Instrumen Pengetahuan dalam Pandangan al-Qur’an
Fardiana Fikria Qur’any-Problem epistemologis yang memiliki dinamikanya baik dalam sejarah filsafat Barat maupun Islam ialah, persoalan instrumen atau alat pengetahuan. Para penganut mazhab Empirisme hanya mengakui adanya panca indera sebagai satu-satunya instrumen pengetahuan, sementara itu para penganut mazhab rasionalisme menganggap bahwa instrumen pengetahuan selain panca indera ada juga yang disebut sebagai rasio. Dengan demikian sedikitnya ada dua pandangan mengenai instrumen pengetahuan pada sejarah filsafat di Barat.
Pada artikel ini, kita akan membahas tentang pandangan al-Qur’an mengenai instrumen pengetahuan manusia. Hal ini menjadi penting, karena basis epistemologis atau struktur pengetahuan manusia ini diatur berdasarkan cara pandang mengenai instrumen pengetahuan manusia itu sendiri.
Pertanyaan yang akan dijawab pada artikel ini ialah, apa yang diyakini al-Qur’an sebagai alat pengetahuan? Apakah al-Qur’an menganggap indera dan rasio sebagai alat pengetahuan? Apakah ada instrumen pengetahuan lainnya yang diisyaratkan oleh al-Qur’an?
2 instrumen Pengetahuan dalam al-Qur’an
Dalam bukunya Pengantar Epistemologi Islam, Muthahhari memaparkan secara terperinci ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan dua (2) instrumen pengetahuan. Alat epistemologi yang disyaratkan oleh al-Qur’an ialah, panca indera dan hati yang berpikir. Muthahhari merujuk pada ayat 78 surah An-Nahl yang berbunyi:
وَاللّٰهُ اَخۡرَجَكُمۡ مِّنۡۢ بُطُوۡنِ اُمَّهٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ شَيۡـــًٔا ۙ وَّ جَعَلَ لَـكُمُ السَّمۡعَ وَالۡاَبۡصٰرَ وَالۡاَفۡـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Dalam ayat ini, ada beberapa poin yang harus ditekankan. Pertama, bahwa manusia lahir ke dunia ini dalam kondisi tidak mengetahui sesuatu apapun. Artinya, manusia bukan seperti yang dikatakan oleh Plato bahwa manusia sedang mengalami lupa akan pengetahuan sebelumnya. Kedua, ayat ini menyebutkan dua fungsi panca indera yaitu, pendengaran sebagai fungsi dari telinga dan penglihatan sebagai fungsi dari mata. Dua indera ini sangat berpengaruh dalam pemerolehan pengetahuan. Ketiga, al-Qur’an juga mengisyaratkan al Af’idah yang diartikan Muthahhari sebagai sinonim dengan hati.
Panca Indera
Instrumen pengetahuan yang secara tegas diisyaratkan oleh ayat di atas ialah, mata dan telinga. Mata dan telinga diberikan Tuhan kepada manusia agar ia berpengetahuan setelah ia dilahirkan tanpa pengetahuan apapun. Dengan demikian, al-Qur’an meyakini bahwa salah satu instrumen untuk memperoleh pengetahuan adalah panca indera, meskipun yang disebutkan di atas hanya dua saja dan konsekuensi logis atas keyakinan ini maka pengetahuan manusia ada yang bersifat empiris.
Akal; Hati yang Berpikir
Istilah Af’idah dalam ayat ini memiliki banyak sinonim kata seperti lub, hati, akal, rasio, hijr. Instrumen kedua ini memikiki fungsi berpikir. Ketika berfungsi sebagai akal, instrumen ini memiliki kekuatan yang mampu untuk memilah (tajziah), menyusun (tarkib), mengeneralkan (ta’mim), melepas (tajrid). Kemampuan seperti ini seringkali kita nisbahkan sebagai cara kerja rasio.
Murtadha Muthahhari ketika berbicara arti Af’idah mensinonimkan dengan hati yang berpikir, bukan hati dalam pandangan ‘irfan. Dengan demikian, dalam ayat di atas ada dua alat epistemologi atau instrumen pengetahuan yang diisyaratkan secara tegas oleh al-Qur’an.
Tazkiyatunnufus; alat pengetahuan lainnya
Muthhahhari, menjelaskan dalam bab instrumen pengetahuan bahwa hati merupakan salah satu instrumen pengetahuan manusia yang lain, akan tetapi di beberapa pembahas selanjutnya, Muthahhari mengganti hati menjadi tazkiyatunnufus atau penyucian jiwa sebagai sebuah proses pemerolehan pengetahuan.
Alat pengetahuan yang satu ini lebih dipahami sebagai hati dalam pemahaman irfani. Pengetahuan yang muncul atau hadir diawali dengan proses penyucian jiwa dikenal dengan ilmu hudhuri. Ilmu hudhuri merupakan ilmu yang didapatkan bukan melalui proses konseptual, melainkan hadir begitu saja di dalam diri manusia. Sehingga salah-benarnya bukanlah sesuatu yang bisa diobjektivikasi secara empirik maupun rasional.
Yang mengakui penyucian jiwa sebagai instrumen pengetahuan bukan saja al-Qur’an, tetapi juga beberapa filosof Baratpun mengakui hal yang sama. Muthahhari menyebut beberapa tokoh Barat yang menganggap hati sebagai salah satu instrumen pengetahuan, seperti seorang matematikawan yaitu, Pascal. Ada juga seorang ahli jiwa asal Amerika yaitu, William James. Bahkan ada juga yang menganggap satu-satunya instrumen pengetahuan adalah hati yaitu, Alexis Carrel dan Bergson.
Syukur: Aktualisasi Potensi
Dalam pembahasan instrumen pengetahuan, Muthahhari juga membahas ayat tentang Syukur. Kata La’allakum Tasykurun terdapat pada ujung ayat di atas. Bagaimana bentuk mensyukuri segala yang telah diberikan?
Muthahhari menjelaskan bahwa bentuk syukur yang harus dilakukan oleh manusia atas semua pemberian Tuhan padanya ialah, menggunakan instrumen pengetahuan sebagaimana mestinya sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan.
Penulis melihat lebih dari sekedar memperoleh pengetahuan, melainkan untuk berjalan menuju pada tujuan tertinggi yaitu, makrifatullah. Pertama, manusia bisa mengenal Tuhan melalui berbagai cara. Pertama, ketika manusia bertafakkur atas alam semesta yang terhampar sebagai tanda-tanda keberadaannya. Tafakkur membutuhkan data-data terlebih dahulu yang didapat dari persentuhan panca indera dengan alam semesta. Dengan kata lain, pada awalnya kita harus mengetahui dulu objek-objek empirik yang berhubungan dengan alam baik itu makrokosmos maupun mikrokosmos.
Kedua, manusia bisa mengenal Tuhan lewat jalan badihiyat atau segala sesuatu yang sifatnya aksiomatik. Hal-hal umum bersifat universal yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya. Misalnya, semua manusia pasti mati adalah pemahaman yang bersifat badihi atau aksiomatik. Jika kita melakukan satu proses berpikir rasional terhadap eksistensi hal-hal yang aksiomatik tersebut, maka kita pun akan sampai pada makrifatullah.
Ketiga, tazkiyatunnufus adalah satu upaya penyucian jiwa untuk membaca jiwa ke dalam. Salah satu jalan untuk mengenal Tuhan adalah dengan membaca dan mengenal kedalaman diri kita sebagai manusia. Merefleksikan jiwa kita sendiri hngga kita bisa menyimpulkan dari manakah bagian nonmaterial yang ada pada diri kita ini.
Kesimpulan
Al-Qur’an mengakui 3 instrumen pengetahuan yaitu, panca indera, rasio dan penyucian jiwa di mana semua manusia perlu menggunakan ketiganya untuk senantiasa bersyukur dan mencapai makrifatullah. Al-Qur’an tidak menegasi satu pun dari 3 instrumen pengetahuan karena masing-masing instrumen memiliki objeknya sendiri. Dengan demikian, al-Qur’an sangat mengapresiasi penemuan ilmiah yang sangat mengoptimalkan indera dan akal, begitu juga tidak menyingkirkan penyucian jiwa sebagai satu alat pengetahuan manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang jiwa dan dirinya sendiri.