Masalah Takfiri, Kembali ke Diri Kita, Kita Cerabut Akar-akarnya!
Beberapa hari yang lalu, dunia Islam kembali dikejutkan oleh tindak kekejaman takfiri. Tempat kejadiannya di Madinah, terhadap bocah usia enam tahun (Zakaria), yang sedang ikut ibunya berziarah ke Makam Suci Nabi saw.
Tindakan sangat kejam terhadap anak Adam dengan cara menggorok korban bagai hewan, tak hanya terjadi di masa atau medan perang. Seperti yang pernah mereka lakukan terhadap seorang pejuang asal Iran, bernama Muhsin Hujaji. Di manapun tempat yang bisa dilakukan, di tanah suci sekalipun. Seakan semua tempat adalah medan perang dan semua orang -selain dalam kelompoknya- adalah musuh bagi geng pemberontak takfiri.
Dalam hal tersebut, siapapun dari kelompok takfiri yang berslogan “tauhid” dan “jihad” itu, bisa langsung mengeksekusi mati manusia di tempat, dengan dasar fatwa penghalalan darah muslim yang dikafirkan. Bagai ketok palu hakim yang memutuskan hukuman mati bagi calon-calon korban di semua tempat, orang-orang seperti pembunuh bocah yang malang tersebut, berkeliaran di tengah masyarakat, di pasar dan tempat-tempat umum, mereka bisa menjadi supir dan profesi-profesi lainnya. Hal ini telah diperingatkan oleh banyak ulama dunia, terutama Ayatollah Sayed Ali Khamenei pemimpin tertinggi Republik Islam Iran. Di berbagai kesempatan beliau menyampaikan bahwa problem besar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah takfiri.
Di pihak lain, orang-orang asing, para anak bangsa-bangsa penjajah yang mengejar mimpi mereka, ingin menguasai dunia dari sejak masa Perang Dunia hingga kini, bagian dari “kerjaan” mereka telah dan sedang digarap oleh kelompok-kelompok teroris yang bertampang khas wahabi ini. Keuntungan lainnya bagi mereka ialah bahwa fenomena anti kemanusiaan itu menguatkan faktor psikologis yang ingin mereka ciptakan di tengah masyarakat dunia, yaitu Islam fobia. Juga membuahkan pemikiran yang menyimpulkan bahwa agama hanya menyebabkan pertikaian dan pertumpahan darah (sehingga agama dijauhi), bukan penjajahan!.
Membaca Diri Kita
Apa yang harus diperbuat oleh umat dan penduduk negeri-negeri Islam? Dalam menangkal radikalisme atau takfiri yang berdampak tindakan-tindakan intoleran, banyak hal yang harus dikerjakan. Mungkin dari kita bertanya, dari mana kita memulainya?
Mengutip penjelasan –yang semoga bermanfaat- dari seorang alim Syiah, Allamah Syekh Qashir (di https://youtu.be/HHHgZBPaaZw), bahwa beliau mengatakan: pertama, kita harus membaca diri kita, sejarah, budaya dan khazanah kita, yang banyak orang dari kita menjauhi semua yang kita miliki itu. Poin pentingnya di sini, ialah bahwa umat yang tidak membaca dirinya, tidak akan mengetahui masa lalunya, maka tidak akan membuat rencana untuk masa datang. Tidak mungkin pula memahami peristiwa-peristiwa yang telah (dan sedang) terjadi.
Para musuh (yakni, bangsa penjajah; Inggris, Amerika dan lainnya) yang penjajahan mereka sampai sekarang berlanjut, tidak akan dapat kita jangkau, kecuali setelah kita mengamati dan mendalami tentang negeri kita, prinsip, peradaban dan budaya kita serta akidah kita, semua warisan Islam dan bahkan identitas keislaman kita.
Mengapa mereka dapat mewujudkan keinginan menguasai negeri-negeri Islam selama ratusan tahun dan sampai saat ini? Karena mereka telah membaca diri kita dan mempelajari sejarah dan khazanah kita, tentang tradisi, adat dan budaya kita. Mereka telah mempelajari hal-hal yang paling detail dalam kehidupan sosial kita. Banyak lembaga pengkajian yang telah mereka dirikan di negeri-negeri Islam untuk memperoleh informasi-informasi yang mereka perlukan, kemudian untuk membuat rencana dan agenda mereka.
Dahulu, mereka mengirim dan menugaskan orang-orang orientalis dalam misi mereka. Kini mungkin cara itu tidak lagi dengan adanya kedutaan atau kantor perwakilan. Pada saat yang sama mereka mengadakan pengiriman atau pertukaran pelajar dalam jumlah besar dari negara-negara Islami, pergi ke Inggris. Universitas di sana, misalnya meminta dari para pelajar kita agar menyiapkan studi dan pengkajian, sehingga mereka mendapat informasi-informasi yang diinginkan. Selain kita bayar kepada mereka, mereka juga memperoleh “sesuatu” yang lain dari kita.
Pusat-pusat pendidikan di negeri-negeri Islam, yang didirikan oleh Amerika, Inggris dan lainnya, termasuk kedutaan-kedutaan mereka, tugas utama lembaga-lembaga kebudayaan, politik dan pendidikan ini, adalah mengamati kita. Yakni, lembaga studi (tentang kita).
Oleh karena itu, untuk menghadapi apa yang sudah dan sedang mereka lakukan, kita harus berbuat hal yang sama (dengan cara yang lebih baik). Yaitu, dengan membaca diri kita, budaya, khazanah dan tentang negeri-negeri kita, untuk (di antaranya) mnyingkap titik-titik kuat dan lemah yang ada pada diri kita. Jangan sampai mereka lebih tahu tentang kita, daripada kita sendiri.