutan tsiqatun ‘alawi (perawi hadis yang terpercaya dari keturunan Sayidina Ali).[3]
Thariqah Alawiyyah bila dilihat dari sisi ajarannya berasaldari dua jalur utama: 1- jalur Abu Madyan al-Maghribi 2-jalur imam-imam ahlul bait dan para ulama keturunan mereka, sehingga thariqah ini terkesan sebagai pertemuan antara tarekat sufiyyah sunniyah dan tradisi Syiah ahlul bait. Kalau memang benar teori dari kaum orientalis Belanda yang menyatakan bahwa Islam ke Indonesia datangnya dari Hadramaut, bahkan yang di Gujarat pun adalah imigran-imigran dari Hadramaut maka pada dasarnya Islam yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami harmonisasi antara Ahlu Sunah dan Syiah.
Thariqah Alawiyyah termasuk tarekat yang muktabarah dan diakui keabsahannya sebagai tarekat,bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia. Ada 41 tarekat yang dianggap muktabar di dunia dan salah satunya adalah Thariqah Alawiyyah.
Melalui Muhammad bin Alawi yang dikenal dengan Al-Faqih al-Muqaddam lahirlah Thariqah Alawiyyah.
Al-Faqih al-Muqaddam adalah seorang tokoh dari Thariqah Alawiyyah yang berjasa mengenalkan tasawuf di Hadramaut dan kemudian ajaran tasawuf beliau ini dikembangkan oleh keturunannya di Indonesia.
Tapi apakah benar Al-Faqih al-Muqaddam sebagai pendiri Thariqah Alawiyyah? Karena salah satu syarat pendiri thariqah adalah menulis buku tarekat, padahal sampai sekarang belum ditemukan buku tentang tarekat yang ditulisnya. Yang ada cuma ditemukan kutipan-kutipan pernyataan Al-Faqih al-Muqaddam di pelbagai buku. Menurut Dr. Umar Ibrahim, mungkin saja beliau memiliki buku tentang tarekat hanya saja karena pernah terjadi prahara di Hadramaut kala itu sehingga buku beliau kemungkinan hilang.
Krakteristik dan kriteria Thariqah ‘Alawiyyah:
1-Tidak mengenal keharusan baiat, tapi afdhaliyyah saja.
2-Tidak mengharuskan adanya guru, tapi afdhaliyyah.
3-Keseimbangan antara Riyadhah al-abdan dan riyadhah al-qulub. Dengan kata lain, Thariqah ‘Alawiyyah berada di posisi tengah-tengah antara pendekatan Riyadhah al-abdan yang diusung oleh Imam Ghazali dan riyadhah al-qulub yang diikuti oleh Syadzili.
4-Tidak ada keharusan ijazah, tapi tapi afdhaliyyah saja.
5-Tidak ada keharusan al-khirqah as-shufiyyah.
Ciri pemikiran Thariqah ‘Alawiyyah adalah
1-al-khumul (anti popularitas)
2-al-faqr (henya butuh kepada Al-Haqq)
Dari pemaparan di atas menjadi jelas bahwa Thariqah ‘Alawiyyah begitu gampang dan sederhana sehingga mudah diikuti dan dimasuki oleh semua oranng. Sehingga karena itu, Dr. Umar Ibrahim berpendapat bahwa Thariqah ‘Alawiyyah adalah TK-nya orang-orang yang mau mendalami tasawuf.
Dan dalam disertasinya tentang Thariqah ‘Alawiyyah, Dr. Umar Ibrahim membedakan antara Thariqah dan tarekat, yaitu:
1-Thariqah tidak mengandung unsur duniawi, tarekat dominan unsur duniawinya
2- Thariqah itu terkesan madrasah ruhaniyyah atau halqah sufiyyah, sedangkan tarekat terkesan jam’iyyah sufiyyah.
M. Ghazali
[1] William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi (Mizan, 2002) hal. 17.
[2] Dalam Thariqah Alawiyyah disebutkan bahwa karena beliau berhijrah dari Bashrah ke Hadramaut maka beliau dijuluki al-Muhajir.
[3] Menurut KH Abdullah bin Nuh dan Sayed Dhiya Shihab, orang yang pertama kali datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam di Nusantara (secara kelompok besar, bukan perorangan) adalah dari keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir yang bernama Syarief Jamaluddin al-Husain al-Akbar yang wafat di Bugis. Beliau Lahir di Kamboja sebagai putra dari Ahmad Jalal Syah yang lahir di Nasrh Abad,India yang dikenal dengan keluarga Azhomat Khan. Keluarga ini masih keturunan Abdul Malik bin Alwi, Shohibul Mirbath.[3]