Perjalanan Filsafat dalam Islam Menurut Perspektif Muthahari
Para penentang ‘irfan dan hikmah (filsafat) berpikiran bahwa filsafat Islam adalah filsafat Yunani dan warisan kaum kafir. Mestinya,umat Islam mengambil ilmunya dari Kitab (Al-Qur’an) dan Sunah (Hadis Nabawi), bukan mengambil dari orang-orang asing dan kaum kafir. Tetapi para filosof Islam meyakini bahwa tidak ada sedikitpun kemiripan yang hakiki antara produk filsafat Yunani dan Hikmah Muta’aliyah yang merupakan hasil akhir dari filsafat islami.
Sejak masuknya filsafat ke dunia Islam sekitar dua belas (12) abad dan pada hakikatnya dua belas abad kaum Muslimin memiliki semacamkehidupan ilmiah yang bisa kita ungkapkan dengan sebutan “hayat falsafi” (kehidupan filosofis).
Hayat ta’aqquli (kehidupan rasional) kaum Muslimin bersesuaian dengan kemunculan Islam dan pembentukan masyarakat islami. Al-Qur’an al-Karim sangat menekankan perihal hayat ta’aqquli, dan Al-Qur’an sendiri menggunakan istidlalat qiyasi wa manthiqi (bukti-bukti argumentatif dalam bentuk kias dan logika).
Dalam kalimat-kalimat yang diriwayatkan dari Rasululah saw, khususnya dalam karya-karya yang dinisbahkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib, terdapat banyak pembahasan yang rasional dan mendalam dan ini perlu dibahas secara terpisah.
Para teolog Islam, sebelum kitab-kitab filsafat diterjemahkan, mereka sibuk memkaji pembahasan-pembahasan ta’aqquli dan istidlali (argumentatif). Oleh karena itu, kehidupan rasional kaum Muslimin memiliki sejarah dan latar belakang yang lebih panjang dan telah melewati empat belas abad. Dan dua abad gap (jarak) dengan kemunculan Islam adalah bentuk khusus dari hayat ta’aqquli yang kami namakan “hayat falsafi” (kehidupan filosofis) yang dimulai dengan terjemahan karya-karya Yunani dan Iskandaria.
Masa terjemahan terjadi pada abad kedua,ketiga dan keempat Hijriah. Dan puncak penerjemahan adalah abad ketiga. Sehingga sejak abad ketiga kaum Muslimin sudah memulai masa penulisan,pembuatan karya tulis dan penelitian. Dan filosof Muslim pertama yang memiliki banyak karya adalah–sebagaimana disebutkan oleh Ibn Nadim dalam kitab al-Fihrist–Ya’qub bin Ishak Kindi (wafat tahun 260 Hijriah).
Persoalan yang perlu dikaji dan diteliti lebih jauh adalah apakah hasil yang diperoleh kaum Muslimin selama dua belas abad ini? Apakahkaum Muslimin hanya mengulang-ulang kembali atau membebekperkataan dan pernyataan orang-orang dahulu? Apakah kaum Muslimin hanya berperan–dalam sejarah filsafat–sebagai penghubung dan perantara transisi filsafat dari masa klasik Yunani ke masa Baru Eropa dan mereka tidak memiliki peranan lain? Apakah filsafat Islam–sebagaimana terkenal seperti ini–berakhir pada era Ibnu Sina,Ghazali dan Ibn Rusyd dan setelah era ini,kita tidak akan menjumpai materi filsafat yang perlu diperhatikan? Apakah dalam filsafat Islam tidak ada materi yang dapat dikomparasikan dan disandingkan dengan materi-materi filsafat baru Eropa? Semua bentuk pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan baik dan benar. Tentu saja jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah mudah dan sederhana.Ini memerlukan waktu penelitian dan sumber serta kekuatan yang cukup.
Perjalanan filsafat dalam Islam adalah bagian dari perjalanan ilmu-ilmu dalam Islam, baik pengetahuan-pengetahuan yang berkembang di tengah kaum Muslimin dan diciptakan oleh mereka sendiri, seperti fikih,ushul, tafsir,hadis dirayah,rijal,sharf,nahwu, ma’ani wal bayan wa badi’ maupun ilmu-ilmu darti dunia luarIslam dan ditejemahkan dan kemudian dianggap sebagai bagian dari ilm,u-ilmu islami seperti kedokteran, bintang (falak),hisab, kontruksi, logika dan filsafat. Menurut para peneliti dan para penulis sejarah pengetahuan dan ilmu bahwa sesuatu yang pasti adalah seluruh ilmu-ilmu ini tumbuh dan berkembang serta menyempurna di dunia Islam. Dan kaum Muslimin mempunyai kedudukan tinggi dalam perkembangan budaya manusia dan kesempurnaan pengetahuan.
Terkait dengan ilmu-ilmu Yunani yang sampai pada kaum Muslimin, De Lacy O’Leary mengatakan: Pengetahuan Yunani yang sampai di tangan orang-orang Arab (Muslimin) bukan hanya bertahan dalam bentuk/gambar aslinya dan tidak tersentuh(tidak berubah),namun harus dikatakan bahwa ilmu-ilmu Yunani justru menemukan pertumbuhan dan perkembangan yang khusus di habibat atau lingkungan Arabi (Islami). Sebagai contoh, dalam bidang falak dan matematika, kaum Muslimin mengkombinasikan antara penemuan Yunani dan India lalu mereka memberikan sistematika baru padanya sehingga karena ini kita menyaksikan suatu perkembangan yang luar biasa pada dua disiplin ilmu ini di tangan orang-orangArab.