Kepedulian Imam Sajjad as terhadap Perubahan Masyarakat Lebih dari Ibadah dan Munajat
Pasca tragedi Asyura tahun 61 H, Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as melakukan beberapa langkah dan tidak berputus asa untuk berjuang di jalan kebenaran melanjutkan misi Imam Husain as. Kepedulian Imam Sajjad as terhadap perubahan masyarakat melebihi dari ibadah dan munajat yang karenanya beliau dikenal dengan Sayyid As-Sajidin dan Zainal Abidin. Beliau selalu menaruh harapan untuk dapat merubah masyarakat.
Berdasarkan sebuah riwayat, 12 Muharram adalah hari syahadah Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau dilahirkan pada 5 Sya’ban 38 H di Madinah. Setelah syahadah Imam Husain pada Muharram 61 H, imamah jatuh ke tangan Imam Zainal Abidin pada usia 23 tahun dalam kondisi tersulit dari sejarah Islam. Setelah kembali ke Madinah, beliau mengemban tugas imamah kaum Syiah selama 34 tahun dari 57 tahun usia beliau.
Masyarakat atau umat Islam setelah peristiwa Asyura dilanda kondisi krisis yang traumatis. Meski mengalami berbagai musibah dan memiliki kekecewaan terhadap penduduk Mekkah dan Madinah serta umat Islam karena ketidakpedulian mereka terhadap peristiwa yang menimpa Imam Husaian as di Karbala, Imam Sajjad as tetap tidak mengabaikan umat.
Mungkin saja sebuah peristiwa dialami oleh seseorang dan tidak ada orang lain yang menolongnya, maka wajar ia tidak mempedulikannya. Namun Imam Ali Zainal Abidin as melangkah dengan seluruh jiwa dan bahkan kepedulian beliau untuk merubah masyarakat lebih besar lagi.
Masyarakat Madinah telah menyaksikan atau mendengar Asyura Husaini, namun mereka tidak menyertai Imam Husain as. Imam Sajjad as menyatakan bahwa pencinta kami di Madinah tidak lebih dari 20 orang. Di kota Madinah yang seperti ini, ketika kerusakan merajalela atau diistilahkan bahwa Islam hanya tinggal kiblatnya saja, Imam Zainal Abidin as mampu merubahnya dengan segala istiqamah, strategi, dan perencanaan yang matang sehingga terjadi perubahan sedemikian besar ketika ribuan orang menghadiri kelas (majlis ilmiah) Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq as.
Strategi Imam Zainal Abidin pada peristiwa Al-Harrah dan penyerangan Masjidil Haram
Dari sisi lain, pada masa Imam Ali Zainal Abidin as, kota Madinah menyaksikan peristiwa-peristiwa terburuk sepanjang sejarahnya sebagai kota Islam. Salah satunya adalah peristiwa al-harrah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketika itu, pasukan Yazid memasuki Madinah dan Yazid menghalalkan harta, benda, dan kehormatan penduduk Madinah selama 3 hari bagi tentara-tentaranya. Mereka diberikan kebebasan mutlak untuk melakukan segala bentuk kejahatan dan kekejian.
Penyerangan Masjidil Haram adalah peristiwa lain yang terjadi pada masa Imam Sajjad as. Imam Sajjad as menghadapi rangkaian krisis ini dengan strategi yang matang. Terdapat beberapa gerakan atau kebangkitan, seperti kebangkitan Tawwabin untuk membela (menuntut balas darah) Imam Husain as atau juga terdapat sekelompok dari penduduk Madinah yang mendatangi istana Yazid. Mereka melihat kafasikan Yazid dan memprovokasi penduduk lain yang berakhir kepada peristiwa al-Harrah. Gerakan atau kebangkitan orang-orang yang membela imamah dan wilayah ini merupakan sebuah gerakan tanpa rencana matang. Kebangkitan tersebut tidak disertai strategi dan restu dari Imam Sajjad as.
Problem lain yang dihadapi umat Islam adalah permasalahan Abdullah bin Zubair. Ia memimpin penduduk Mekkah dari tahun 61 hingga 73 H dan merupakan orang yang tidak berwilayah atau memihak kepada Ahlul Bait as, bahkan menjadi musuh Ahlul Bait. Ia melaksanakan shalat Jumat selama 6 bulan dan sekali pun tidak pernah menyebut nama Nabi saw. Saat ditanyakan alasannya, ia menjawab, Nabi saw memiliki keturunan dan aku khawatir keturunannya akan merasa sombong atau congkak. Hal lain yang dilakukan Abdullah bin Zubair adalah menghapus آل محمد (keluarga Muhammad) dari shalawat.
Semua masalah itu menunjukkan bahwa langkah-langkah mundur dan berdiam diri menjadi pilihan Imam Sajjad as, namun beliau menjalankan pilihannya dengan agenda dan strategi. Salah satu metode Imam Sajjad as dengan dakwah face to face (tatap muka). Terkadang beliau duduk di Masjid Nabawi dan terkadang berbincang-bincang dengan satu orang hingga beberapa lama untuk memberikan berbagai penjelasan kepadanya.
Metode lain yang digunakan oleh Imam Sajjad as untuk mendidik adalah permasalahan hamba sahaya (budak). Beliau as membeli budak perempuan dan lelaki, kemudian mendidik dan lalu membebaskan mereka. Hal ini adalah sebagai sebuah jalan memberikan petunjuk ketika seorang hamba sahaya berada di bawah didikan beliau as dan menjadi mukadimah untuk memberikan pendidikan kepada generasi baru.
Imam Sajjad as melalui doa dan munajatnya berusaha selain menjelaskan tauhid dan kenabian, juga mengajarkan cara hidup dan bagaimana merubah masyarakat.
Kondisi mamsyarakat Islam yang paling parah adalah pasca tragedi Asyura, namun berkah Asyura perlahan-lahan tampak dalam perjalanan sejarah hingga kini dan masa yang akan datang.
Bila kota Madinah pada masa Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq berubah menjadi majlis-majlis ilmiah, hal itu bukan karena kondisi dengan sendirinya membaik, karena kondisi masa kekuasaan Abbasiyah juga kurang mendukung. Hal yang lebih penting diketahui bahwa Imam Ali Zainal Abidin selama 35 tahun aktif berjuang di Madinah tanpa lelah, yaitu dari tahun 61 H hingga 94 H dan hasilnya dapat dirasakan pada masa Imam Baqir dan Imam Shadiq as.