Polemik Antara Murtadha Muthahari dan Shalihi Najafi Tentang Asyura
N
Ni’matullah Shalihi Najfobodi adalah salah satu guru dan peneliti populer Hauzah ‘Ilmiyyah Qom dan penulis kitab “Syahid Jawid”.
Kitab “Hamasah Husaini” Ustad Syahid Muthahari merupakan kitab yang keren dan “tampil beda” karena memaparkan analisa sejarah dan membongkar akar dan sebab peristiwa Asyura. Biasanya kitab-kitab serupa hanya mengemukakan riwayat dan penukilan cerita tanpa analisa yang tajam dan ilmiah. Alasan lain, keunggulan kitab Syahid Muthahari tersebut adalah kejeliannya dalam mendeteksi dan menyingkap pelbagai penyimpangan yang menyertai ritual Asyura. Di samping itu, tidak jarang Syekh Muthahari menyebutkan gagasan-gagasan baru yang semakin menambah daya tarik buku tersebut. Barangkali inilah yang menjadi fakror di balik sambutan hangat para pembaca terhadap buku Muthahari itu, sehingga kemudian karya ini pun diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan judul “Al-Malhamah al-Husainiyyah” di Qom. Padahal, biasanya kitab-kitab berbahasa Arab yang membahas tentang Imam Husain diterjemahkan dalam bahasa Persia. Hal ini sebagai pertanda bahwa kitab ini luar biasa penting dan menawarkan kebaruan gagasan dan pembahasan.
Syahid Muthahari dan Ni’matullah Shalihi Najfobodi memiliki hubungan persahabatan yang baik dan di antara keduanya sering terjadi dialog dan diskusi ilmiah terutama terkait dengan kajian Asyura. Ni’matullah Shalihi Najfobodi yang karyanya tentang Imam Husain dikritik habis oleh Muthahari tidak tinggal diam. Beliau berusaha mempertahankan terori dan pandangannya serta menjawab cacatan dan kritikan Muthahari atas kitabnya. Dan akhirnya, pandangan Muthahari itu dianalisa dan dikritiknya dan hasilnya adalah beliau menulis kitab dengan judul “Nikohi be Hamaseh Husaini Ustad Muthahari” (Sekilas Pandang tentang Kitab Hamaseh Husaini Karya Ustad Muthahari) yang terdiri dari 460 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Kuyar.
Artikel singkat ini berusaha memaparkan ringkasan pandangan dua peneliti dan penulis ternama ini terkait dengan sebab-sebab kebangkitan Asyura dan juga mengemukakan kritikan Ustad Muthahri terhadap kitab “Syahid Jawid” dan tentu sebaliknya, kritikan Ustad Shalihi Najfobodi terhadap kitab “Hamaseh Husaini”.
Penulis kitab “Syahid Jawid” meyakini bahwa kebangkitan Imam Husain bukan untuk meraih kesyahidan tetapi untuk pembentukan pemerintahan Islami. Beliau berkata: Pada tahapan pertama kebangkitannya yang diawali dengan hijrah dari Madinah ke Mekkah, Imam Husain dengan menentang Yazid, beliau menganalisa masalah ini: apakah mungkin membentuk pemerintahan atau tidak. Tahapan kedua yang ditandai dengan gerakan menuju Kufah, Imam Husain—sebagai jawaban atas undangan penduduk Kufah—memutuskan untuk melakukan perjuangan bersenjata dengan tujuan membentuk pemerintahan. Tahapan ketiga kebangkitan, terjadi saat Imam Husain berhadap-hadapan dengan pasukan Hurr yang beliau berupaya untuk menghindari penumpahan darah dan menegakkan perdamaian secara mulia. Tahapan keempat saat musuh melakukan penyerangan, Sayidina Husain melakukan perlawanan dan perjuangan sampai meneguk cawan syahadah.
Ringkasnya, prioritas utama perjuangan dan kebangkitan Imam Husai adalah kemenangan militer dan pembentukan pemerintahan Islami di Irak, menyempurnakan pekerjaan Imam Ali dan Imam Hasan, sedangkan perdamaian adalah prioritas/rencana kedua beliau dan terbunuh dan gugur sebagai syahid yang tidak bisa dihindari lagi adalah rencana ketiga beliau.
Oleh karena itu, pengamatan dan bacaan penulis terhadap kisah Karbala tidak bersifat ‘athifi (emosional) tapi ‘aqli (rasional) dan tahlili (penuh analisa). Berdasarkan sudut pandang ini, Imam Husain bergerak dan berjuang sesuai dengan alur dan aturan yang alami dan pengetahuan yang biasa. Ustad Shalihi Najfobodi tidak mengingkari kepemilikan Imam Husain terhadap ilmu gaib,namun beliau ingin melakukan analisa kebangkitan Imam Husain dari aspek manusiawi dan politik. Pola pikir seperti ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh para ulama Syi’ah terdahulu dan tersohor seperti Syekh Mufid, Sayed Murtadha dan Syekh Thusi.
Kitab “Syahid Jawid” dengan pandangan seperti di atas memunculkan polemik sengit, padahal ada beberapa ulama lain yang memiliki pendapat yang serupa seperti Imam Khomaini yang berpandangan bahwa tujuan kebangkitan Imam Husain adalah pembentukan pemerintahan Islami (seperti disebutkan dalam karya beliau “Shahifah Nur”). Ustad Shalihi Najfobodi dituduh mengingkari ilmu Imam Husain terhadap kesyahidannya, sehingga beliau mendapatkan serangan yang dahsyat, baik secara lisan maupun tulisan terhadap karyanya tersebut, bahkan sebagian orang menghinanya dan ada juga yang mengkafirkannya. Almarhum Ustad Shalihi Najfobodi yang meninggal pada usia 83 tahun tetap bergeming dengan pendirian dan pendapatnya dan sampai akhir hayatnya ia tetap memberikan jawaban atas pelbagai kritikan yang sangat tajam. Dan di antara ulama yang mengkritik habis buku “Syahid Jawid” adalah Ustad Syahid Murtadha Muthahari dan Dr. Ali Syariati. Syariati berpandangan bahwa tujuan kebangkitan Imam Husain adalah meraih kesyahidan, sedangkan Ustad Muthahari berpendapat bahwa tujuan peperangan Imam Husain-sebagaimana disebutkan dalam wasiatnya ialah—melakukan reformasi menyeluruh melaui menghidupkan kembali sirah nabawiyyah (gaya hidup dan sunah Nabi saw) dan Ali bin Abi Thalib serta amar makruf dan nahi mungkar.
Bila memang kondisi mendukung dan pemerintahan kebenaran terbentuk melalui Imam Husain,maka tujuan kebangkitan beliau di atas akan menjadi lebih baik. Dan kalau pun Imam Husain syahid maka kesyahidannya pun dalam rangka mewujudkan tujuan ini dan usaha membongkar wajah batil dan munkar pemerintahan Yazid.
Ustad Muthahari memandang lemah argumentasi yang disampaikan Ustad Shalihi Najfobodi dan penuh dengan mughalathah (falasi). Dan tumpuan utama Imam Husain dalam bergerak dan berjuang bukan karena ajakan dan undangan penduduk Kufah tetapi penafian baiat kepada Yazid dan penegakan kewajiban amar makruf nahi munkar serta reformasi masyarakat yang lebih umum dari pembentukan pemerintahan hak. Ini berbeda dengan pandangan Ustad Shalihi Najfobodi yang menilai bahwa perlawanan bersenjata untuk membentuk pemerintahan di Kufah dan meruntuhkan kekuasaan Bani Umayyah tidak didukung oleh kondisi sosial dan politik yang cukup.