Mengenal Diri, Apa Sich dan Bagaimana?
Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi kehidupan jasmani (badan) yang merupakan wujud keindahannya dan dimensi kehidupan rohani (jiwa) yang itu merupakan wujud kesempurnaannya. Seringkali dalam pemenuhan kebutuhan dua dimensi yang berbeda tersebut manusia bertindak ceroboh dan melampaui batas alias ifrath dan tafrith, sehingga keseimbangan di antara keduanya tidak terjaga atau tak jarang dimensi jasmani yang justru menjadi superior dan pengatur/pengendali.
Salah satu bunyi lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah “Bangunlah jiwanya! Bangunlah badannya…! Pendahuluan pembangunan jiwa—sebagaimana tersebut dalam lagu kebangsaan kita—menandakan bahwa pembangunan jiwa harus diutamakan dan lebih penting daripada pembangunan badan (fisik). Yang demikian itu karena manusia memiliki dua dimensi: jasmani dan rohani. Hanya memperhatikan dan memuaskan dimensi jasmani (memakmurkan dunia saja dan mengikuti hawa nafsu) akan menjadikan manusia tak ubahnya binatang,[1] bahkan lebih rendah daripadanya. Dan sudah barang tentu pengabaian pembangunan jiwa akan mengakibatkan ketumpulan akal, kematian hati nurani, ketidakmampuan mengambil ibrah (pelajaran) dari sebuah peristiwa atau realita dan ketidakpekaan terhadap penderitaan orang lain.[2]
Teks pelbagai agama mengajak manusia untuk membangun dan mengenali jiwanya.Dan Alquran sebagai kitab suci terbaik dan terlengkap memberi penekanan dan perintah tegas kepada setiap insan mukmin untuk memperhatikan pembangunan jiwanya.[3] Juga manusia diharuskan untuk menyadari keberadaan jiwanya, sekaligus menegaskan hubungan yang erat dan timbal-balik antara mengenal jiwa dan mengenal Allah Swt. Dengan kata lain, Makrifat al Nafs adalah cata terdekat dan terbaik untuk “memanggil” Tuhan, sedangkan mengenal Allah melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di jagad raya (al ayat al afaqiyyah) adalah “memanggil” Tuhan melalui jalan yang jauh.[4]Mulla Shadra meyakini bahwa Makrifat al Nafs adalah kunci dan tangga ma’rifatullah (mengenal Allah).Maka, mengenal Allah secara hakiki tidak mungkin terwujud tanpa melalui penyaksian kefakiran dzati jiwa.Pesalik, dalam puncak perjalanan spiritualnya, harus menemukan hakikat hubungan jiwanya dengan Tuhan melalui ilmu hudhuri.
Oleh karena itu, manusia yang semakin dekat dengan Allah pada hakikatnya ia pun dekat dengan hakikat jiwanya. Dan sejauh apa pun hubungannya dengan Allah, maka pada hakikatnya, sejauh itu pula dia dari hakikat jiwanya.
Makrifat al Nafs di samping memiliki hubungan yang erat dengan ma’rifatullah, juga memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan keyakinan terhadap hari akhir dan tarbiyah serta tazkiyah al-nafs (pembangunan karakter).
Mengenal diri dilihat dari pelbagai sudut ilmu dapat dianalisa dan dibahas dari pelbagai sisi. Secara umum kita dapat mengenal jiwa dalam empat bentuk:
- Pengenalan diri dari sudut pandang psikologi
- Pengenalan diri secara filosofis atau dalam sudut pandang ilmu filsafat
- Pengenalan diri secara etika dan edukatif
- Pengenalan diri secara mistik dan tasawuf atau syuhudi.
Yang dimaksud dengan pengenalan diri di sini adalah pengenalan penyaksian jiwa (ma’rifat syuhudi nafs) dalam sudut pandang mistik atau tasawuf yang dalam hal ini berkaitan dengan ‘irfan praktis atau tasawuf praktis.
Sejatinya ahli makrifat/ kaum sufi melalui mujahadah dan muraqabah, mereka berusaha menyingkap dan menyaksikan hakikat jiwa mereka. Kaum sufi percaya bahwa kebanyakan orang karena tenggelam dalam lumpur kelezatan-kelezatan dan keterbatasan-keterbatasan jasmani, sehingga mereka terhalang untuk mengetahui dengan ilmu hudhuri[5] jiwa mereka. Dan mereka hanya mengetahui jiwanya pada lapisan dan tingkat yang rendah.
Mengenal diri bukan mengenal identitas diri. Identitas diri dikenal melalui kartu nama atau KTP. Saya…Tanggal lahir:…Alamat:…Pekerjaan:…dsb. Mengenal diri bukan juga mengenal biografi dan riwayat hidup seseorang. Mengenal diri juga bukan tahu ayah dan ibunya siapa. Lahir di mana dan tinggal di mana? Kalau demikian halnya, balita pun mengenal dirinya.
Mengenal diri bukan juga mengenal secara biologis, yakni dibandingkan dengan hewan disimpulkan bahwa manusia tingkatannya lebih tinggi daripada, misalnya, monyet dan ayam.
Mengenal identitas dan biografi seseorang bisa dihafalkan, sedangkan ilmu pengenalan diri adalah jenis ilmu yang dirasakan. Gampangnya, mengenal diri adalah mengenal dengan baik hakikat diri kita, asal muasal diri kita, dan tujuan hidup kita.
Masih sulit dipahami? Begini, setiap kita tahu bahwa kita ada. Adanya kita karena perantara keberadaan orangtua kita. Dan keberadaan orangtua kita karena keberadaan kedua orangtuanya dan begitu seterunya sampai manusia yang pertama. Dan manusia yang pertama diadakan oleh Yang Maha Pertama. Lalu kenapa kita ada? Apakah memang kita pernah meminta supaya diadakan? Kita tidak pernah meminta diadakan, sebagaimana kita juga tidak pernah meminta ditiadakan. Datang dan perginya kita hanya dengan izin dan restu Yang Maha Pertama dan Yang Maha Ada. Kita tidak bisa memberontak dan melawan keberadaan kita. Dengan kata lain, keberadaan kita adalah sebuah anugerah, bahkan sejatinya anugerah terbesar dari Sang Maha Pemberi Anugerah. Kita tidak punya pilihan untuk diadakan atau ditiadakan. Kita tidak pernah mendaftar untuk mengisi formulir keberadaan kita di dunia: orangtuanya siapa, lahir di mana, laki-laki atau perempuan, sempurna atau cacat dan lain-lain. Kita harus terima semua konsekuensi keberadaan kita itu karena memang kita tidak punya pilihan. Ini namanya takdir keberadaan. Keberadaan kita adalah rezeki tiban dari langit yang harus kita terima dengan lapang dada dan juga harus kita syukuri?
Adalah tidak benar seseorang menangisi dan menyesali takdir keberadaannya seperti ini: kenapa ya saya dilahirkan oleh orangtua ini; kenapa ya saya dilahirkan di kota ini; kenapa ya saya dijadikan perempuan? Kenapa ya kulit saya hitam; kenapa dan beribu kenapa?!!! Mengapa tidak perlu disesali dan ditangisi? Karena hubungan biologis dengan orangtua, tempat kelahiran, jenis kelamin: pria atau wanita; warna kulit: hitam atau putih, semua ini di mata Tuhan nilainya nihil. Malaikat tidak pernah bertanya kepada kita, mengapa ayahmu si a dan ibumu si b; mengapa kamu perempuan; mengapa kamu dilahirkan di desa ini?!!! Tetapi malaikat akan mengintrogasi kita dengan pertanyaan semacam ini: Apa yang kamu lakukan dengan modal besar kehidupan yang telah Tuhan anugerahkan kepadamu? Bagaimana kamu menghabiskan masa mudamu? Darimana kamu mendapatkan hartamu dan bagaimana kamu membelanjakannya? Inilah sejumlah pertanyaan yang wajib dijawab kelak. Bila kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di dunia ini dengan meyakinkan dan penuh percaya diri serta penuh rasa tanggung jawab maka berarti kita telah mengenal diri. Sebaliknya, bila kita sekarang kesulitan dan merasa malu untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita tidak tahu diri dan telah lupa diri.
S.M. Ghazali
[1] QS. Al A’raf, 176.
[2]Ibid, 179.
[3] QS. Al Ma’idah, 105.
[4] QS. Ha Mim al Sajdah, 53.
[5]Ilmu hudhuri adalah hadirnya obyek atau sesuatu yang diketahui di sisi orang yang mengetahui, buku Manthiq, terbitan.