Mengenal Kitab Suci Alquran
Mengenal Kitab Suci Alquran
Penisbatan buku/kitab/naskah kepada penulisnya, apakah naskah “Babad Tanah Jawi” misalnya, seluruhnya adalah dari penulisnya? Ataukah tidak tetapi hanya sebagian, sedangkan sebagiannya lagi adalah tambahan dari yang lain? Berapa persenkah naskah itu dari penulisnya? Apa buktinya bahwa seluruh atau sebagiannya adalah dari dia?
Mengenai kitab suci Alquran sebagai sebuah kitab, sah sah saja jika kita lontarkan soal penisbatan tersebut untuk pengetahuan. Akan tetapi, Alquran tidak memerlukan pengetahuan penisbatan itu. Kitab suci ini jika tergolong kitab-kitab kuno, tak satupun dari semua kitab terdahulu yang seotentik Alquran. (Layak dibaca makalah tentang otentisitas Alquran di http://www.nu.or.id/post/read/25852/membuktikan-otentisitas-al-quramp8217an)
Alquran Melampaui Kodilogi
Alquran sudah selesai dengan dirinya. Ia tak mempunyai masalah hal diragukan surat atau ayatnya bahwa yang ini ada di satu naskah itu tapi tidak ada naskah lainnya. Alquran melampaui apa yang disebut sebagai naskah dan kodikologi (ilmu naskah). Di dalam kitab suci firman-firman Allah yang dibawa Nabi Muhammad saw bagi umatnya dan sebagai mukjizat abadinya ini, tak ada ruang sedikitpun bagi keraguan. Tak seorangpun yang mampu memberi kemungkinan adanya teks lain sebagai bagian Alquran, yang telah tidak dimasukkan di dalamnya.
Tak satu orientalis pun dalam Quranologi berangkat dari masalah (pengetahuan penisbatan) ini, dengan mengatakan harus merujuk pada naskah-naskah kuno Alquran, untuk mencari sesuatu yang ada di satu naskah dan tidak ada di naskah lainnya. Alquran melampaui masalah itu dan tidak membutuhkannya. Selain sebagai kitab suci samawi, Alquran adalah bukti paling mendasar atas kebenaran kenabian Sang Nabi Penutup saw.
Ayat-ayatnya turun secara bertahap dalam 23 tahun, dari sejak awal turunnya muslimin bagai orang dahaga yang sangat mendambakan air segar (dari sumbernya), mendapat pengetahuan ayat-ayat Alquran, mencatat dan menghapalnya.
Muslimin masa itu adalah sebuah masyarakat yang tidak mempunyai kitab lain selain Alquran, sehingga mereka menghapalnya, dan (sejumlah orang dari mereka) mencatatnya. Dengan otak mereka yang tak menerima pengetahuan lain, daya hapal yang mereka miliki kuat. Mereka buta huruf, memperoleh pengetahuan hanya melalui apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar.
Oleh karena itu, apa yang dari Alquran disampaikan kepada mereka, klop dengan kondisi mereka yang demikian itu. Seperti halnya tulisan di batu, pesan Alquran terukir dalam hati mereka. Karena mereka memandangnya sebagai firman Allah, bukan perkataan manusia, bagi mereka pesan dari Alquran adalah suci.
Mereka tak membolehkan diri mereka sendiri mengubah satu kata atau satu huruf pun yang dari Alquran, dan mereka senantiasa melantunkan ayat-ayatnya. Selain dengan semua itu, Rasulullah saw sejak awal telah menunjuk beberapa sahabat khusus yang mencatat Alquran, dan mereka dikenal dengan “Kuttabul wahy” (Para Penulis Wahyu). Pencatatan Kalamullâh ini dari sejak masa awal itu menjadi satu sebab di antara sebab-sebab yang pasti bagi tetap terjaganya dari tahrîf.
Sisi lain sebagai sebab diterimanya Alquran dengan baik oleh mereka, ialah sisi kesusastraannya, yakni kefasihan dan balaghahnya yang luar biasa. Daya tariknya yang sangat hebat ini menarik perhatian mereka kepada Alquran, dan mereka dapat mempelajarinya dengan cepat.
Kitab Anti Pemalsuan
Muslimin, jangankan mereka yang tak seorang pun dari mereka mengizinkan dirinya mengadakan pemalsuan di dalam Alquran, seandainya (dan mustahil) hal ini dilakukan oleh Nabi saw. Allah berfirman:
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنا بَعْضَ الْأَقاويلِ لَأَخَذْنا مِنْهُ بِالْيَمينِ ثُمَّ لَقَطَعْنا مِنْهُ الْوَتينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian ucapan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan kuat, kemudian benar-benar Kami potong urat jantungnya.” (QS: al-Haqqah 44-46)
Sebagaimana ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan bahwa berbohong atas nama Allah adalah masalah besar, tak terlintas demikian itu di benak seorang dari mereka dan akan berpaling dari tindakan itu. Dengan demikian jauh sebelum isu tahrif, ayat-ayat suci Alquran adalah mutawatir, yang sampai batas tak mungkin ada satu huruf pun yang diingkari atau kurang dan lebih dari Alquran.
Oleh karena itu, dalam mengenal Alquran kita tidak memerlukan pengkajian penisbatan itu. Namun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa agama Islam yang meluas dengan cepat, umat dunia menyambut Alquran dengan hangat dan jauhnya jarak kaum muslimin dari Madinah sebagai pusat para sahabat penghafal Alquran. Semua itu sekiranya menjadi faktor terjadinya hal yang tak diinginkan, sengaja atau tidak, terjadi secara bertahap kurang dan lebih atau perubahan di dalam naskah-naskah Alquran, muslimin pada masa pertengahan abad pertama telah memperhatikan bahaya yang mungkin terjadi itu, dan mereka telah melakukan pencegahannya.
Mereka mengambil manfaat dari kehadiran para sahabat penghapal Alquran di tengah mereka. Dengan mendapatkan naskah-naskah yang benar dari Madinah dan sekitarnya, mereka dapat mencegah terjadinya kurang dan lebih yang disengaja atau tidak, dan senantiasa melakukan pencegahan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh kaum Yahudi khususnya terhadap Alquran.
Referensi:
Asyna`i ba Qur`an (1)/Syahid Mutahari