Bagaimana Menemukan Relasi Antara Mengenal Diri dan Mengenal Tuhan?
Ada satu ungkapan yang cukup populer, “Barangsiapa yang mengenali dirinya, maka dia mengenali Tuhannya.”[1] Makna ungkapan tersebut adalah; barang siapa yang mengenal jalan, maka ia mengenal tujuan. Apa maksud dari “jalan” itu? Yaitu diri manusia. Dan apa “tujuan” itu? Allah adalah tujuan. Maksudnya, diri manusia merupakan jalan/jembatan menuju tujuan yang hakiki, yaitu Allah. Jadi, ketika manusia merenung dan menyelami dirinya, maka perenungan dan penyelaman ini akan mengantarkannya kepada tujuan yang dicari-carinya. Mengenal diri ialah merupakan pengantar tafakur, dan bertafakur akan mengantarkan manusia kepada suluk, yaitu perjalanan menuju Allah. Di saat manusia bertafakur, dia akan sadar tentang hakikat dirinya, dan kemudian kesadaran ini membuat manusia lebih berhati-hati dalam bersikap.
Mengenal diri sama saja dengan mengenal sarana atau jalan menuju Tuhan. Dengan mengetahui keunggulan dan kekurangan diri, berarti mengetahui keunggulan dan kekurangan sarana tersebut, sehingga manusia dapat dengan baik menggunakan sarana itu untuk menuju Sang Maha Abadi. Dan jika manusia mengetahui kekurangan dirinya, maka dia akan menyadari kebesaran Tuhannya. Diri manusia dapat digunakan sebagai cermin untuk melihat kekurangan dan kecacatan internal, sehingga manusia hanya akan berharap kepada keindahan dan kesempurnaan Tuhan Yang Maha Sempurna.
Alquran berkata, ”Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”[2] Ayat ini merupakan pernyataan oposisi/kebalikan dari hadis di atas, yang menjelaskan bahwa; barang siapa yang lupa terhadap dirinya, maka dia lupa terhadap Tuhannya.
Dalam suluk, manusia perlu untuk mencari potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Saat seluruh potensinya telah diketahui, pada tahapan selanjutnya manusia akan dapat membangun pondasi rohaninya. Pada tahapan awal suluk, manusia harus mengenali dirinya beserta sifat-sifatnya dan potensi-potensinya. Sehingga dengan itu manusia dapat menjadi tabib bagi dirinya sendiri. Mengenai hal ini, Sayidina Ali—karramallah wajhah wa radhiyallahu ‘anhu berkata, “Obatmu ada dalam dirimu, namun engkau tidak tahu, penyakitmu dari dirimu sendiri, namun engkau tidak melihat.” Sayidina Ja’far al Shadiq— karramallah wajhah wa radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hati merupakan tempat bersemayamnya Allah, maka janganlah kalian memasukkan apapun ke dalam hati kalian selain Allah.”
Jadi, ada tiga tahapan utama dalam suluk, yang pertama takhliya (mengosongkan), yang kedua tahliya (menghiasi) dan yang ketiga tajaliya (penampakan). Setelah kita mengosongkan isi hati kita dari apapun selain Allah, selanjutnya kita menghiasinya hanya dengan Allah. Dan pada tahap akhir (tajaliya), manusia akan menampakkan asma Allah dari dalam dirinya.
Jika manusia tidak mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, maka bagaimana mungkin manusia dapat memperbaiki dirinya dan menggali potensi yang ada di dalam dirinya? Jika manusia tidak dapat memperbaiki dirinya dan menggali potensinya, maka bagaimana mungkin manusia itu dapat mengetahui tujuan hidupnya? Puncak dari makrifat adalah mengenal diri sendiri dan puncak dari kebodohan adalah tidak mengenal diri sendiri. Orang yang tidak mengenali dirinya, maka dia akan menjadi budak dunia dan hawa nafsu. Mengenali diri sendiri berarti mencoba untuk berkomunikasi dan berdialog dengan diri sendiri.
Bentuk-Bentuk Pengenalan Diri
Ada pelbagai bentuk pengenalan diri secara realistis yang ingin kami isyaratkan di bawah ini. Di sini kami isyaratkan tiga bentuk pengenalan diri saja dan bentuk-bentuk lainnya akan kami singgung pada seri kedua buku ini.
- Pengenalan Diri Secara Fitri
Secara esensial, manusia mengenal dirinya, yakni mengenal hakikat dirinya. Tidaklah pertama manusia terbentuk dahulu dan baru kemudian ia mengenal dirinya. Kemunculan “saya” manusia sejatinya adalah kemunculan pengetahuan/pengenalan saya terhadap diri saya. “Saya” adalah realitas yang pada hakikatnya adalah pengenalan terhadap diri sendiri.
Manusia pada tahap-tahap berikutnya, yakni setelah pengetahuannya terhadap hal-hal yang lain baik secara kuantitas dan kualitas meningkat maka pengetahuannya terhadap dirinya pun—sebagaimana ia mengenali hal-hal lain—bertambah. Dengan kata lain, manusia mempersepsi image (gambar) tentang dirinya di otaknya. Namun sebelum mencapai pengetahuan tentang dirinya seperti ini, bahkan sebelum manusia mengetahui apapun yang lain, ia telah “merasakan” dan “mengalami” dirinya. Pengenalan manusia terhadap dirinya dengan pengetahuan pencapaian hakikat sesuatu—bukan melalui pengetahuan yang diperoleh melalui pencapaian image (gambar) sesuatu di otak— menafikan keraguan dan kebimbangan tentang apakah saya ada atau tidak ada.
Sebab, pengetahuan yang diperoleh dengan pencapaian hakikat sesuatu tidak memberi ruang sedikit pun untuk keraguan dan kegalauan. Hal ini tak ubahnya orang yang merasakan manisnya gula. Mungkinkah setelah ia merasakan kemanisan gula, ia meragukan bahwa gula itu manis?
Jadi, pengetahuan dan pengenalan manusia terhadap dirinya itu bersifat fitri (berhubungan dengan fitrah/sifat asal), bukan ilmu yang diperolah melalui indrawi atau proses belajar-mengajar pada umumnya.
Ketika Alquran mengisyaratkan tahapan-tahapan penciptaan janin di rahim, sebagai tahapan terakhir ia menyatakan: “Kemudian Kami menjadikannya ciptaan yang lain”.[3] Ini mengisyaratkan bahwa materi yang tidak mengenal dirinya diubah menjadi esensi ruhani yang mengenal dirinya.
Bersambung…
Ghazali
[1] Ada yang menganggap ungkapan ini disabdakan oleh Rasulullah saw dan sebagian lain meriwayatkannya dari Sayidina Ali—karramallahu wajhah wa radhiallahhu ‘anhu). Sementara itu, ketika penulis menanyakan langsung kepada Prof. Dr. Quraisy Shihab (Pakar Tafsir Indonesia) saat menghadiri majelis taklim bulanan di kediaman beliau, beliau menyatakan bahwa itu bukan hadis tapi ungkapan/kata-kata bijak yang popular.
[2] Surah al Hasyr: 19.
[3] Lihat surah al Mu’minun: 14.