“Kaidah Fiqh Tasalut: Melawan Pengaruh Asing dalam Hubungan Internasional”
Annisa Eka Nurfitria, M.Sos—– Kaidah Tasalut, yang melarang dominasi kekuatan asing terhadap umat Islam, menjadi prinsip penting dalam hukum Islam dan sangat relevan dalam konteks hubungan internasional. Pengaruh atau نفوذdalam pandangan fiqh Islam, khususnya dalam perspektif Syiah, memiliki perkembangan yang unik seiring dengan perubahan sosial dan politik dalam sejarah umat Islam. Kaidah ini bertujuan untuk menjaga kemandirian umat dan melindungi dari segala bentuk intervensi asing yang merugikan, sehingga konsep ini memiliki keterkaitan erat dengan kekuasaan dan dominasi dalam hubungan internasional modern. Artikel ini membahas bagaimana para fuqaha Syiah memahami dan mengembangkan konsep نفوذ dalam tiga periode utama—sebelum konstitusi, masa konstitusi, dan era Revolusi Islam Iran—dan kaitannya dengan kaidah tasalut dalam membangun resistensi terhadap pengaruh asing.
Pada masa pra-konstitusi, ulama-ulama Syiah terkemuka seperti Sheikh Tusi dan Muhaqqiq Hilli memberikan pandangan awal terkait kaidah Nafy Sabil (larangan untuk memberikan jalan bagi non-Muslim dalam menguasai kaum Muslim), yang dianggap sebagai dasar dari penolakan terhadap dominasi asing. Pada periode ini, para fuqaha lebih fokus pada fiqh politik internal, yang bertujuan melindungi kekuasaan pemimpin Islam dari campur tangan kekuatan asing. Konsep نفوذ dalam pandangan para fuqaha periode ini tidak diterapkan dalam konteks hubungan internasional, melainkan sebagai bagian dari usaha menjaga kemandirian umat Islam di bawah kepemimpinan Islam. Dengan demikian, Nafy Sabil berfungsi sebagai perisai bagi masyarakat Muslim dari ancaman luar yang dapat menggoyahkan stabilitas dan kedaulatan pemimpin mereka. Para fuqaha menekankan pentingnya mempertahankan kekuasaan pemimpin Islam, yang harus bebas dari pengaruh atau campur tangan asing. Pandangan ini menjadi dasar penting dalam melindungi umat Islam dari segala bentuk pengaruh eksternal yang berpotensi merugikan.
Namun, pada periode konstitusi, ketika dunia Muslim mulai berinteraksi lebih intensif dengan kekuatan kolonial, pemahaman mengenai نفوذ mengalami perkembangan lebih lanjut. Para fuqaha pada masa ini, seperti Akhund Khorasani dan Allamah Na’ini, menyadari bahwa interaksi dengan dunia luar telah membawa berbagai bentuk pengaruh dan dominasi asing yang mengancam independensi umat Islam. Istilah نفوذ mulai digunakan dalam konteks hubungan internasional dan menjadi perhatian utama dalam menjaga kemerdekaan dan stabilitas negara-negara Muslim. Akhund Khorasani dan Allamah Na’ini bahkan memperingatkan bahwa نفوذ melalui jalur diplomasi resmi sering kali menjadi sarana bagi kekuatan kolonial untuk menguasai negara-negara Muslim secara tidak langsung. Mereka memperingatkan umat Islam tentang potensi ancaman dari diplomasi resmi yang dijalankan oleh kekuatan asing, yang sering kali tersembunyi di balik niat kerja sama, tetapi memiliki tujuan tersembunyi untuk memperkuat dominasi atas negara-negara Muslim. Pemikiran ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu waspada terhadap upaya infiltrasi yang bisa saja merugikan, terutama dalam konteks hubungan internasional. Pada saat itu, para fuqaha memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam kepentingan negara-negara kolonial yang mencoba mempengaruhi kebijakan dalam negeri melalui berbagai perjanjian diplomatik atau kerja sama yang sebenarnya menyamarkan upaya penguasaan.
Pemikiran mengenai نفوذ semakin berkembang pada era Revolusi Islam Iran di bawah kepemimpinan Imam Khomeini dan Imam Khamenei, di mana fiqh internasional mendapatkan perhatian lebih dalam politik. Konsep نفوذ pada masa ini dijelaskan lebih rinci, termasuk dalam aspek politik, ekonomi, militer, dan budaya. Imam Khomeini dan Imam Khamenei memperingatkan umat Islam mengenai bahaya pengaruh asing melalui tiga jalur utama: diplomasi resmi, diplomasi tidak resmi, dan diplomasi publik. Diplomasi resmi mencakup hubungan bilateral atau multilateral antarnegara, di mana Imam Khomeini menekankan bahwa diplomasi ini sering kali dimanfaatkan oleh negara-negara Barat untuk menanamkan pengaruh yang melemahkan kemandirian negara-negara Muslim. Dalam konteks ini, diplomasi formal harus dihadapi dengan kewaspadaan yang tinggi, terutama jika ada indikasi kepentingan tersembunyi yang dapat membahayakan kedaulatan negara-negara Muslim. Imam Khomeini sering kali menegaskan pentingnya umat Islam untuk membedakan antara kerja sama yang murni dan upaya infiltrasi politik yang berbahaya.
Selain diplomasi resmi, نفوذ juga dapat terjadi melalui diplomasi tidak resmi, yang biasanya melibatkan organisasi non-pemerintah atau perusahaan multinasional yang beroperasi di negara-negara Muslim. Pengaruh asing melalui jalur ini sering kali sulit dideteksi karena disamarkan sebagai bantuan kemanusiaan atau proyek pembangunan ekonomi. Imam Khamenei, dalam berbagai kesempatan, memperingatkan bahwa diplomasi tidak resmi ini bisa saja memiliki agenda terselubung yang merugikan kepentingan umat Islam. Kehadiran organisasi-organisasi asing yang berfokus pada bantuan kemanusiaan atau proyek ekonomi perlu diteliti lebih dalam, karena beberapa di antaranya mungkin bertujuan untuk menciptakan ketergantungan atau bahkan pengaruh budaya yang jauh dari nilai-nilai Islam. Diplomasi tidak resmi ini, meskipun tampaknya positif, bisa jadi menjadi ancaman tersembunyi yang memperlemah integritas budaya dan sosial umat.
Jenis نفوذ ketiga adalah melalui diplomasi publik, yang melibatkan upaya untuk mempengaruhi opini publik dan budaya negara-negara Muslim melalui media, hiburan, dan berbagai platform sosial. Imam Khomeini dan Imam Khamenei memperingatkan tentang bahayanya نفوذ melalui jalur ini, karena dapat mengikis nilai-nilai Islam dan menggiring masyarakat Muslim untuk mengadopsi pola pikir dan budaya yang pro-Barat. Mereka berpendapat bahwa media dan hiburan dapat digunakan sebagai alat untuk merusak identitas Islam dan membentuk opini publik yang mendukung kepentingan negara-negara Barat. Oleh karena itu, umat Islam harus waspada terhadap pengaruh media asing dan pentingnya menguatkan identitas Islam melalui media lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan kemerdekaan umat.
Kaidah tasalut dalam hal ini memberikan landasan untuk menolak pengaruh asing yang merugikan, karena ia melarang segala bentuk dominasi kekuatan non-Muslim terhadap umat Islam. Kaidah ini, dengan demikian, dapat menjadi prinsip utama dalam hubungan internasional negara-negara Muslim, terutama dalam upaya menjaga kedaulatan dan kemandirian mereka. Dalam era modern ini, di mana negara-negara Muslim sering menghadapi tekanan dari kekuatan besar melalui diplomasi, ekonomi, dan media, tasalut berfungsi sebagai acuan penting untuk menjaga integritas politik, sosial, dan budaya umat. Prinsip ini menjadi pelindung bagi umat Islam dari ancaman intervensi yang dapat merugikan dan mempengaruhi kemandirian negara-negara Muslim di tingkat global.
Sebagai kesimpulan, kaidah tasalut dan konsep نفوذ dalam fiqh Islam memiliki keterkaitan erat dalam melindungi kemandirian umat Islam di kancah internasional. Pemikiran fuqaha Syiah mengenai نفوذ menunjukkan bahwa Islam menyediakan landasan teologis yang kokoh untuk mencegah pengaruh asing yang merugikan umat. Dengan prinsip ini, negara-negara Muslim dapat menolak segala bentuk dominasi atau intervensi yang mengancam kedaulatan mereka, serta memastikan stabilitas dan kemajuan umat di panggung internasional.