Memahami Problem Dasar dan Pilar Pancasila
MM-Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Tidak ada yang mendebat. Karena itu adalah statemen para faunding father Indonesia sebelum negara Indonesia berdiri pada 1945 berlaku hingga sekarang. Tetapi memasukan Pancasila diantara empat pilar dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan bersatu, sebagian kalangan merasa keberatan.
Empat pilar itu diantaranya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.
Secara legal, Pancasila telah menjadi poros kehidupan berbangsa dan bernegara NKRI. Tapi apa yang dimaksud antara dasar dan pilar Pancasila?. Tulisan ini akan mengarah pada pertanyaan tersebut.
Olehkarena basis legitimasi Pancasila adalah founding father, maka setiap titik berangkat biasanya merujuk pada apa kata faunding father. Tentu saja Sukarno adalah tokoh paling legitimet melalui pidato 1 juni 1945 mengantarkan Pancasila memiliki legitimasi hukum melalui prosesi aklamasi PPKI pada 18 agustus 1945. Tapi perlu diingat, legitimasi tidak sama dengan hukum, sementara hukum hanya salah satu dimensi legitimasi. Namun pada umumnya menganggap, hukum menjadi satu-satunya elemen legitimasi kekuasaan.
Subtansi pidato 1 juni 1945 bisa dimaknai sebagai basis “intelektualisme” Sukarno sebagai tokoh yang melegitimasi bangunan konsep Pancasila, sementara aklamasi bermakna konten konsepsi pengetahuan Pancasila yang memiliki dimensi kontrak atau konsensus nasional yang memiliki status legitimasi hukum. Sebuah preasumsi basis untuk memaknai legitimasi kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kembali pada pokok soal dasar atau pilar. Kata Sukarno, merujuk pada pidato 1 juni 1945, Pancasila adalah dasar negara Indonesia, pada saat yang sama adalah lima prinsip/dasar. Setelah mengurai satu persatu, Sukarno tiba pada kesimpulan, kelima dasar itu bisa disebut Pancasila tapi kurang tepat jika Pancadarma. Secara leksikal Panca artinya lima, sila artinya dasar, jadi lima dasar, sesimpel itu. bahkan menjadi Trisila dan Eka Sila bagi Sukarno tidak menjadi masalah.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi-saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi”.
Menariknya pada pidato 1956 di depan konggres USA, Sukarno menguraikan Pancasila sebagai “five principle”, namun pada pidato di depan PBB 1960, Sukarno memakai kata “five pillars of our state”. Jika prinsip dan pilar dimaknai sama tentu tidak menjadi masalah, namun jika Pancasila adalah dasar maka pertanyaan berikutnya, berapa jumlah dasar negara Indonesia?. Jika jawabanya lima, maka menjadi lima dasar.
Bagi penulis, sejauh yang dimaksud Sukarno, maka pada intinya, baik pilar, prinsip dan dasar memiliki makna yang sama, “lima prinsip”. Kecuali pada momen Sukarno ingin menyimpulkan lima dasar Pancasila bisa di peras menjadi ekasila (satu sila), yakni gotong royong. Artinya lima dasar itu sebenarnya satu dasar. Mari coba kita urai !.
Subtansi Pancasila
Mati kita renungan, jika rumah itu memiliki lima pilar, tentu rumah itu akan kuat di topang pilar yang berjumlah lima, namun jika kita bertanya dasar atau fundasi rumah itu ada berapa, maka jawabanya ada satu fundasi dengan lima pilar. Dimana-mana lazimnya setiap rumah di topang satu fundasi, meski fundasi terdiri dari beberapa elemen. Hanya saja, memang ada satu elemen pokok (subtansi) sebagai perekat dan penguat sehingga fundasi itu kokoh berdiri.
Tanpa fundasi yang kuat, rumah itu akan mudah rubuh meski memiliki banyak pilar. Sementara jumlah pilar yang berada di atas fundasi rumah tergantung selera dan estimasi kekuatan menahan beban seluruh elemen rumah dari sang pemilik dan arsitek rumah. Lalu kita selidiki, apakah lima dasar Pancasila yang di anggap pilar itu bagian dari fundasi atau pilar sebagaimana tiang rumah.
Kita coba lekatkan pengertian di atas dengan Pancasila, lima pilar/prinsip/dasar menjadi “nominal” yang bisa menjadi tiga dan satu. Sukarno berpikir subtantif, dari lima, tiga dan satu, artinya Sukarno mengkonsepsikan dasar itu pada dasarnya satu yang bisa di topang lima prinsip.
Adapun dari kelima prinsip itu ada satu subtansi prinsip yang paling subtantif dan fundamental. Sukarno memilih “gotong royong”, dimana frase “gotong royong” tidak ada dalam lima prinsip Pancasila. Sebuah ungkapan padat, yang pada pada saat Sukarno menjabat presiden menyebut “negara sosialisme Indonesia”. Sehingga negara gotong royong dapat di padankan dengan negara sosialisme Indonesia.
Dengan demikian dapat dikatakan, perasan lima sila menjadi satu bernama Gotong royong menurut Sukarno lebih tepatnya menjadi infrastruktur, sementara lima sila menjadi suprastruktur, jika dilhat dari rangkaian kontek pidato 1 juni 1945. Sebagaimana perumpamaan Sukarno, Pancasila adalah Weltanschauung” setara dengan dasar negara-negara lain,
“Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”, – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu “Weltanschauung”, yaitu yang dinamakan “Tennoo KoodooSeishin”. Diatas “Tennoo Koodoo Seishin” inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Sementara kelompok Islam, yang diwakili Ki Bagoes Hadikoesoemo sebagai jubir pengusul dasar Islam, menganggap subtansi dasar negara Indonesia adalah Islam. Kedua pilihan kemudian, baik Pancasila dan Islam kemudian di legalkan dan di kompromikan dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945.
Hingga saat ini, hasil sidang PPKI 18 Agustus 1945 kemudian dimaknai sebagai konsensus nasional dan dasar hukum. Namun baik dinyatakan maupun tersembunyi, hasil kompromi tersebut menurut penulis masih menyimpan hidden power, tempat dimana ruang legitimasi memperoleh dasar pembenaran, keduanya benar pada saat yang sama bisa saling menyalahkan dan membenarkan.
Penyebabnya adalah setiap konsensus meski sah menjadi dasar legitimasi negara, tetapi konsesus menyimpan wadah pengetahuan yang bergerak pada wilayah legitimasi sosiologis.
Hal tersebut hidup secara aktual ada dalam ruang tafsir hukum dan politik Indonesia, terutama saat menafsirkan sila pertama dan implikasi hukumnya, mengerucut pada dispute dasar politik dan sumber hukum.
Dari sini terlihat jelas, bahwa debat pilar atau dasar itu adalah persoalan Filsafat Politik, yang mengarah pada dasar pokok (subtansi) legitimasi negara dan sumber hukum. Secara legal, dasar pokok itu secara dominan ada dalam ruang “intelektualisme tafsir Sukarno”, merujuk pada semua pengertian UUD, baik 1945 maupun Amandemen 2002. Sementara sebagian kelompok Islam mendasarkan dekrit presiden 5 juli 1959, dimana UUD 1945 di jiwai piagam Jakarta.
“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.
Secara sosiologis, pikiran tersebut ada pada ruang tersembunyi (hidden power) dan samar-samar dalam kesadaran muslim yang meyakininya. Disisi lain, olehkarena ada dalam pikiran, kesadaran dan pemahaman, maka menjadi ruang epistemologi bahkan ontologis, karena dekatnya hubungan sila pertama (Tuhan) dan kedua (Manusia), sedekat apa kebebasan manusia Indonesia menghubungkan Filsafat Politiknya pada penciptanya.
Orang memaknainya sebagai “hubungan simbiotik” antara agama (Islam) dan politik di Indonesia, tetapi ada yang menyebut sebagai negara Pancasila, Negara Berketuhanan Yang Maha Esa. Status tersebut membutuhkan pendalaman dan diskusi lebih lanjut.