Manifestasi Asyura dalam Ringkasan Pemikiran Ali Syariati
Bulan Muharram setiap tahunnya menjadi pengingat kebangkitan Imam Husain as. Imam Husain as senantiasa menjadi lentera yang menerangi berbagai gerakan dan kebangkitan Islam. Umat Syiah berabad-abad menangis saat mengenang Imam Husain as. Darahnya disebut dapat memberikan kehidupan kepada tunas kebebasan, kebenaran dan keadilan. Muslim Syiah di belahan dunia mana saja mengenal Muharram sebagai Asyura Husaini dan mengambil pesan-pesan penting dari pelajaran Asyura.
Manifestasi Asyura dalam cakrawala pemikiran Ali Syariati bersumber dari jenis pandangannya terhadap filsafat sejarah. Menurutnya, sejarah berdiri di atas dasar kontradiksi antara dualitas, seperti makruf dan munkar, penindasan dan ketertindasan, thaghut dan Tuhan, syirik dan tauhid, kezaliman dan keadilan, dan seterusnya. Kontradiksi ini pada awal sejarah dimulai dengan pertarungan.
Menurutnya, masa dalam filsafat sejarah dimulai dan diakhiri dengan pertarungan (peperangan). Pada masa Habil, sebuah pertarungan terjadi ketika manusia pembela kebenaran meraih syahadah di tangan manusia perampas kebenaran, pada masa Imam Mahdi as di akhir zaman kelak, dengan tergulingnya pemerintahan Sufyani dan kehancuran konspirasi Dajal yang selalu menipu manusia dan dengan sebuah revolusi global, pembalasan orang yang tertindas dan dirampas hak-haknya akan dibalaskan. Pada akhirnya, keadilan, persaudaraan, perdamaian dan cahaya terang akan menang. Al-Quran mengungkapkan, “Bumi akan diwarisi oleh orang-orang yang saleh dan orang-orang yang dahulunya tertindas akan menjadi pemimpin masa itu serta mewarisi sejarah.”
Itulah sejarah perjalanan pembalasan darah Habil dan pada setiap masa sejarah akan ada peristiwa pertarungan yang selalu berlanjut. Oleh karena itu, setiap prinsip, setiap generasi, dan setiap titik tanah di mana manusia hidup akan selalu ada wajah-wajah Husaini dan Yazidi sebagai gambaran perwakilan Tuhan dan Thaghut. Mereka akan selalu berhadapan dan berusaha menarik pengikut.
Menurut Ali Syariati, perjalanan sejarah pertarungan antara dua wajah Yazidi dan Husaini yang saling berlawanan menjadikan peristiwa Asyura sebagai simbol besar dari pertarungan ini. Manusia yang merasa berada dalam jalur kontradiktif ini berusaha mencapai atau setidaknya mendekati terhadap yang diinginkan.
Kaum Syiah juga menyebut peristiwa Asyura sebagai simbol pertempuran abadi sejarah dan mengenangnya sebagai titik balik dalam upaya merasakan usaha Imam Husain as yang dipenuhi dengan kepedihan.
Ali Syariati meyakini bahwa kebangkitan Husaini harus dilihat dari ketersambungannya dengan silsilah kebangkitan yang ada dalam sejarah agama-agama Abrahamik sebelumnya sehingga maknanya dapat ditemukan dan ditafsirkan serta revolusinya dapat dibenarkan. Menjelaskan kebangkitan Husaini dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa semata akan memisahkannya dari basis sosial dan historisnya. Dengan kata lain, apa yang memiliki arti abadi dan senantiasa hidup tidak boleh hanya dijadikan sebagai “peristiwa duka masa lalu” untuk semata-mata ditangisi. Memisahkan Husain dan Karbala dari bagian sejarah, keyakinan, dan maktabnya sama seperti memotong anggota badan dari makhluk hidup untuk kita telaah atau kita rawat secara terpisah.
Menurut Ali Syariati, Imam Husain dengan kesadaran dan iman yang dalam, sama seperti para pendahulunya dalam agama-agama Abrahamik, terutama Nabi, Imam Ali dan Imam Hasan berkewajiban untuk melakukan kebangkitan. Imam Husain memiliki tanggung jawab saat melihat hakikat dimusnahkan, hak-hak rakyat diinjak-injak, seluruh nilai dihinakan, ingatan terhadap revolusi Islam yang dilakukan oleh datuk beliau, Nabi saw dan usaha-usaha dari Imam Ali bin Abi Thalib as dan Imam Hasan Al-Mujtaba as dihapuskan, budaya dan iman umat dijadikan sebagai sarana oleh orang-orang yang teramat keji dan berbagai penyelewengan lainnya.
Menjadi seperti Husain akan berkonsekuensi bertarung dengan yang seperti Yazid, walau Husain tidak memiliki senjata apapun. Karena bagi Husain, kehidupan adalah akidah dan jihad. Pada dasarnya, hidup melahirkan tanggung jawab untuk berjihad di jalan akidah. Nafas, kesadaran, keimanan, dan kehidupan mendorong manusia untuk berjihad. Husain adalah contoh tertinggi dari manusia yang hidup, memiliki kesadaran dan rasa cinta.
Menurut Ali Syariati, kebisaan atau ketidakbisaan, kelemahan dan kekuatan, kesendirian atau kebersamaan, hanya merupakan bentuk pelaksanaan risalah dan menentukan bagaimana mewujudkan tanggung jawab tersebut, bukan menentukan keberadaannya. Kini, sebuah kondisi muncul ketika seorang manusia yang memiliki tanggung jawab, kesadaran dan pada saat yang sama hanya seorang diri, tidak memiliki senjata kecuali kematian. Namun ia adalah putera dari sebuah keluarga yang dengan baik belajar “seni mati yang baik” di kehidupan ini. Imam Husain as belajar dari ayahnya, Ali bin Abi Thalib bahwa syahadah dengan arti khususnya, bukan merupakan sebuah kondisi, bukan terbunuhnya seorang mujahid oleh musuhnya, namun syahadah adalah sebuah hukum tersendiri dari jihad dan setelah jihad.
Maha guru yang mengajarkan syahadah kini telah bangkit untuk mengajarkan kepada kita semua yang masih memahami jihad hanya dalam kebisaan dan yang menganggap keunggulan dari musuh sebagai kemenangan sejati, bahwa syahadah bukan sebuah kekalahan, namun sebuah pilihan yang akan mengantarkan seorang mujahid mencapai kemenangan dengan mengorbankan diri di haribaan Tuhannya di mihrab cinta.
Husain pewaris Nabi Adam yang memberikan kehidupan kepada bani Adam, Husain pewaris para nabi agung yang mengajarkan manusia bagaimana harus hidup. Hari ini Husain datang untuk mengajari bani Adam bagaimana harus mati.
Ali Syariati meyakini bahwa kebangkitan Asyura sebagai manifestasi tertinggi madrasah syahadah, belum dipaparkan sebagaimana mestinya, namun masih sering hanya diketengahkan sebagai madrasah kesedihan dan belasungkawa.
Meski demikian, ia tidak mengingkari nilai kesedihan dan air mata untuk Imam Husain, namun ia sedang mempertanyakan ritual atau tradisi keagamaan ini untuk menjelaskan hakikat Asyura. Tugas kaum Syiah lebih dari sekedar menangisi Imam Husain, yaitu harus mengambil pelajaran pragmatis dari kebangkitan Husaini yang tentu juga menyangkut urusan politik dan sosial untuk masa kini.
Pada dasarnya, filsafat ritual ini adalah menyebarluaskan konsep syahadah dan pesannya di tengah masyarakat. Karena target utama kebangkitan Husaini adalah menyampaikan pesan syahadah ke telinga umat manusia.
Menurut pandangan Ali Syariati, filsafat terjadinya peristiwa Asyura dan kebangkitan Husaini dalam budaya Islam adalah menentukan bentuk perjuangan melawan pemerintahan zalim sehingga Asyura menjadi peristiwa abadi yang akan memberikan pesan kepada umat manusia setiap harinya. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “Setiap hari adalah Asyura dan setiap jengkal tanah adalah Karbala.” Ungkapan ini menjelaskan filsafat terjadinya Asyura dengan baik.
Asyura dan kebangkitan Husain dalam pemikiran politik Ali Syariati memiliki manifestasi nyata. Filsafat sejarah dapat dilihat dalam ziarah “Warits” yang isinya tentang Imam Husain. Artinya bahwa pewaris dalam pandangan Islam memiliki kesatuan historis. Yakni Imam Husain bukan sebagai pemimpin kebangkitan, perang atau revolusi yang ia dilakukan atau Nabi atau Imam Ali atau Imam Hasan lakukan sebelumnya, namun Husain adalah pewaris bendera dalam sejarah umat manusia yang sampai kepadanya turun temurun dari tangan Nabi Adam as hingga Nabi Khatam Muhammad saw hingga ke tangan Husain dalam melawan kezaliman. Maka Husain adalah pemaris amanah ini dan pewaris Nabi Adam as. Tentunya, kebangkitan ini belum berakhir dengan Husain, namun akan terus berlanjut dengan syiar: “Setiap hari adalah Asyura.”