Pakaian Gus Dur
Pakaian, libas dalam bahas Arab bermakna sesuatu yang menutupi badan manusia. Kata libas dengan pelbagai derivasinya disebutkan 23 kali dalam Al-Qur’an . Dalam ungkapan Al-Qur’an, pakaian bukan hanya bersifat material/fisikal tapi juga spiritual/rohani sehingga karena itu pasangan yang menutupi aurat dan keburukan pasangannya disebut dengan pasangan yang menjadi pakaian bagi pasangan lainnya.
هُنّ لباس لکم وانتم لباس لهن
Mereka (para istri) itu adalah pakaian bagimu, dan kalian (para suami) pun adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al Baqarah” 187)
Abdurrahman Wahid (Gus Dur–rahimahullah) pernah membuat heboh karena keluar dari istana kepresidenan dengan menggunakan celana kolor pendek dan kaos oblong. Ia melambaikan tangannya dan disambut suara riuh simpatisannya. Kamera wartawan tak henti-hentinya mengabadikan momen tersebut.
Malam itu juga Gus Dur menemui para pendukungnya di istana. Ia keluar dari dalam istana, muncul di beranda, dengan pakaian ala kadarnya. Gus Dur tampil dengan celana pendek. Tampilan itu, oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai pemandangan yang kurang elok, tidak etis, dan tidak memperlihatkan wibawa seorang kepala negara.
Menanggapi itu, Gus Dur menjawab enteng saja:
“Lha, ya, itu supaya saya enggak dianggap sebagai presiden.”
Ada yang bertanya: “Terus manfaatnya apa dengan tidak dianggap sebagai presiden?”
“Orang jadi dingin hatinya, enggak jadi marah,” jawab Gus Dur santai.
Gus Dur seolah menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar bungkus dan pakaian kenegaraan. Dengan celana kolor, orang-orang jadi teralihkan amarahnya. Sikap yang secara tidak langsung cukup efektif memadamkan api amarah para simpatisannya. Orang boleh menilai celana kolor hanyalah sebagai perilaku yang melecehkan institusi kepresidenan, tapi bagi Gus Dur, substansi di dalamnya lebih penting daripada sekadar menjaga harga diri sebuah atribusi.
Hal yang masih ditunjukkan Gus Dur saat keluar dari Istana Negara dengan celana kolor dan kaos oblong bertahun-tahun kemudian. Bahwa fungsi meredakan amarah para pendukungnya dan menjaga kondisi negara yang stabil jauh lebih penting dari “bentuk” pakaian yang dikenakan.
Orang yang tidak suka sama Gus Dur pasti berusaha membongkar dan memperbincangkan aib dan auratnya. Ia akan terus menelanjangi Gus Dur meskipun beliau jelas-jelas sudah berpakaian. Saya jadi teringat
syair Imam Syafi’i:
وَعَينُ الرِضا عَن كُلِّ عَيبٍ كَليلَةٌ
وَلَكِنَّ عَينَ السُخطِ تُبدي المَساوِيا
Mata cinta selalu mengabaikan kekurangan
Tapi mata kebencian senantiasa mengorek-ngorek keburukan
Lawan-lawan Gus Dur yang memandangnya dengan mata kebencian pasti “menyesatkan” Gus Dur karena yang mereka tonjolkan hanya keyelenehan/keunikan, keanehan, ketidaklaziman, dan pemikirannya yang selalu kontroversial. Bagi mereka, sosok Gus Dur adalah tipikal manusia yang membingungkan dan merepotkan.
Ya, bagi orang-orang yang suka repot (basis pemikiran dan pemahamannya suka memilih yang merepotkan) tentu tidak akan gampang menerima gagasan-gasan Gus Dur yang cenderung dan bahkan identik dengan kemudahan dan kegampangan. Gitu aja kok repot!
Ibarat orang memakai baju, maka Gus Dur lebih suka mengenakan baju yang longgar (luas), lembut (halus), fleksibel (gampang dipakai dan gampang dilepas)dan isis (ada ruang masuk bagi udara sehingga tidak sumuk dan cepat berkeringat). Tapi ada sebagian orang yang justru “menikmati” pakaian yang super ketat yang menghambat laju (pemikirannya dan gerakannya), eksklusif (menunjukkan kelompok tertentu), tebal dan kaku (sehingga sulit menerima masukan dan pengaruh dari luar).
Ironis sekali, mengapa kita justru merayakan “pakaian yang itu-itu saja” (satu warna, satu ukuran dan satu model; yang monoton dan tidak enak ditonton. Mengapa kita mengecam setiap pakaian yang berbeda warna, ukuran dan model dengan kita? Kita tidak mempedulikan fungsi pakaian yang menutup aurat dan melindungi dari panas dan dingin karena yang kita pelototi hanya warna, merek dan asal muasal pakaian. Kalau pakaian berasal dari kelompok dan golongan kita, kita katakan “shahih” dan kalau dari luar kelompok kita anggap “dhaif” (lemah/jelek). Tentu pakaian ini tidak cocok dengan Gus Dur karena pakaian ini akan melahirkan kejumudan, kesempitan, dan mungkin kedunguan serta tentu kesulitan. Pakaian Gus Dur adalah pakaian kemudahan. Gitu aja kok repot!
Ya, pakaian yang digunakan Gus Dur adalah pakaian kemanusiaan; pakaian kesederhanaan; pakaian kesucian; pakaian kehalalan. Mungkin Gus Dur ingin mengajarkan kepada kita bahwa tidak penting mahal tidaknya bajunya; tidak penting bermerek tidaknya bajumu; dan tidak penting warna dan motif bajumu yang paling penting adalah subtansi bajumu yang menutupi “aurat” zahir dan batinmu. Apalah arti pakaian yang bagus, halus dan mulus kalau perilakumu buruk dan akhlakmu nol besar.
Mungkin Gus Dur mengenakan celana pendek di Istana Merdeka untuk menunjukkan kepada kita bahwa ada pejabat-pejabat yang berpenampilan dan berpakaian sangat sopan dan keren tapi hati jiwa mereka begitu kotor dan dekil; hati yang menipu dan mengkorupsi uang rakyat.
Akhirnya, Gus Dur pencinta manusia dan pakaiannya adalah pakaian kemanusiaan.
Sa’di berkata:
Anak Adam sejiwa seraga
Tercipta dari asal yang sama
Bila satu terluka
Semua merasai derita
Kau yang tak sedih atas luka sesama
Tak layak menyandang gelar manusia
Ditulis dalam rangka menyambut Sewindu Haul Gus Dur 2018
Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Sosial-Keagamaan dan Penggagas Islam Subtansial