Rahimpur Azghadi: Redefenisi Hukum Perempuan dalam Islam (3)
Masih melanjutkan pembahasan sebelumnya yang telah disampaikan oleh cendekiawan Muslim Iran, berkaitan dengan pembahasan perempuan dalam Islam.
Ayat poligami
Pada perkawinan, perempuan lebih yang banyak mengambil manfaatnya, bukan laki-laki. Laki-laki harus menyediakan tempat tinggal, perlengkapan rumah seperti: perabot dan lainnya.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Al-Quran surah an-Nisa, ayat 3)
Mengapa ada aturan poligami? Dalam Islam, monogomi merupakan bentuk perkawinan utama dan poligami hanya berlaku dalam kondisi tertentu (sekunder). Jutaan perempuan yang tidak bisa menikah sedangkan usianya semakin bertambah. Apa yang dapat dilakukan? Semakin tua, semakin sedikit kemungkinan untuk dilamar. Sedangkan laki-laki yang datang belum tentu sesuai dengan kriteria. Dalam hal ini, poligami menjadi solusi. Tentu dengan keadilan sebagaimana disyaratkan dalam ayat tersebut di atas.
Kadang ada orang yang memanfaatkan poligami secara negatif, ini merupakan kesalahan. Tidak hanya dalam poligami, pada monogami juga bisa terjadi kesalahan dan kezaliman. Al-Quran menyebutkan keadilan sebagai keharusan dalam poligami. Bahkan dalam ayat lain disebutkan bahwa kalian tidak bisa adil. Tidak ada hukum dalam Islam yang tidak memiliki alasan dan filosofi atas penetapannya.
Kewajiban jihad
Dalam jihad, hanya laki-laki yang diwajibkan dan perempuan tidak. Ketika ayat tentang jihad diwahyukan, beberapa perempuan datang kepada Nabi Saw dan protes kenapa mereke tidak punya kesempatan untukk syahid? Nabi memuji tindakan mereka dan menegaskan bahwa pahala yang didapatkan oleh laki-laki juga diperoleh perempuan dengen pekerjaan lain. Istri yang rela melepas suaminya untuk jihad, kemudian menjaga dan mendidik anak-anaknya, maka dia juga mendapat pahala jihad dan syahadah.
Peran sosial
Secara hakikat, Islam mengakui kesamaan substansi laki-laki dan perempuan. Nabi Adam as dan Bunda Hawa dikeluarkan dari sorga karena keduanya harus bekerjasama dan berperan sesuai dengan tugas masing-masing. Dalam pandangan hukum Islam secara umum, juga tidak ada perbedaan. Misalnya: berbohong haram bagi laki juga bagi perempuan, mencuri, menuntut ilmu, berpakaian dan seterusnya. Namun, terdapat pengecualian bagi perempuan dalam dua posisi sosial yaitu: 1. Hakim, dan 2. Pemimpin tertinggi.
Telah saya sampaikan bahwa penentuan hak tidak menunjukkan nilai dan derajat. Sebab derajat dan nilai manusia pada substansinya sebagai manusia adalah sama. Kalau di rumah, tidak ada bedanya apakah yang menggoreng telur seorang ayah atau ibu. Sedangkan untuk masalah kepemimpinan, secara kapabilitas laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan. Yaitu adanya kecakapan sehingga menjadi media untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan tugas itu. Kenapa tidak ada nabi perempuan? Tetapi perempuan menerima wahyu, seperti: Ibu Nabi Musa , Sayyidah Maryam. Sayyidah Fatimah juga mendengar apa yang disampaikan oleh Jibril ketika Nabi Saw menerima wahyu. Artinya dalam hal kedudukan spiritual, tidak ada perbedaan kesempatan antara perempuan dan laki-laki. Bahkan hadits Nabi Saw menyebutkan kerelaan Tuhan pada kerelaan Fatimah dan kecintaannya adalah kecintaan-Ku. Hadits ini menunjukkan kedudukan yang tinggi, bahkan banyak nabi-nabi Bani Israil yang mungkin tidak mendapatkannya. Tapi Tuhan menegasikan kepemimpinan dari Sayyidah Fatimah dalam arti yang tadi sudah disebutkan. Pada saat yang sama beliau adalah teladan bagi semua bagi laki-laki atau perempuan.
Demikian pula masalah menjadi hakim bagi perempuan. Satu hal yang perlu untuk diperhatikan, bahwa Islam tidak ingin adanya kompetisi antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecil dalam keluarga, jika suami berkompetisi denga istrinya akan hancurlah rumah tangga tersebut. Yang harus dilakukan adalah kesepakatan dan pembagian tugas. Bukan semuanya dilihat dari kaca mata yang lebih penting dan lebih maju. Semua pembahasan hak harus dilihat secara utuh dan timbal balik. Hak anak atas ayah artinya kewajiban ayah atas anak, begitu juga sebaliknya. Semua sama di hadapan Undang-Undang dan berhak mendapat perlakuan yang sama. Tapi bukan berarti setiap aturan harus sama bagi semua orang. Keadilan bukanlah persamaan.
Kemampuan intelektual
Anggapan salah lainnya menyatakan bahwa secara intelektual berbeda antara laki dan perempuan .Yang benar adalah sama. Perbedaan yang kita saksikan karena hal lain seperti faktor perasaan yang telah disebutkan contohnya. Keduanya diperlukan untuk mewujudkan harmonisasi.
Dalam urusan akhirat juga tidak ada perbedaan. Dikatakan perempuan manifestasi keindahan-Nya dan laki-laki manifestasi keperkasaan-Nya. Kesempurnaan ini berhubungan dengan urusan dunia. Yakni dalam pengaturan kehidupan yang ideal di dunia dan tidak berhubungan dengan akhirat. Aksi biasanya disifatkan bagi laki-laki dan reaksi bagi perempuan. Namun, yang menjadi nilai di sisi Tuhan adalah iman dan amal shaleh. Jiwa dan ruh tidak berhubungan dengan gender, fisik, psikis, dan lainnya.
Harus dibedakan antara hal-hal yang berhubungan dengan akal teori dan akal praktis. Akal praktis berhubungan dengan: keikhlasan, kemanusiaan, kemuliaan dan takwa. Perbedaan diperlukan dalam beberapa hal agar urusan dunia bisa berjalan denga baik dan sempurna. Akal yang disebutkan dalam riwayat dimana dengannya Allah memasukkan orang ke surga adalah sama.
Kesimpulan
Jika di dalam rumah ada pembagian tugas, apakah perempuan dan laki-laki punya hak yang sama untuk melakukan aktifitas ekonomi di luar rumah? Jawabnyna sama, mereka punya hak memiliki dan berniaga. Harta yang didapat oleh seorang perempuan menjadi milik dirinya, bukan milik suaminya. Seorang suami tidak berhak memaksa untuk memberikan kepadanya.
Perbedaan tugas pribadi karena perbedaan fisik dan psikis, begitu juga perbedaan tugas dalam kehidupan sosial. Bukan perbedaan yang memang dipaksakan oleh sebagian bangsa karena adat atau lainnya. Jika bertentangan dengan Islam, harus dilawan dan diubah. Islam tidak mendukung perbedaan yang tidak dibangun atas premis-premis yang logis.
Kembali pada ayat pertama yang saya sebutkan, tentang larangan setiap orang menginginkan menjadi lainnya. Kalau boleh berubah, semua laki-laki ingin jadi perempuan. Hal ini berdasarkan hasil sebuah survei yang dilakukan pada masyarakat tertentu. Ketika ditanya kenapa? Jawabannya karena dari sejak kecil sebagai laki-laki selalu dikejar-kejar dengan tugas demi tugas dan tuntutan demi tuntutan. Laki-laki harus kuliah, harus punya pekerjaan, harus punya rumah dan seterusnya.
Mungkin juga perempuan akan mengatakan saya lebih suka menjadi laki-laki karena beberapa hal. Namu itu tidak benar, kita harus syukuri dan lakukan tugas masing-masing. Kalau salah satu dari tugas itu tidak dijalankan dengan baik, akan terjadi kegoncanganan rumah tangga baik perceraian atau kehidupan single parent. Tentu itu semua perlu mendapat solusi dengan pedidikan, pelajaran dan budaya yang baik dari Islam.
[Rabi’ah Aidiyah S.Psi]