Perhitungan dengan Patokan Matahari lebih Digunakan dalam Ibadah Islam
Dalam Islam kita mengenal konsep ru’yatul hilal. Melihat bulan untuk mengetahui sudah masuk bulan berikutnya atau belum. Terlebih untuk bulan ramadan, bulan yang sangat sensitif. Jika sudah masuk bulan ramadan maka haram untuk tidak berpuasa, dan dihitung berbuat dosa jika tidak melakukannya, jika sudah masuk tanggal satu syawal juga haram melakukan puasa. Sudah masuk satu syawal tapi tetap berpuasa maka hukumnya juga haram.
Penulis lebih menilai bahwa hal ini untuk tujuan ta’abudi, penghambaan dan ketaatan kepada Allah Swt, gambaran bahwa kehidupan seorang manusia selalu dan selalu berhubungan dengan Allah, tidak pernah terlepas sekalipun. Kita bisa melihat bahwa perbedaan hari dalam bulan Hijriah Qamariah dibanding Tahun Hijriah sangat banyak. Bisa kita lacak tanggal berapa hari raya Idul Fitri telah kita rayakan. Ternyata terpaut antara 10 sampai 20 hari. Padahal pada tahun berdasarkan matahari dalam setahun hanya ada perbedaan beberapa jam saja.
Idulfitri 2015. Jumat, 17 Juli
Idulfitri 2016. Rabu, 6 Juli
Idulfitri 2017. Sabtu, 24 Juni
Idulfitri 2018. Kamis, 14 Juni
Idulfitri 2019. Senin, 3 Juni
Idulfitri 2020 Sabtu, 23 Mei
Menurut hemat penulis Hijriah Qamariah bukanlah penanggalan Islam, mengapa digunakan penanggalan ini tidak lain karena Nabi kita tinggal di suatu daerah yang menggunakan penanggalan sistem ini. Suatu tempat yang lebih mengandalkan perdagangan dibanding pertanian, kawasan padang pasir tandus yang sulit untuk dijadikan menjadi lahan pertanian, kecuali setelah dilakukan pemakaian teknologi pertanian tingkat tinggi. Negara ini adalah negara dengan Curah hujan juga sangat sedikit. Arab Saudi salah satu negara paling gersang di dunia dengan curah hujan kurang dari 100 milimeter per tahun.[1]
Daerah yang pada awalnya sebelum Istri Nabi Ibrahim as datang dan muncul sumber mata air Zam-zam sama sekali tidak memiliki penghuni. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi kawasan Arab Saudi ini sebelum kedatangan Keluarga Nabi Ibrahim As. Jangankan membuat penanggalan, dihuni manusia pun tidak.
Walau ada yang menyebutkan juga bahwa sistem penanggalan ini adalah penanggalan milik jaman Nabi Ibrahim As yang telah ada secara turun temurun. Dimana waktu itu masyarakat mengenal detail tanggal dan bulan namun mereka tidak memiliki angka tahun. Mereka menamai nama tahun berdasarkan kejadian besar yang terjadi pada tahun itu, seperti halnya kejadian tahun dengan nama tahun gajah, tahun ini dipakai karena pada waktu itu pasukan gajah dari Yaman dalam sekala besar secara serentak bergerak dan hendak menyerang Baitullah, namun gagal atas kehendak Allah dengan perantara burung ababil.
Ada yang unik, Islam menggunakan kalender Hijriah tapi ketika berurusan dengan ibadah puasa itu sendiri selain untuk penetapan awal hari bulan ramadhan dan awal bulan syawal, ibadah salat, bahkan ibadah haji ternyata ukuran waktu yang dipakai bukan lagi perputaran bulan, tapi menggunakan perputaran bumi terhadap matahari, yakni fajar shadiq, tergelincirnya matahari dan terbenamnya matahari.
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.[2]
Jelas disini bahwa patokan yang dipakai adalah perputaran bumi mengelilingi matahari, ketika memulai berpuasa yakni dengan patokan sudah terlihatnya benang putih dari benang hitam, begitu juga ketika berbuka puasa, yang dijadikan patokan juga ketika matahari sudah tenggelam dimana penyempurnaannya dengan melakukan puasa sampai datang malam.
Kedua penentuan waktu shalat pun berdasarkan perputaran bumi mengelingi matahari
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).[3]
Salat subuh, dzhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya semua ditentukan waktunya berdasarkan perputaran bumi mengelilingi matahari, dan perputaran bumi pada porosnya.
Ketiga amalan dalam haji, seperti wukuf di Arafah dan berbagai ritualnya semua dibatasi dengan patokan terbit, tergelincir dan tenggelamnya matahari.
Jelas ini semua bukan kebetulan, sebuah konsistensi hukum islam dalam menggunakan perputaran bumi mengelilingi matahari sebagai patokan dalam perhitungan yang lebih kuat dan meyakinkan.
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.[4]
Ukuran puasa dalam mengganti binatang korban jika memang tidak ditemukan juga menggunakan patokan hari yakni terbit dan tenggelamnya matahari. maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. [5]
Kesimpulan, Berdasarkan kenyataan sejarah bahkan kenyataan dalam pelaksanaan hukum-hukum ibadah dalam agama Islam, perhitungan dengan matahari lebih utama dari perhitungan dengan bulan. Dengan contoh-contoh yang sudah diungkapkan, namun dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka Islam tetap menggunakan aturan waktu perhitungan bulan berdasarakan perputaran bulan mengelilingi bumi bukan perputaran bumi mengelilingi matahari khususnya untuk penentuan awal masuknya bulan ramadhan dan bulan syawal.
[1] https://matakita.co/2020/02/14/arab-saudi-berencana-membuat-hujan-buatan/ diakses pada hari Rabu, pukul 01:03
[2] QS Al Baqarah: 187.
[3] QS AL Isra: 78.
[4] QS Al Baqarah: 196.
[5] QS Al Baqarah: 196.