Mengapa Aswaja menggunakan Qiyas dan Syiah Menolaknya? -Bagian pertama-
Imam Syafii pelopor metode qiyas
Pada era Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) , beliau menggagas aliran penggalian hukum Islam, yang disebut al-ra’y yang berkembang di Lembah Mesopotamia, beliau adalah seorang ulama yang dikenal paling banyak menggunakan rasio dalam ijtihad.
Hampir bersamaan dengan itu, perhatian pada hadis sangat nampak sekali pada penduduk Madinah, yang momentumnya diperlihatkan oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/ 795 M). Dengan demikian, Imam Malik dipandang sebagai pemuka aliran ahli hadis. Al-Muwatta’ adalah karya monumentalnya dibidang hadis.
Di tengah kedua aliran tersebut, tampillah Imam Syafii (150-204 H/ 767-812 M), yang pernah berguru kepada Imam Malik dan murid Abu Hanifah, yakni al-Syaibani. Pengalaman berguru kepada ulama kedua aliran tersebut memberikan inspirasi kepada beliau untuk mengambil sisi positif dari kedua aliran yang berbeda.
Beberapa metode istinbat (penggalian) hukum yang digunakan pada masa itu, antara lain, istihsan yang populer digunakan oleh Abu Hanifah dan istislah yang populer dipakai oleh Imam Malik, namun sayangnya pada saat itu kedua metode tersebut belum memiliki aturan baku yang mengatur cara menggunakan istihsan dan istislah, apalagi metode penggalian hukum tersebut belum dibukukan. Ketika itulah Imam Syafii tampil mengemukakan metode ijtihadnya yang disebut Qiyas.
Metode qiyas yang dikemukan Imam Syafii ini merupakan bagian dari keseluruhan kajian usul fikihnya, yang meliputi dalil-dalil hukum, cara-cara berargumentasi dengan lafadz, siapa saja yang berwenang melakukan ijtihad, dan lain-lain, yang masing-masing dibuatkan kerangka teoritisnya secara logis, dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis. Dengan demikian, lahirlah ilmu usul fikih, yang merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya dari Imam Syafii.
Kitab yang pertama ditulis Imam Syafii tentang usul fikih ialah al-Rislah. Sesudah itu barulah ia menulis buku-bukunya Ikhtilaf al-Hadis, Ibtal al-Istihsan, Kitab Jama’i al-‘Ilmi. Atas dasar inilah Imam Syafii disebut sebagai “Bapak pendiri usul fikih” dan peletakan metodologi qiyas.
Sekilas tentang Qiyas menurut Imam Syafii
Konsep qiyas Imam Syafii diuraikan dalam kitabnya al-Risalah sebagai berikut :
- “Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang muslim, tentu ada hukumnya yang pasti, atau menurut jalan yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya. Berdasarkan hal itu, apabila terdapat ketentuan hukum yang jelas maka haruslah diikuti; dan apabila ketentuan hukumnya tidak terdapat secara jelas, haruslah dicari petunjuk yang benar tentang hukumnya dengan ijtihad dan ijtihad adalah qiyas.”[1] Dalam berbagai uraiannya, imam Syafii menggunakan qiyas dan ijtihad secara bergantian dan menegaskan bahwa kedua kata itu adalah dua nama bagi satu makna.[2]
- “Maka tidaklah terjadi suatu peristiwa yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di dalam al-Quran terdapat petunjuknya tentang pemecahannya.”[3]
- Danal-qiyas itu ditinjau dari dua segi: pertama bahwa suatu peristiwa baru (far’) sama betul dengan makna asl, maka dalam hal ini qiyas tidak akan berbeda, kedua bahwa sesuatu peristiwa mempunyai suatu kemiripan dengan beberapa makna pada beberapa asl, maka peristiwa itu dihubungkan dengan asl yang paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku al-qiyas.”[4]
Dari poin pertama dapat disimpulkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi ada ketentuan hukumnya. Ketentuan hukum ada yang jelas dan konkrit dan ada pula yang tidak jelas yang harus dicari dengan berijtihad yaitu dengan metode qiyas. Jadi qiyas berperan mencari hukum peristiwa yang baru terjadi.
Dari poin kedua dapat disimpulkan bahwa sumber utama adalah al-Quran. Ini menegaskan bahwa pengunaan qiyas tidak boleh keluar dari al-Quran. Oleh karena itulah Imam Syafii mendefinisikan qiyas adalah:
“ Qiyas adalah sesuatu yang dituntut (dibahas) dengan menggunakan berbagai dalil, dan harus sesuai dengan al-Quran dan Sunnah”.
Dari defenisi yang diberikan imam Syafii diatas, dapat dipahami bahwa qiyas merupakan sesuatu pekerjaan atau suatu ketentuan yang ditetapkan dengan beberapa dalil. Dan ketentuan tersebut mesti tidak berlawanan dengan al-Quran dan Hadis.
Sedangkan dari poin ketiga dapat disimpukan bahwa ada dua kategori yang dapat digunakan sebagai tolak ukur dari Qiyas yang selaras dengan al-Quran dan Sunnah.
Pertama, kesesuaian “makna” yang menjadi sebab terjadinya hukum halal dan Haram (illat) pada perkara-perkara yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah (asl) dengan perkara-perkara baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah (far’).
Contohnya adalah pada perkara wajib zakat padi/beras. Didalam al-Quran atau Sunnah, tidak ditemukan ayat atau hadis yang menjelaskan bahwa padi wajib dikeluarkan zakatnya. Cuma, dengan metode Qiyas ini, kita dapat menyimpulkan bahwa padi wajib dikeluarkan zakatnya dengan alasan karena makna (illat) yang terdapat dalam hukum wajib zakat gandum yang dijelaskan oleh Hadis Nabi Saw juga terdapat dalam zat padi. Makna tersebut adalah sama-sama bahan pokok.
Kedua, metode analogi, yaitu menyerupakan hokum dengan perkara yang lebih serupa dari dua perkara yang memiliki sisi kesamaan. Kategori ini dapat kita lihat dalam pendapat imam Syafi’i tentang denda buruan ketika masa Ihram. Menurut beliau, denda buruan tersebut adalah dengan mengganti jenis hewan yang sama, bukan dengan mengganti harga hewan yang dibunuh. Sebab, kesamaan hewan yang dibunuh dengan hewan lain yang sejenis lebih memiliki unsur kesamaan yang lebih banyak dibandingkan dengan harga hewan tersebut.
Namun pengikut Syiah Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum, mereka tidak mengakui bahwa kita mampu untuk mengetahui illat atas suatu hukum, kecuali jika Allah menyebutkan secara jelas tentang illatnya dan tentu ada beberapa alasan lain yang akan dijabarkan pada bagian kedua dari makalah ini, insyaallah.
[1] Imam Syafii, al-Risalah, hal.512
[2] Ibid, hlm. 477
[3] Ibid., hlm. 14-15.
[4] Ibid., hlm. 206.