Safari Arbain Adalah Obsesi Para Pencinta
Nabi saw bersabda:
حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنْ الْأَسْبَاطِ (والحديث حسنه الترمذي والألباني)
Husain dariku dan aku dari Husain. Semoga Allah mencintai siapa saja yang mencintai Husain. Husain adalah cucu di antara cucu-cucu (Hadis ini dianggap sebagai hadis hasan oleh Tirmidzi dan al-Bani).
Arbain (40) hari peringatan Haul Sayidina Husain pada setiap tahun menjadi saksi ekspresi mahabbah (cinta), syauq (kerinduan), muna (obsesi), jadb (ketertarikan), ‘alaqah (hubungan), dan milkiyyah (rasa memiliki). Aneka ekspresi ini diperankan oleh jutaan orang dari pelbagai mazhabsar, aliran, dan bahkan agama sekalipun. Kehadiran minoritas Ahlu Sunah dan sebagian agama lainnya menandakan bahwa Sayidina Husain tidak bisa diklaim hanya dimiliki oleh komunitas tertentu saja. Sebab, milkiyyah husainiyyah (rasa memiliki Sayidina Husain) adalah rasa universal dan internasional yang melewati sekat-sekat sempit primordialisme, bahkan melampaui budaya dan agama dan letak geografis seseorang. Karena itu, kami percaya—berdasarkan sabda Nabi saw di atas bahwa siapapun yang memiliki saham cinta kepada Sayidina Husain—apapun mazhab dan ajaran yang diyakininya, niscaya Allah yang tidak pernah menyia-nyiakan amal hamba-hamba-Nya akan membalasnya dengan kedermawanan dan kemurahan-Nya yang tak terbatas. Dan sebaliknya, siapapun yang dalam hatinya ada noktah benci meskipun cuma sebesar biji atom kepada Sayidina Husain dan para pecintanya, niscaya Allah Yang Mahaadil akan menghukum dan memperingatkannya. Yang demikian itu karena Sayidina Husain adalah waliullah dan Allah Swt senantiasa melindungi wali-Nya, dan supaya siapapun jangan macam-macam dengan orang dekatnya Tuhan.
Safar menuju Karbala adalah safar menuju madinah fadhilah (kota impian). Wisata rohani dari manapun ke Karbala adalah gerakan suci untuk liqa’ (menemui) al-habib (sang kekasih), an-nazhar ila wajhin karim (memandang wajah yang mulia), dan wishal baina al-‘asyiq wal ma’syuq (perpaduan antara pecinta dan yang dicintai). Di sini pernyataan “as-safar nisful ‘azab” (bepergian jauh itu separoh dari penderitaan) tidak berlaku. Ada yang berjalan ratusan kilo hingga sampai ke pusara Sayidina Husain; bahkan ada yang merangkak, ngesot, ada yang sakit dan tetap berjalan. Ya, cinta yang menggerakkan mereka semua. Begitu luar biasanya energi cinta ini sehingga Rumi bersenandung:
“Sesungguhnya cinta abadi akan mengubah—dengan izin Allah SWT—yang pahit menjadi manis, tanah menjadi emas, kekeruhan menjadi kejernihan, sakit menjadi kesembuhan, penjara menjadi taman, penyakit menjadi kenikmatan, kekerasan menjadi kasih sayang, malam menjadi siang, kegelapan menjadi cahaya, dan kekerasan menjadi kelembutan. Cintalah yang melunakkan besi, mencairkan batu, dan membangkitkan orang yang mati serta meniupkan di dalamnya kehidupan yang baru.”
Ancaman kelompok takfiri (yang suka mengkafirkan orang yang tidak sepaham) dan tafjiri (yang membunuh/mengebom orang yang dianggapnya kafir dan sesat) tidak menyurutkan sedikitpun niat dan tekad para pencinta Sayidina Husain. Mereka akan tetap berjalan dan berusaha sekuat tenaga sampai ke tujuan meskipun puluhan, ratusan dan bahkan ribuan bom dipasang di jalur dan jalan yang mereka lewati. Inilah spirit cinta yang selalu gagal dipahami oleh para pembenci pencinta Sayidina Husain. “Dosa besar” yang dilakukan para peziarah Sayidina Husain adalah karena mereka dianggap ghuluw (berlebihan) dalam mencintai cucu kesayangan Nabi saw ini.
Budaya safar Arbain bagi sebagian kalangan mungkin dianggap sebagai hal yang keterlaluan (melampaui batas) dan bahkan bid’ah dholalah (kebaruan dalam agama yang menyesatkan). Tapi para pencinta Sayidina Husain mempunyai logika tersendiri. Bagi mereka, kesyahidan Husain memiliki keunikan dan keistimewaaan yang bahkan tidak ada pada Sayidina Ali. Kedua-duanya (ayah dan anak) sama-sama sebagai syahid, tapi kesyahidan Husain memberi makna dan dimensi yang berbeda. Tidak ada yang membantah sumbangsih besar Sayidina Ali terhadap Islam dan Muslimin, tapi perjuangan heroik Sayidina Husain di saat nasib Islam berada di ujung tanduk di masa kepemimpinan Yazid, si fasik yang tajir melintir memberikan nilai lebih yang tidak terdapat di era sahabat Ali—karramallah wajhah. Dengan demikian, sangat wajar dan bisa dimaklumi kenapa pencinta Sayidina Husain itu begitu ekspresif, aktif dan sensitif terhadap masalah yang bertalian dengan Asyura dan Karbala.
Ya, safar Arbain ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang dalam hatinya ada goresan dan pendaman dan endapan cinta, sedangkan mereka yang “fi qulubihim maradh” (hatinya sakit), yakni orang-orang yang dalam kalbunya ada noktah hitam dan memendam kebencian serta minus basirah maka mereka tidak akan mampu hakikat safar rohani ini.
Ziarah Arbain akan memberikan makna, pengalaman spiritual, dan transformasi individual yang luar biasa bagi zair (peziarah) yang memiliki surplus cinta, sehingga cintanya meluber ke mana-mana dan mengenai ayah-ibunya, saudara-saudaranya, anak-istrinya, tetangga-sahabatnya dan masyarakat pada umumnya. Tapi zair yang sikap dan ucapannya masih menjengkelkan dan menyakiti aqrabun (kerabat dekatnya), padahal menurut Alquran “wal aqrabun aula bil ma’ruf (kaum kerabat harus diprioritaskan dalam kebaikan) adalah zair yang tidak dikehendaki kedatangannya alias tamu yang tidak diundang oleh Sayidina Husain.
Jadi, semakin sunyi hati dari rasa benci maka semakin dekat hati pada sang kekasih, al-Husain bin Ali. Hati yang disesaki dengan kebencian, kesinisan dan kecurigaan terhadap saudara seagama—apapun aliran dan mazhabnya yang notabene bersumber dari samudera Islam yang luas—adalah hati kotor dan khotor (berbahaya) yang bila tidak segera diobati tentu hati separah ini akan mengiring pemiliknya menuju hawiyah, wa ma adraka ma hiyyah (tahukah Anda apa sich hawiyah itu)? Narun hamiyah (neraka yang membakar).
“Husain dariku dan aku dari Husain” sebuah sabda agung yang perlu perenungan yang mendalam untuk memahami maknanya yang hakiki. Tapi yang jelas adalah perjuangan Sayidina Husain membawa misi kenabian sebagaimana yang disampaikannya: “Aku bangkit untuk mereformasi umat kakekku, Rasulullah saw.” Gerakan reformasi dan resolusi jihad Sayidina Husain banyak menginspirasi para pembela kebenaran sepanjang sejarah untuk tegas dan berani mengatakan: “Haihat minna dzillah” (kami tidak akan pernah tunduk terhadap kehinaan.
Jutaan peziarah yang datang dari pelbagai penjuru dunia: tua-muda, hitam-putih, Syiah dan Ahlu Sunah, muslim dan non-muslim semua muttafaq ‘alaih (bersepakat) bahwa kezaliman adalah musuh bersama. Islam minus keadilan adalah Islamnya Yazid dan Yazidiyyun (mereka yang berpola pikir dan pola sikap seperti Yazid). Dan kedatangan jamaah peziarah ke salah satu tempat paling mulia dan berkah tersebut untuk ikrar cinta dan kesetian kepada Sayidina Husain dan wujud terima kasih kepada beliau yang menyelamatkan Islam dan umat manusia dari pemimpin sefasik dan sehina Yazid.
Muhammad Asyiq Husaini