Maafkan dan Suruh Dia Berbuat Baik!
Hal menyuruh orang lain supaya dia berbuat kebaikan, dan melarang dia supaya menjauhi perbuatan yang buruk, di satu sisi menuntut si penyuruh tak cuma bisanya menyuruh kebaikan, tetapi dia sendiri pun melakukannya(1). Di sisi lain, hal itu menjadi tugas dan merupakan kewajiban baginya dan bahkan bagi orang yang dia suruh juga. Jadi, dalam perkara ini mereka bisa akan menerima dobel balasan atau satu apresiasi dan satu depresiasi di sisi Tuhannya.
Sebagai contoh, seorang da`i atau mubalig ketika menyerukan bederma, apakah ia sendiri melakukan itu? Jelas tak perlu ia tunjukkan apa yang dia lakukan, dan orang lain tak berhak mempertanyakan hal itu. Namun, terlepas dari persoalan ini, posisi dia adalah sebagai figur mereka.
Amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri memiliki arti yang luas dan nilai universal. Ketika kebaikan seperti berlaku adil ditinggalkan, dan keburukan seperti berlaku lalim dilakukan, maka yang bertanggung jawab kepada masyarakat bukan cuma Anda atau saya saja, tetapi kita semua.
Adalah tanggung jawab setiap orang apabila terjadi di masyarakatnya keburukan itu dilakukan dan kebaikan itu ditinggalkan. Oleh karenanya, tak boleh ia diam saja terhadap –fenomena- yang wajib ditinggalkan dan yang haram dilakukan. Amar ma’ruf nahi munkar dalam arti menegakkan kewajiban dan mencegah keharaman ini adalah kewajiban dan tugas bagi semua individu masyarakat.
Ayat-ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ma’ruf dalam syariat Islam, artinya adalah semua yang wajib dan yang sunnah. Maka mendorong umat untuk melakukannya, adalah amar ma’ruf. Sedangkan munkar, artinya adalah semua yang haram dan yang makruh. Maka menarik atau mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan ini, adalah nahi munkar.
Mengenai pentingnya amar ma’ruf nahi munkar diterangkan dalam riwayat-riwayat Ahlulbait Nabi saw, di antaranya ialah: sebagai sebuah kewajiban yang paling mulia, faktor tegaknya kewajiban-kewajiban dalam agama, termasuk perkara-perkara keagamaan yang sangat jelas, yang mengingkarinya dihukumi kafir, dan bila ditinggalkan maka keberkahan akan dicabut dan doa akan ditolak.
Di dalam fikih, hukumnya adalah wajib kifa`i. Yakni, dengan dilakukannya oleh sebagian orang dari mereka, maka menjadi tidak wajib bagi sebagian lainnya. Namun jika semua orang meninggalkannya, berarti mereka telah meninggalkan kewajiban ini.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban ini, ialah:
Firman Allah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”(2)
“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang sangat penting.”(3), dan ayat-ayat lainnya.
Hal-hal Terkait yang Perlu Diperhatikan
Syaikh Baqir Irwani dalam kitabnya, “Durus Tamhidiyah fi al-Fiqh al-Istidlali” juz pertama, bagian Amr Ma’ruf Nahi Munkar, setelah membawakan ayat-ayat tersebut termasuk ayat di atas QS: al-A’raf 199, mengatakan: “(Semua ayat ini) Setelah dipadukan dengan kaidah “uswah” (keteladanan) yang dipetik dari QS: al-Ahzab 21: “Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu.”
Yang dapat penulis pahami dari keterangan ini, ialah bahwa kita sebagai umat Nabi saw, terutama ulama kita yang disebut-sebut sebagai pewaris para nabi as, dalam keberagamaan harus meneladani nabi Muhammad saw. Di antara bentuk peneladanan ini ialah ber-amar ma’ruf nahi munkar, dan bagaimana melakukannya dengan baik dan benar. Perkara ini memerlukan pengetahuan tentangnya yang dapat diperoleh melalui telaah sirah Rasulullah saw. Dengan kata lain, ada hukum dan etika Islam di dalamnya.
Secara ringkas yang ingin disampaikan di sini ialah pertama, bahwa setiap tindakan kita hendaknya berdasarkan pengetahuan yang menjadi alasan kita melakukannya. Sebagaimana kata bijak: “Tiada satupun gerak kecuali memuat pengetahuan tentangnya.” Terlebih tindakan itu menyangkut orang lain ketika seseorang menyuruh dan melarang orang lain untuk berbuat sesuatu.
Ada persyaratan, tahapan dan batasan serta etika yang perlu diperhatikan di dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Di antaranya, terkait dengan tahapan atau levelnya ialah apabila dengan tahap paling rendah mencapai tujuan, maka tidak boleh menggunakan tahap yang di atasnya.
Sebagai misal, kesalahan yang dilakukan seseorang di tengah masyarakat, jika dengan teguran –sampai pada pilihan- yang keras terhadapnya cukup efektif, dapat menghentikan dia dari perbuatannya, seperti si pelaku meminta maaf dan menyatakan janji untuk tidak akan mengulangi, maka bertindak yang lebih keras dari itu terhadapnya akan menjadi contoh “nahi munkar” yang tidak prosedural.
Pengamalan QS: al-A’raf 199, firman Allah: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”, patut dipertimbangkan. Namun demikian, hukum tetap berlaku. Jika salah, hukum tak pandang bulu.
Referensi:
1-QS: ash-Shaff 2; يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مالا تَفْعَلُونَ; “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?”
2-QS: Al Imran 104; ولتكن منكم أُمَّةٌ يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف ويَنْهَوْنَ عن المنكر وأولئك هم المفلحون
3-QS: Luqman 17; يا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلى ما أَصابَكَ إِنَّ ذلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
4-Durus Tamhidiyah fi al-Fiqh al-Istidlali 1/Syaikh Baqir Irwani.