Sekolah Online dan Kesiapan Menghadapi Masa Depan
Dalam beberapa hari terakhir orang tua dan beberapa kalangan “dipaksa” untuk merekonstruksi ulang makna dari sekolah. Sekolah yang awalnya dimaknai sebagai sebuah gedung, bangunan, tempat dengan sekat-sekat khusus lengkap dengan papan tulis, meja guru, kursi dan semua kelengkapannya untuk belajar dan mengajar. Sekolah tidak melulu dalam sebuah gedung, perusahaan tidak melulu dalam sebuah gedung. Belajar mengajar tidak selalu harus dalam kelas, belajar tidak selalu harus dari orang berijazah S1, S2, S3 atau dari orang bergelar Profesor sekalipun. Belajar bisa dimana saja dan kapan saja. Belajar paling utama adalah di rumah bersama orang tua.
Sekolah online, sekolah jarak jauh, kuliah jarak jauh, dan beberapa nama mencuat demi mencegah semakin meluasnya wabah pandemik Corona. Sebuah sistem belajar darurat yang membuat syok banyak pihak, bukan hanya para pelajar, bahkan para guru dan lebih-lebih para orang tua tidak pernah membayangkan untuk belajar secara online, anak belajar dirumah tapi tetap selalu terhubung dengan dunia luar, dengan guru-guru pengajarnya, juga dengan teman-teman sekolahnya. Syok terapi pendidikan beruntun setelah sebelumnya mendapatkan sistem sekolah sesuai zonasi, konsep peruntuh sistem yang awalnya membedakan antara sekolah favorit dan sekolah biasa-biasa saja.
Karena belum ada kesiapan yang matang keluhan pun bermunculan dari orang tua dan para pelajar khususnya. Kesan lebih sulit mereka rasakan dari soal-soal yang diberikan oleh guru di belajar sistem online ini. Masing-masing guru memberikan tugas bertumpuk-tumpuk, tugas yang tidak bisa diselesaikan dalam satu jam, ini tidak terjadi untuk anak tingkat SMA saja bahkan juga oleh anak-anak yang masih SD.
Hal ini semakin terasa karena ada yang masih memaknai anak berada di rumah, tidak pergi ke sekolah yang berupa gedung-gedung megah adalah liburan. Konsep penanganan wabah pandemik corona berupa social distancing, stay at home, dimaknai lain, ayah tidak pergi ke kantor, anak tidak pergi ke sekolah artinya adalah hari libur, pantai Carita dan puncak pun menjadi tujuan liburan dadakan tersebut, kawasan puncak yang sudah menjadi langganan macet, pada hari-hari lockdown Jakarta pun menjadi lebih macet dibanding hari biasa. Sebab tempat-tempat “berlibur” di Jakarta sedang ditutup untuk sementara.
Kejadian ini adalah pelajaran besar khususnya bagi mas menteri pendidikan. Segala ide dan idealisme yang beliau sampaikan semenjak diangkatnya beliau menjadi nahkoda kapal pendidikan di Indonesia. Bahwa banyak persiapan yang harus dilakukan sebelum bisa membuat nyata ide-ide yang ada di benak beliau. Butuh perencanaan jangka pendek dan juga perencanaan jangka panjang. Tidak melihat dunia pendidikan sebagai media penyiap tenaga kerja semata. Sekolah-sekolah SMA yang dikonsep sebagai penyedia tenaga yang siap dengan Coding¸ sementara sebenarnya sekarang ini sudah ada. Sekolah tingkat D4 setara S1 yang khusus mempelajarinya. Sekolah Tinggi Statistik, alumninya pun sudah digadang-gadang oleh Badan Pusat Statistik Negara. Jadi rencana untuk menjadikan SMA sebagai tempat belajar Coding dan semacamnya perlu dikaji lebih dalam. Menurut penulis jika dibutuhkan orang-orang yang ahli Coding, maka ditambah lagi kapasitas sekoleh Tinggi Statistiknya, dibuat lagi Sekolah Tinggi Statistik yang lain. Merubah sistem yang ada akan berdampak besar khususnya dari sisi kesiapan berbagai elemen pendukungnya.
Mas Menteri mengkritik bahwa alumni SMA banyak yang tidak memiliki skill yang mumpuni, gagap berkomunikasi, tidak bisa berinisiasi. Etos Kerja yang rendah[1]namun banyaknya jumlah pengangguran dari alumni SMK dua tiga tahun terakhir setelah sebelumnya gencar terjadi promosi pendirian SMK juga perlu menjadi pelajaran. Merubah pendidikan SMA menjadi sekolah semacam sekolah kejuruan dan lebih fokus ke skill tertentu jelas perlu dikaji ulang.
Merubah sistem pendidikan Indonesia yang masih berorientasi Gedung, beorientasi pada akreditasi A. Menjadi sekolah tanpa gedung, pengajaran jarak jauh, sekolah lebih ke sistem berorientasi pada pendidikan tanpa embel-embel masalah ekonomi adalah ide yang sangat ideal, tapi hal ini tidak bisa tanpa persiapan panjang dan matang, harus dipertimbangkan ulang bahwa hal ini akan dilakukan dalam jangka pendek lima tahun atau jangka panjang.
Kegamangan sebagian guru ketika harus mengajar online juga menjadi catatan penting. Sebagian guru-guru tersebut sebelumnya tidak pernah merasakan belajar online, memberi tugas dalam pengajaran online berbeda dengan memberi PR.
Wabah Covid-19 selain disinyalir bermanfaat dalam mengurangi pencemaran udara, menjadi syok terapi pentingnya menjaga kebersihan dan kepedulian kepada orang lain, juga menjadi media untuk menjajal kesiapan bangsa ini menghadapi masa depan. Dunia dengan pemampatan waktu, sistem yang lebih mengutamakan kepada hasil bukan pada proses. Bukan lagi berbasis kepada gedung sekolah, tetapi lebih kepada hasil pengajaran yang mumpuni dan bisa dirasakan hasilnya, tidak semata-mata menjadi penyiap tenaga kerja yang dibutuhkan perusahan multilateral tapi juga menyiapkan manusia-manusia tangguh dengan karakter yang kuat, sosok yang tentunya tidak terlepas dari konsep keindonesiaan.
Masa depan kita tidak tahu, tapi apa yang telah dan sedang terjadi bisa menjadi pelajaran besar. Bisa menjadi bahan untuk memprediksi apa yang akan terjadi nantinya, sehingga perencanaan jangka pendek dan jangka panjang bisa disusun dengan baik.
Kita semua ingin Indonesia unggul, ingin Indonesia maju, masyarakat hidup dalam kedamaian dan penuh kecukupan. Semoga Indonesia dan juga seluruh masyarakat dunia segera bisa berlepas dari wabah ganas Covid-19 ini. Terlepas apakah ini adalah senjata biologi atau apa yang jelas, dunia dituntut memiliki kesiapan menghadapi ancaman-ancaman semacam ini, ancaman yang menurut Bill Gate sebelum wabah Corona membuat risau Dunia disebut lebih menakutkan dibanding ancaman serangan bom Nuklir sekalipun.[2]
[1] Mendikbud Nilai Persoalan Kualitas SDM Indonesia, https://www.youtube.com/watch?v=gS2HGF-kNmU
[2] TED Talks, The next outbreak? We’re not ready | Bill Gates, April 2015, https://www.youtube.com/watch?v=6Af6b_wyiwI