Tubuh dalam Peradaban Modern
Marleu-Ponty seorang filsuf fenomenologis, mengangkat tulisan yang menarik tentang tubuh. Menurutnya ketika kita ingin berbicara tentang jiwa atau sesuatu yang transenden kita hanya bisa memulai dengan sesuatu yang dekat dengan diri kita dan itu adalah tubuh. Dengan melakukan pengamatan atas tubuh, kita dapat mempersepsi ide-ide yang immaterial atau konsep-konsep yang transendental. Tubuh tidak hanya diam dan gelap, tapi juga memberikan ide, gagasan, pengetahuan, selera dan juga ideologi.
Secara sederhana, Marleu-Ponty ingin mengajak kita kembali merefleksikan tentang tubuh yang selama ini hanya menjadi bagian yang ‘terabaikan’ begitu saja oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang pertama yang perlu dipertanyakan juga adalah siapakah yang memiliki hak untuk menganalisa tubuh? Apakah kaum perempuan yang selama ini lebih banyak dimanfaatkan tubuhnya saja, dibanding intelektualnya? Ataukah kaum agamawan yang ingin menghapus seluruh penampilan tubuh, atau menutupnya dengan cara memusuhi sebagian perempuan dan mengembalikannya aspek dominasi kaum laki-laki? Ataukah boneka-boneka kafitalis yang banyak memamah biak keuntungan ekonomis dan ideologis dari tubuh?
Para pengeritik kaum liberal memandang bahwa kaum laki-laki telah memutar balikan fakta dengan menyerang perempuan sementara yang rusak duluan adalah pikiran laki-laki. Seolah-olah mereka ingin membalikan argumen, bahwa yang harus direkonstruksi ulang adalah pola pikir laki-laki dan bukan soal pembatasan visualisasi tubuh.
Tubuh feminis memang lebih banyak mendominasi wacana publik, sehingga perlu menjadi genre studi yang khusus perihal pemisahan khusus dari tubuh laki-laki. Keduanya memang disatukan dalam satu genus tubuh, yaitu jisim. Tubuh perempuan perlu diangkat dan dianalisa bukan hanya karena laki-laki banyak berbicara dan menjadi objek setiap wacana tapi juga karena perempuan sendiri lebih banyak memberikan esktra perhatian yang besar dibandingkan laki-laki terhadap tubuhnya sendiri. Bagi perempuan tubuh bukan hanya sekedar citra biasa, namun sudah menjadi instrumen istimewa. Jiwa dianggap tidak menarik, abstrak, tidak dapat disentuh dan tidak memberikan nilai-nilai estetika dan ekonomis. Tubuh tidak hanya memberikan nilai bagi kehadiran di tengah-tengah komunitas tapi juga memberikan kebahagiaan personal.
Kafitalis melihat sisi ini untuk banyak bermain-main dengan tubuh dan konsekuensinya adalah pendegradasian entitas lain di dalam tubuh. Yang satu diangkat yang lain diinjak-injak. Yang satu menjadi pusat dan yang lain menjadi periperal. Yang pusat menjadi pinggiran dan yang pinggiran menjadi pusat. Karena sejak awalnya adalah pemujaan daging, maka kaum kafitalis menjadi semakin kreatif. Tubuh karena memiliki dimensi-dimensi yang dapat menunjang daya tarik dan daya atraktifnya, maka sang pemilik tubuh indah terobsesi untuk memperkuat citra tersebut.
Tubuh yang bergerak secara dinamis namun gerak-gerak itu bukan untuk mencurahkan perasaan-perasan yang terdalam dari jiwa spiritual yang harmonis dengan alam seperti gerakan-gerakan thai-ci, tapi justeru gerakan-gerakan yang memperkuat ketubuhan tubuh yaitu sensualitas. Tubuh-tubuh yang memiliki daya jual tinggi tidak boleh diam, ia harus dieksplorasi dan dieksploitasi dan tidak menyisakan jarak dengan pemujaan daging, namun juga jangan terlalu ekstrim sebab ke tingkat ekstrim akan menghilangkan apetit (selera). Seperti halnya tubuh juga harus dimake- up secara artistrik. Tubuh tidak boleh ditampilkan segalanya sebab malah mengurangi nilai seni bisnis dan juga anti dengan penutupan tubuh secara total sebab itu adalah diam, kegelapan dan kebodohan. Jadi tubuh hanya disingkap sedikit bagian-bagian yang mengundang rasa penasaran, curiosity, setiap segala sesuatu yang berhasil memperkuat rasa penasaran memiliki nilai jual tinggi dan meningkatkan citra.
Sebagian para filsuf dan agamawan memandang tubuh sebagai sesuatu yang najis. Karena itu harus dibersihkan sebersih-bersihnya. Dalam fikih misalnya, aturan mandi janabat, aturan wudu, adalah ekspresi bahwa tubuh tidak bisa tampil apa adanya tanpa memiliki kualitas-kualitas kesucian.
Tubuh yang kotor, tubuh yang tidak terawat mungkin juga karena jiwa tidak memperhatikan tubuh, maka penyakit –penyakit menjangkiti tubuh akan menjalar pada jiwa. Bukankah ketika pusing kepala atau sakit perut jiwa juga terganggu, tetapi tetap saja yang menjadi aktor adalah jiwa kenapa jiwa membiarkan tubuhnya tak terawat. Mungkin ada masalah dengan jiwanya.
Ketertarikan manusia pada tubuh-tubuh yang indah yang ditampilkan dengan cara-cara yang indah, atraktif dan menarik sebenarnya telah mereduksi sisi batin dari manusia. Manusia modern berusaha memalingkan dari sesuatu yang esensial dan krusial. Budaya meningkatkan citra tubuh adalah budaya materialisme yang terus-terusan ingin memoleskan citra-citra sensual dan visual dari tubuh. Disini terjadi ketidak adilan sebab yang terpilih adalah tentunya tubuh-tubuh yang sehat dan bergizi dan tubuh dari wajah-wajah yang enak dipandang mata. Seni sekarang di dunia modern sudah menjadi perpanjangan dari kafitalisme yang tidak memberikan kesempatan kepada entitas apapun untuk berkembang bebas dari sentuhan kafitalisme.