Psikologi Kualitas Kepribadian Sayidah Zainab as Bag 2
Kualitas Faktor Pembentuk Kepribadian Sayidah Zainab as
Saat menganalisa faktor-faktor pembentuk kepribadian Sayidah Zainab as, maka akan kita dapati semuanya berada pada level tertinggi dan kualitas yang sangat tinggi. Pada dimensi genetik beliau mewarisi orang tua dan leluhur yang luar biasa. Kakeknya, Rasulullah saw adalah manusia termulia dan tersempurna di alam semesta, penghulu para nabi. Neneknya, Sayidah Khadijah adalah perempuan pertama yang menerima kebenaran ajaran Islam dan salah satu perempuan penghulu surga. Ayahandanya, Imam Ali as adalah washi Nabi as, orang yang pertama masuk Islam, singa Allah, pahlawan dalam berbagai peperangan, pintunya ilmu dan orator ulung. Ibundanya, Sayidah Fathimah as penghulu para wanita semesta alam, wanita yang sangat mirip Rasulullah saw dalam kesempurnaan, keutamaan dan akhlak. Jika diibaratkan dengan ucapan Imam Ali as kepada Imam Hasan as, maka potensi bawaan kepribadian Sayidan Zainab as adalah bagaikan tanah yang subur dengan kualitas tertinggi.
Kualitas kepribadian yang dimiliki oleh orang tua dan leluhur beliau sedikit banyak berpengaruh terhadap kepribadiannya yang agung. Keberanian, kesabaran, ketangguhan, keilmuan, kefasihan dalam bicara dan khutbah, kecerdasan, kesempurnaan, penghambaan dan sifat mulia lainnya, sedikit banyaknya terwarisi dari orang tua dan leluhurnya.
Pada dimensi faktor lingkungan, beliau berada pada lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan yang sehat dan dinamis. Sayidah Zainab as as tumbuh dan berkembang di lingkungan rumah tempat para malikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, di lingkungan rumah yang sehat secara spiritual, sosial, emosional, dan intelektual. Beliau tumbuh berkembang di lingkungan rumah yang sangat peduli kepada orang lain, bahkan lebih mendahulukan orang lain. Beliau tumbuh berkembang di rumah yang penuh kesederhanaan dan penuh kasih sayang. Lingkungan rumah seperti ini tentu akan memberikan pengaruh dalam membentuk karakter beliau.
Dalam dimensi pendidikan beliau pun mendapatkan pendidikan dan guru-guru terbaik. Pendidikan kakeknya, ayahandanya, dan ibundanya sejak dini menjadi bekal di kemudian hari untuk menjadi pribadi yang sangat cerdas dan agung. Semua dimensi kecerdasannya berkembang dengan dinamis, kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, kecerdasan moral dan kecerdasan sosial.
Sayidah Zainab as hanya sampai usia lima tahun hidup bersama kakek tercintanya, namun waktu singkat tersebut telah dimanfaatkan oleh Rasulullah saw dalam mendidik cucunya tersebut untuk menjadi pribadi yang tanguh di kemudian hari. Rasulullah saw juga memberikan perhatian dan kasih sayang penuh untuk cucu-cucunya, tak terkecuali Sayidah Zainab as. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa saat masih kanak-kanak Sayidah Zainab as berimpi, kemudian beliau menceritakan mimpinya tesebut kepada kakek tercintanya.
“Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke berbagai arah. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun, angin kencang itu telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu aku pun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat sampai akhirnya aku terbangun.
Rasulullah saw menangis setelah mendengarkan cerita itu seraya bersabda, Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon nbesar tersebut adaah ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambing duka cita atas musibah yang menimpa mereka.”[1]
Dari riwayat tersebut dapat difahami bahwa sejak jauh-jauh hari Rasulullah saw telah mendidik cucunya agar siap secara mental dan spiritual dalam menghadapi berbagai peristiwa pedih hingga menjadi pribadi yang sabar dan tangguh.
Ayahandanya, Imam Ali as juga telah memberikan perhatian penuh dan mendidik putri tercintanya sejak usia dini. Ayah dan ibu memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Mendidik anak bukanlah semata tanggungjawab seorang ibu. Hal tersebut dapat kita lihat dalam al-Quran tentang kisah percakapan Nabi Ibrahim as dengan putranya, Ismail as, dan percakapan Lukman al-Hakim dengan putranya. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa ayah mempunyai peranan penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak.
Imam Ali as, sebagai al-Quran Nathiq (al-Quran yang bicara) telah mencontohkan hal tersebut kepada umatnya. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam percakapan beliau dengan putri tercintanya yang mengisyaratkan tentang peran beliau dalam pendidikan intelektualitas putrinya. Beliau memberikan waktu luang untuk bercengkrama dengan putrinya, yang mungkin tidak semua ayah dapat melakukan hal itu dengan baik.
Pada suatu hari, Sayidah Zainab as yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku, apakah engkau mencintaiku? Kemudian Imam Ali as menjawab, “Bagaiman mungkin aku tidak mencintaimu, engkau adalah buah hatiku.’ Lalu beliau berkata lagi, ‘Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah swt sementara kasih sayang untuk kita.”’
Dalam riwayat lain juga dikisahkan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukan putrinya, Sayidah Zainab as di pangkuannya. Kemudian beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata, “Putriku sayang, katakan satu. ‘Satu,’ timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya, ‘Putriku sayang, katakan dua.’ Namun Sayidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as menglangi ucapannya sembari berkata, “Katakanlah wahai cahaya mataku.; saat itu Sayidah Zainab as menjawab, ‘Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.’ Mendengar ucapannya itu lalu Imam Ali as memeluk dan menciumnya dengan penuh rasa haru.”[2]
Itulah sosok ayah teladan yang sekaligus guru bagi putrinya. Imam Ali as senantiasa mendidik putrinya sejak usia dini dan membimbingnya saat usia dewasa. Saat Imam Ali as memindahkan pusat pemerintahannya ke Kufah, beliaupun membawa putrinya, Sayidah Zainab as dan menugaskannya untuk mengajar tafsir, hukum Islam dan berbagai ilmu lainnya kepada perempuan Kufah atas permintaan para lelaki Kufah. Beliau menjadi rujukan kaum perempuan Kufah dalam berbagai bidang ilmu.
Pernah pada suatu hari Sayidah Zainab as tengah menjelaskan tafsir huruf muqaththaah (terpotong-potong), ‘kaf-ha-ya-ain-shad’. Setelahnya Imam Ali as berkata kepadanya, “Wahai cahaya mataku, ketahuilah sesungguhnya huruf-huruf ini merupakan kode rahasia atas apa yang akan menimpamu dan saudaramu, Husain di tanah Karbala.”[3]
Meskipun hidup bersama ibundanya, Sayidah Fathimah as hanya sekitar 5 tahunan, namun beliau mendapatkan perhatian dan pendidikan yang berkualitas. Dimensi-dimensi spiritual, intelektual, mental dan sosial yang ibundanya ajarkan dan contohkan langsung dalam kehidupan itu memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kepribadiannya.
Ibundanya mengajarkan tentang kesederhanaan, penghambaan, iffah dan kesucian diri, peduli kepada sesama dan mendahulukan orang lain. Berani membela kebenaran dan menuntut hak juga beliau ajarkan kepada putrinya, sehingga Sayidah Zainab as yang masih usia dini menyaksikan langsung khutbah ibundanya yang disampaikan tentang hal itu. Sayidah Zainab as menyimak penuh dan mengingatnya khutbah ibundanya dengan sempurna padahal saat itu beliau berusia lima tahun. Keberanian Sayidah Zainab as dalam menyampaikan khutbah di Kufah dan Syam itu belajar dari ibundanya dalam menyampikan kebenaran. Tentu, kefasihan Sayidah Zainab as dalam berbicara dan berpidato itu belajar dari Ayahanda dan Ibundanya, hingga beliau menjadi sang orator ulung.
Faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor pendidikan, semuanya dimiliki sangat ideal oleh Sayidah Zainab as, tapi apa cukup dalam membangun kepribadian yang sangat berkualitas tinggi? Tentu tidak, tidak jarang ada orang yang secara genetik, lingkungan, pendidikan sangat baik, namun tetap melakukan penyimpangan karena faktor free will atau kebebasan dalam berkehendaknya lemah. Namun tidak dengan Sayidah Zainab as, dalam semua faktor berada pada level tinggi. Sebagai contoh, beliau memiliki pilihan untuk tidak ikut ke Karbala, dapat menangis di luar kontrol saat menyaksikan pembantaian terhadap saudaranya, kemenakan-kemenakannya, dan putra-putranya. Namun beliau tidak melakukan semua itu. Mengambil keputusan dan pilihan tepat dalam berbicara dan bersikap adalah puncak dari kepribadiannya yang agung.
Bagaimana dengan kita? Bagaimana dalam menerapkannya dalam keluarga kita dengan melihat kehidupan beliau? Dari keagungan pribadi Sayidah Zainab as kita dapat mempelajari peranan keluarga dalam membentuk kepribadian seseorang. Mendidik diri menjadi orang tua yang baik, menciptakan lingkungan dan pendidikan yang tepat, akan mempermudah generasinya dalam mengambil pilihan yang tepat dan tidak melakukan penyimpangan. Menjadi seseorang yang berkpribadian luhur dan mulia. InsyaAllah
[1] Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, Muhamad Kadzim Qazweini, hal 40-41.
[2] Ibid, hal. 39
[3] Ibid, hal.37