Trilogi Azan: Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

azan yang baik dan benar
Dalam Daftar Panjum Matsnawi Ma’nawi[1] dikisahkan seorang muazin bersuara buruk yang sedang mengumandangkan azan di kawasan/kota yang dihuni oleh kaum Muslim dan non-Muslim. Ternyata seorang non-Muslim yang mendengar suara azannya justru memberinya hadiah atas azannya tersebut.
Kisahnya seperti ini: Suatu hari seorang non-Muslim (Kristiani) memasuki kawasan Muslim dan bertanya: Di mana muazin itu? Mereka bertanya: Apa perlunya Anda? Lelaki tersebut menjawab: aku ingin berterima kasih padanya karena ia telah membantu menyelesaikan masalah besarku. Kemudian orang-orang mengantarnya untuk menemui muazin yang dicarinya. Setelah bertemu, muazin bertanya: kenapa kamu harus berterima kasih padaku? Lelaki Kristiani tersebut menjawab: Kamu sangat berjasa kepadaku dan bagiku tidak ada seorangpun yang lebih berjasa daripada kamu. Ceritanya seperti ini, saya memiliki anak perempuan. Saya sudah berupaya maksimal untuk mengajaknya ke gereja namun ia enggan. Ia tidak ikut serta dalam ritual kami dan tidak peduli dengan keyakinan kami. Dan kami benar-benar tidak mampu mengatasi masalah anak ini.
Dua atau tiga hari yang lalu saat kamu mengumandangkan azan, anak perempuanku mendengarnya dan ia bertanya: suara apa ini? Dari mana suara ini? Kami menjawab: ini adalah azan kaum Muslim. Sejak saat itu, kami bebas dari masalah ini. Sebab, kecintaan kepada Islam telah pudar sepenuhnya dari hati anak perempuan ini. Dan sekarang ia telah kembali kepada keluarga seperti sedia kala dan rajin pergi ke gereja dan melaksanakan ritual-ritual kami. Kami merasa berhutang kepadamu. Sebab kamulah yang mengembalikan anak kami kepada pangkuan kami.
Azan pertama kali dilakukan oleh sahabat Bilal bin Rabah. Azan dalam Islam, selain sebagai ibadah, juga termasuk dari syiar agama. Secara bahasa, azan bermakna al-I’laam (memberi tahu). Sedangkan azan menurut istilah syariat ialah: gabungan perkataan tertentu yang digunakan untuk mengetahui waktu shalat fardhu. Atau terkadang didefinisikan sebagai pemberitahuan tentang waktu shalat dengan lafal-lafal tertentu.
Al-Quran, As-Sunnah, dan al-Ijma’ menyatakan bahwa adzan disyariatkan dalam agama. Salah satu hadis yang menjelaskan keutamaan muazin adalah:
الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Para muadzin adalah orang yang berleher panjang pada Hari Kiamat,” (HR. Muslim).
Beberapa ulama memaknai leher panjang ini sebagai sebuah majaz. Ibnu Arabi yang mengatakan bahwa mereka adalah orang yang paling banyak amalnya. Sedangkan Imam Qadhi Iyadh berpendapat bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang senantiasa mengumandangkan azan akan cepat dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga-Nya.
Namun ulama berbeda pendapat tentang hukum adzan, apakah ia wajib atau sunnah. Jumhur ulama mahzab berpendapat bahwa adzan hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa azan adalah kebenaran yang harus disampaikan dan disyiarkan. Azan yang merupakan manifestasi kebenaran itu harus disampaikan dengan cara yag baik dan sekaligus indah. Dengan kata lain, tidak semua orang bisa dan layak menjadi muazin. Ada serangkaian syarat-syarat yang harus dipenuhi bila seseorang ingin menjadi muazin, yaitu:
- Muslim
- Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
- Adil dan amanah
- Memiliki suara yang bagus
- Mengetahui kapan waktu solat masuk[2]
Syarat keempat itulah yang perlu kami garis bawahi karena sesuai dan relevan dengan pembahasan kita, yaitu trilogi azan: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu”. Perlu dicatat di sini bahwa ada yang berpandangan bahwa memiliki suara yang bagus itu bukan syarat muazin tapi sifat muazin yang sangat ditekankan.
Sayyidina Umar bin al Khatthab RA, Khalifah kedua setelah wafat Rasulullah SAW yang sangat terkenal ketegasannya pun pernah menegur muazin semasanya, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi’yar RA, yang azan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya. Penuh ketegasan Sayyidina Umar RA menegur muazin itu:
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ
Artinya, “Aku khawatir perut bagian pusar hingga (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah,” (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71).
Dr. Alauddin az-Za’tari, penanggung jawab Dar al-Fatwa di Suriah memaknai redaksi hadis tentang azan yang popular ” َإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ” sebagai isyarat akan urgensi suara yang bagus, khususnya saat mengumandangkan azan. Azan dengan suara bagus adalah perintah Nabi saw yang harus kita perhatikan dan kita laksanakan.
Lebih jauh beliau menerangkan bahwa kebagusan dan keindahan suara azan mampu menarik para pendengar untuk menyukai azan dan memotivasi serta menyemangati mereka untuk melaksanakan shalat. Dan pemilihan para muazin yang bersuara bagus dengan sendirinya akan menutup peluang muazin yang buruk suara sehingga suaranya tidak pernah menggangu orang lain karena yang dikeluhkan itu bukan semata kerasnya volume azan tapi buruknya suara muazin. Demikian penjelasan Dr. Alauddin az-Za’tari.
Kesimpulan
- Islam adalah agama yang memperhatikan unsur kebagusan dan keindahan dalam setiap aspek ajarannya.
- Kadang-kadang penerapan yang salah dari ajaran Islam justru merusak citra Islam dan mencegah ketertarikan seseorang dari menganut Islam untuk selamanya.
- Azan yang merupakan suara kebenaran sebaiknya disampaikan oleh muazin yang bersuara bagus dan indah.
- Rasulullah saw telah memberikan contoh dan teladan yang baik bagi kita dalam hal pemilihan muazin dengan suara kuat dan indah (merdu) pada diri sahabat Bilal bin Rabah. Kita tahu bahwa Bilal dipilih sebagai muazin bukan karena ketinggian tingkat keimanan dan ketakwaannya yang tentu masih banyak sahabat yang lebih bertakwa dan beriman daripada beliau namun pemilihan muazin ini berdasarkan kompetensi kebagusan suara dan kekuatan vokal.
- Ibadah dalam agama Islam sangat memperhatikan hak Muslim dan non-Muslim, terutama dalam hubungan bertetangga sehingga jangan sampai aktifitas ibadah itu menggangu ketenangan orang lain. Demikian mulianya kedudukan tetangga dalam Islam sampai-sampai ada kekhawatiran bahwa tetangga bisa mendapatkan warisan.
Wallau A’lam
Syekh M. Ghazali
Referensi:
Daftar Panjum Matsnawi Ma’nawi Maulana, hal. 752.
http://www.nu.or.id/post/read/86224/ini-sejumlah-syarat-sah-azan. Tanggal akses 27/8/2018.
http://www.konsultasislam.com/2011/05/syariat-adzan.html. Tanggal akses 27/8/2018.
https://muslim.or.id/7648-tata-cara-adzan-dan-iqomah.html. Tanggal akses 27/8/2018.
http://site.islam.gov.kw/eftaa/JurisprudenceFacilitator/Pages/Jurisprudence10.aspx
https://www.okaz.com.sa/article/366718. Tanggal akses 27/8/2018.
[1] Teks aslinya adalah:
یک مؤذن داشت بس آواز بد
در میان کافرستان بانگ زد
چند گفتندش مگو بانگ نماز
که شود جنگ و عداوتها دراز
او ستیزه کرد و پس بیاحتراز
گفت در کافرستان بانگ نماز
خلق خایف شد ز فتنهٔ عامهای
خود بیامد کافری با جامهای
شمع و حلوا با چنان جامهٔ لطیف
هدیه آورد و بیامد چون الیف
پرس پرسان کین مؤذن کو کجاست
که صلا و بانگ او راحتفزاست
هین چه راحت بود زان آواز زشت
گفت که آوازش فتاد اندر کنشت
دختری دارم لطیف و بس سنی
آرزو میبود او رامؤمنی
هیچ این سودا نمیرفت از سرش
پندها میداد چندین کافرش
در دل او مهر ایمان رسته بود
همچو مجمر بود این غم من چو عود
در عذاب و درد و اشکنجه بدم
که بجنبد سلسلهٔ او دم به دم
هیچ چاره میندانستم در آن
تا فرو خواند این مؤذن آن اذان
گفت دختر چیست این مکروه بانگ
که بگوشم آمد این دو چار دانگ
من همه عمر این چنین آواز زشت
هیچ نشنیدم درین دیر و کنشت
خوهرش گفتا که این بانگ اذان
هست اعلام و شعار مؤمنان
باورش نامد بپرسید از دگر
آن دگر هم گفت آری ای پدر
چون یقین گشتش رخ او زرد شد
از مسلمانی دل او سرد شد
باز رستم من ز تشویش و عذاب
دوش خوش خفتم در آن بیخوف خواب
راحتم این بود از آواز او
هدیه آوردم به شکر آن مرد کو
چون بدیدش گفت این هدیه پذیر
که مرا گشتی مجیر و دستگیر
آنچ کردی با من از احسان و بر
بندهٔ تو گشتهام من مستمر
گر به مال و ملک و ثروت فردمی
من دهانت را پر از زر کردمی
[2] Dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi’i karya Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dijelaskan bahwa hukum azan adalah sunah. Azan juga memiliki beberapa syarat sah. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa syarat sah azan ada tujuh.