Telaah Singkat Tahdzib Al-Ahkam Dan Al-Istibshar Syeikh Thusi (Bagian Terakhir)
Penutup
Riwayat-riwayat Kutub Arba’ah Syiah secara keseluruhan memiliki akseptabilitas umum. Namun akseptabilitas ini hanya menyelesaikan problema sanad dan melenyapkan keraguan tentang sanad riwayat. Adapun hujjiah dan kemuktabaran riwayat-riwayat dalam Kutub Arba’ah bersyarat kepada beberapa hal berikut:
– Tiadanya beberapa penyakit dan halangan seperti riwayat yang syudzudz,
– Tidak adanya hadis yang lebih kuat,
– Tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah yang qath’i,
– Tidak bertentangan dengan akal,
– Tidak bertentangan dengan amal masyhur,
– Tidak adanya berbagai riwayat yang menentangnya,
– Tidak adalnya idhthirab dalam teks riwayat.
Keberadaan faktor-faktor di atas dapat mempengaruhi akseptabilitas umum riwayat-riwayat dalam Kutub Arba’ah dan menjadikannya tidak muktabar. Akan tetapi, bila tidak ada penyakit-penyakit itu, riwayat-riwayatnya secara keseluruhan dianggap muktabar dan tidak perlu membuktikan ketsiqahan para perawi dan kesahihan sanad-sanadnya.
Meskipun Kutub Arba’ah memiliki kedudukan dan nilai tinggi disebabkan berbagai faktor, di antaranya kepribadian spiritual dan ilmiah para penulisnya, namun hal itu tidak dapat dijadikan lisensi atau otorisasi untuk menyatakan kesahihan seluruh riwayatnya dan menutup pintu koreksi.
Koreksi yang dilakukan pun harus didasarkan pada kaedah-kaedah ilmu rijal, fikih hadis, dan ushul yang akan menyaring berbagai riwayat sehingga dapat diharapkan dan diyakini kesahihannya
Hal ini tidak berarti bahwa riwayat-riwayat dhaif tidak perlu diperhatikan sama sekali, namun harus diketahui dan dipergunakan saat dibutuhkan, karena seperti itulah metode ilmu ushul. Selama dalil qath’i masih ada, tidak ada jalan bagi zhan. Selama zhan khusus dan muktabar (dalil sahih dan muwatstsaq) ada di jalur sanad dan dijangkau para peneliti atau pengkaji, tidak ada alasan menyatakan adanya zhan mutlak dan non-muktabar. Saat dibutuhkan dan dalam keadaan terpaksa, riwayat-riwayat itu akan menjadi muktabar menurut hukum akal dan syareat. Betapa banyak hadis dhaif dari sisi sanad (dhaif menurut orang lain) dapat dipoles dengan amal masyhur fuqaha.
Tentunya riwayat-riwayat dhaif memiliki berbagai macam bentuk; dhaif dari sisi sanad dan isi, dhaif sanadnya saja (sementara isinya tidak menjadikannya dhaif karena bersandar kepada para imam a.s.). Menurut keterangan para imam, riwayat-riwayat dhaif sejenis ini dapat diamalkan dan layak diperhatikan.
Tidak diragukan, dalam Kutub Arba’ah terdapat riwayat-riwayat kontradiktif dan perawi-perawi yang dituduh ghulu (meskipun hal kedua jarang dijumpai dalam dua kitab Syeikh Thusi). Meski Kutub Arba’ah memiliki berbagai keistimewaan dan keunggulan, namun tidak satu pun terjaga sepenuhnya dari penyakit-penyakit yang ada, seperti lemahnya sanad dan teks.
Akhir kata, dua catatan di bawah ini layak untuk diperhatikan dengan seksama:
1- Setiap peneliti dan pengkaji ilmu-ilmu agama berkewajiban secara teliti menerapkan dasar-dasar kritik hadis saat memanfaatkan kitab-kitab jami’ hadis, terutama Kutub Arba’ah (karena signifikansi dan kedudukannya). Selain itu, ia harus mengenal persyaratan dan penyakit dalam memahami riwayat. Saat dihadapkan kepada riwayat-riwayat yang kontradiktif, ia dapat mengambil keputusan yang meyakinkan dengan dasar ilmu; karena tidak dapat dengan mudah menerapkan kaidah tasaquth atau takhyir atau tawaqquf.
2- Meski koreksi kitab-kitab hadis, terutama Kutub Arba’ah telah dilakukan oleh para peneliti, seperti Ali Akbar Ghifari dan Muhammad Baqir Behbahani dalam beberapa tahun terakhir ini, namun bukan berarti meniadakan signifikansi koreksi; karena koreksi selalu diperlukan di setiap generasi. Alasannya, hikmah riwayat akan tampak dengan berlalunya waktu bersama kamajuan ilmu pengetahuan yang dengan sendirinya berpengaruh besar dalam menyelesaikan permasalahan hadis-hadis yang kontradiktif.