Antara Self-injury dan Syiah Fobia (1)
Sebuah fenomena tahunan, terutama di Irak dan terlihat di media-media radikal sudah masuk ke tanah air kita di satu tempat belakangan ini, beberapa orang dari satu kalangan pada hari Asyura melakukan aksi ekstrim di hadapan khalayak umum. Yaitu, melukai diri dengan memukulkan pisau di kepala mereka sendiri hingga wajah mereka bersimbah darah.
Aksi Self-injury ini menurut mereka adalah bentuk ungkapan duka yang mendalam atas kesyahidan Imam Husein as di Karbala. Dalam sepengetahuan penulis, sebuah prinsip yang diingatkan selalu oleh ulama kita ialah bahwa ajaran dan seruan-seruan agama Islam itu sejalan dengan fitrah manusia, seperti menegakkan keadilan dan melawan kezaliman serta penyimpangan, ukhuwah Islamiah, jangan berdusta, jangan memfitnah dan sebagainya.
Kita pun diserukan untuk berfikir dan mempelajari suatu amalan yang dikaitkan kepada agama. Bila itu adalah perkara yang asing, atau dalam keraguan apakah diajarkan oleh agama atau tidak; apakah aksi ekstrim itu bagian dari budaya Islam atau bukan, hendaknya dikaji landasan-landasannya untuk memastikan pensyariatannya. Memang dalam sebagian hukum praktis, perkara-perkara yang tidak jelas secara umum dalam fikih, mengharuskan taqlid kepada ahlinya, yaitu seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan ijtihad.
Namun di dalam memutuskan untuk bertaqlid tetaplah menjadi urusan si muqallid, karena taqlid dalam fikih pada ujungnya merupakan perkara ijtihadi (rasional) dia. Artinya bahwa dalam bertaqlid pun tidak secara buta. Dalam hal ini, telah terjadi di negeri kita seperti kasus narkoba dan praktek lainnya yang menyimpang, dan pelakunya adalah seorang tokoh yang bertampang spiritual dan sudah lama dipandang sebagai guru besar yang mempunyai pengaruh. Tak hanya sebagai pelaku kebejatan, ia telah menjerumuskan sejumlah orang yang berguru dan bertaqlid kepadanya, kemudian Allah swt menampakkan keburukannya di hadapan khalayak umum.
Kita ingin bertanya, benarkah aksi melukai diri yang dilakukan oleh oknum-oknum Syiah itu mencerminkan kaum Syiah Imamiah? Para marji’ mengatakan bahwa aksi memukulkan pisau di kepala itu tidak ada di dalam syariat Islam lalu diciptakan, yang berarti bahwa aksi melukai diri itu adalah bid’ah.
Sementara oleh kelompok lain yang biasa menghujat Syiah, fenomena yang mencolok mata tersebut dijadikan sebagai bukti bagi mereka atas kebatilan kaum Syiah. Memang itu sebuah fakta, tetapi menyangkut pribadi oknum-oknum yang menyimpang, dan tidak ada kaitannya dengan mayoritas Syiah sedunia. Tidak pula sama sekali terkait dengan Syiah Imamiah yang diakui oleh ulama dan tokoh besar Ahlussunnah, baik di luar maupun di dalam negeri, seperti Syekh Mahmud Syaltut, Gus Dur, Din Syamsuddin dan lainnya, sebagai salah satu mazhab di antara mazhab-mazhab Islam yang boleh diikuti.
Sisi Kesamaan
Adalah bid’ah, aksi melukai diri itu yang tidak ada di dalam agama lalu dimasukkan ke dalamnya. Oleh karena itu, terlintas dalam benak penulis dua hal dari fenomena hitam tersebut; yang pertama berkaitan dengan aksi kelompok ekstrim itu, dan yang kedua adalah reaksi kelompok radikal yang menilai bahwa aksi sesat itu adalah tradisi dan budaya Syiah, yang padahal sama sekali bukan, dan sebuah amalan yang terlarang.
Dua kelompok ini, yang satu adalah para oknum Syiah dan yang lain adalah para penghujat Syiah. Keduanya memiliki dua sisi kesamaan: yang pertama, mereka adalah golongan takfiri, fanatis yang berlebihan dengan alasan teologis sampai batas radikalisme yang mengkafirkan orang-orang Islam.
Yang kedua, di balik tindakan ekstrim mereka dari segi kejiwaaan, terdapat kelainan psikologis dalam diri mereka dengan perbedaan faktor; yang satu disebabkan oleh emosi yang tak terlampiaskan dan tak terkendali. Lalu berinisiatif dalam mengatasinya, melakukan tindakan self-injury (melukai diri).
Sedangkan kelompok penghujat Syiah atas beragam faktor di antaranya mungkin faktor kedudukan, atau faktor SPK, hingga faktor kebodohan yang melahirkan taqlid buta. Semua ini dapat membentuk kondisi yang tak wajar meliputi diri mereka, yaitu rasa takut berlebihan yang disebut dengan fobia syiah. Sebagai contoh, terbukti dari mereka bila didapati seorang atau tokoh Ahlussunnah menyuarakan ukhuwah Islamiah, yang tidak menyesatkan atau mengkafirkan Syiah, dicurigai “jangan-jangan” dia itu orang Syiah.
Di sisi lain, terutama dari wahabiah yang terlihat seakan merasa sebagai kelompok yang terpisah dan mencari kawan serta dukungan dari kelompok mayoritas, hal menghujat syiah sepertinya menjadi andalan mereka untuk mencapai tujuannya.
Hukum Melukai Diri
Dalam tradisi Syiah bila memasuki bulan Muharam, sepuluh hari pertama darinya adalah hari-hari duka bagi para pecinta Ahlulbait as. Mereka berduka atas musibah yang menimpa Imam Husein as dan keluarganya, dan terkait dengan mereka, para imam Ahlulbait as sendiri mengatakan: “Pecinta kami adalah yang gembira karena kami gembira, dan bersedih karena kami bersedih.”
Dalam suasana berkabung, khususnya pada hari Asyura puncak kedukaan Ahlulbait as, para pecinta mereka mengadakan majlis peringatan sebagai bentuk mengagungkan syiar-syiar Allah. Di dalamnya, mereka mengkaji pelajaran-pelajaran Asyura, mereka menangis ketika dibacakan maqtal Imam Husein as, dan mengungkapkan rasa duka dengan menepuk dada ketika dilantunkan ma`tam.
Namun ungkapan dalam bentuk aksi melukai diri seperti memukulkan pisau di kepala, adalah tindakan yang tidak wajar, ekstrim dan melampaui batas, dan secara syar’i adalah amalan ilegal. Sebagaimana fatwa dari para marji’ besar Syiah, dan dapat dirujuk risalah-risalah amaliah mereka. Kami cukupkan di sini sebagai contoh darinya, dengan membawakan secara ringkas dari pernyataan Ayatullah al-Uzhma Sayed Ali Khamenei: “Tindakan melukai diri dengan pisau adalah budaya yang dibuat-buat (tidak memiliki hujjah), dan sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Tidak diragukan bahwa Allah tidak akan meridhainya… Terkadang musuh menggunakan alasan seperti ini untuk menentang agama. Setiap unsur khurafat dimasukkan ke dalam Islam supaya kemurnian Islam menjadi tercemar..”