Robek Jiwaku dan Bau Anyir Sampah Dosaku!
Setiap ada peristiwa buruk, di baliknya pasti ada manfaat. Seseorang yang jalan hidupnya menyimpang dari kebenaran dan tidak menuju kesempurnaan. Kemudian ia meninggalkan kehidupan tersebut, dan menyadari bahwa jalan itu salah dan hanya menuju ke arah yang buntu. Lalu ia kembali kepada jalan spiritual (fitrah). Maka ia memiliki kesempatan baru untuk menebus lembaran kehidupannya yang kelam.
Manusia kerap menjadi budak hawa nafsunya. Ia merdeka secara lahiriah tapi terjajah secara batiniah. Bukankah Al-Qur’an memperingatkan perihal orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS. Al Furqan, ayat 43).
Bila hawa nafsu telah menjadi tuhan yang menguasai pikiran manusia maka ia akan bertindak melampaui batas dan tidak mengenal rambu-rambu hukum serta tidak merasa malu. Oleh karena itu, kita sering menyaksikan kebiadaban dan kerakusan manusia-manusia durjana yang dengan begitu enteng dan ringan saat beraksi melakukan dosa. Dan ketika dosa telah menjadi malakah (mendarah-daging) maka pendosa alih-alih menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi, bahkan ia cenderung menikmati dan menganggap benar dosanya. Saat pendosa sampai pada tahapan “menikmati dosa” maka sejatinya lonceng kematiannya telah dekat dan kesempatan untuk kembali dan bertaubat nyaris tertutup rapat.
Hidup adalah pergulatan dengan hawa nafsu. Hari ini hawa nafsu menang dan esok kita yang menang. Tragisnya, ada orang yang hampir tiap hari kalah terus dalam pertarungannya dengan hawa nafsunya. Baru bangun tidur, ia sudah membuka aktifitasnya dengan lembaran dosa. Sholat Subuh dengan begitu sederhana tanpa merasa menyesal ditinggalkannya. Ia mengawali waktu pagi dengan memaki istri dan anaknya. Ia terbiasa membuka harinya dengan kran dosa dan senang sekali bila berhasil menyakiti orang lain.
Seseorang yang membiarkan tumpukan dosa maka sampah-sampah dosa ini akan mengeluarkan bau anyir dan busuk dan akan membunuh pemiliknya dan mempengaruhi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Betapa banyak orang yang “merasa nyaman” saat membiarkan akumulasi dosanya, bahkan ia tidak merasa berdosa. Orang lain yang memikirkan dosanya dan terganggu dengan ulahnya namun yang bersangkutan aman-aman saja merokok dan jalan-jalan ke mall sambil cekikikan dan tertawa terbahak-bahak.
Ya, istidraj (memberi kesempatan dan mengulur-ulur waktu) dari Gusti Allah kadang justru “membunuh” masa depan manusia yang jahil dan zalim yang terlena dan lalai sehingga ia justru merasa aman dan nyaman saat mengulangi dosa. Alih-alih berancana taubat, justru hari demi hari kualitas dosanya semakin meningkat dan menajam. Korban demi korban berjatuhan dan penjahat ini masih tidur tenang dan merasa biasa-biasa saja.
Allah Swt memberi jiwa manusia sebagai modal perjalanannya menuju Sang Mahacinta dalam keadaan utuh dan bersih tapi kemudian manusia jahil justru merobek-robek jiwa dan fitrah suci ini dengan lumuran dosa. Sehingga ketika pakaian takwa ini berulang-ulang robek karena dahsyatnya dosa, utamanya dosa kepada sesama manusia (seperti dosa kepada orangtua dan saudara serta tetangga) maka pakaian suci ini ternoda dan tidak bisa dijahit kembali. Sebab, penjahit akan bisa menambal satu-dua kali robekan tapi kalau ratusan kali robekan maka pakaian itu harus dikandangkan dan dibuang.
Ya, tumpukan sampah dosa yang sudah kelewat batas dan yang bersangkutan sampai putus asa dari rahmat Allah yang luas kadang membuat ia mati,meskipun tampak hidup dan berjalan-jalan. Inilah kematian yang paling mengerikan.Inilah yang disebut oleh Sayidina Ali dengan istilah “mautul ahya” (jenazah yang masih hidup). Maka, sebelum menjadi jenazah hidup, taubatlah Anda!
Taubat adalah kesadaran pada diri manusia. Taubat bermakna kembali dari penentangan kepada ketaatan, dari penyelewengan kepada ketakwaan, dari kelalaian menjadi mengingat, dari keburukan menjadi kebaikan. Proses kembali membutuhkan pengetahuan, kehendak dan pertolongan dari Allah SWT, keputusan manusia, serta menjauhi tipu daya setan. Jadi, taubat bukan sekedar ucapan mulut semata, tetapi juga penentangan hati terhadap dosa dan kehendak nafsu, dan juga harus disertai dengan aktifitas praksis menjauhi perbuatan tersebut.
Karena bahaya dosa sangat nyata, maka taubat atas dosa juga adalah kewajiban yang bersifat mendesak. Jika waktu berlalu, dan kita sampai di batas akhir hidup kita, maka kesempatan untuk bertaubat bagi kita akan habis. Hal seperti ini diungkapkan oleh Alquran:
وَ لَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئاتِ حَتَّى إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ
Artinya: “Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertobat sekarang.” (QS. An-Nisa’: 18)
Kematian datang dengan tiba-tiba. Tidak seorang pun mengetahui kapan dan bagaimana ia akan mati. Oleh karena itu, sebelum menjadi lalai. Haruslah bersegera membuat perhitungan, dan bertaubat dari dosa-dosa. Dan jangan menunda-nunda untuk esok hari.
Imam Ali (kwj.) dalam wasiatnya kepada anaknya, Imam Hasan as bersabda: “Ketahuilah! Kau adalah mangsa kematian. Tidak ada jalan untuk lari darinya. Dan kematian pasti akan mendapatkanmu. Berhati-hatilah agar ia tidak menemukanmu dalam keadaan bergelimang dosa, dan ketika kau mengucapkan kata-kata taubat, kematian sudah berada di hadapanmu. Janganlah kau jadikan waktu yang sedikit membunuh dirimu sendiri.
Oleh karena itu, jika kita kembali ke fitrah ilahi yang ada dalam diri kita sendiri, dan memilih jalan taubat, maka kita akan sampai dengan mudah kepada Allah SWT.
Syekh Muh. Ghazali
Pemerhati sosial-keagamaan