Apakah Filsafat Bertentangan dengan Wahyu?
Sebagian para ulama mengangap yang tidak mengutip ayat al-Quran tapi lebih banyak menukil pendapat Ibn Arabi, Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra dan sebagainya telah mendahulukan akal dibandingkan ayat al-Quran dan hadis. Menurut mereka akal itu relatif karena bisa jadi berasal dari pikiran subyektif seseorang. Setiap orang memiliki kemampuan akal yang berbeda-beda sehingga akan lahir juga pendapat yang berbeda-beda. sementara wahyu itu kebenaran yang dijamin karena Allah adalah ashdaqul qawilin dan Rasulullah itu ‘ma yantiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha.
Alasan yang membid’ahkan filsafat adalah pertama karena filsafat itu asal-muasalnya dari Yunani. Kedua jika filsafat adalah tema yang penting maka Rasulullah dan para sahabat pasti mengajarkannya, tetapi tidak ada dalil yang memperkuat tersebut. Ibnul Jauzi rahimahullah misalnya mengatakan, .”….Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah.[1]
Tambahnya, katakanlah Rasulullah saw dan para sahabat mengetahuinya tetapi tidak menyebarkannya. atau sengaja melupa mendiamkannya. Maka kamipun berhak untuk diam dan tidak menyebarkannya. Yang kedua mereka tidak mengajarkannya dan sengaja melupakannya, maka kamipun lebih pantas lagi untuk tidak mempelajarinya dan melupakanya, Sebab seandainya filsafat termasuk dalam kategori permasalahan agama dan isu yang signifikan maka Rasululah saw dan para sahabat pasti menganjurkan untuk mempelajarinya. Jadi dengan dua hipotesa di atas maka membahas filsafat adalah bid’ah.[2] Yang senada dengan itu adalah pernyataan al-Hafis ibn Hajar misalnya mengatakan bahwa sumber kesesatan adalah karena tidak merasa cukup dengan apa yang ada dalam wahyu dan
Dan Ibn Taymiyah juga mengatakan hal yang sama. Yang lebih keras lagi adalah Ibnu Shalâh rahimahullah yang memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah.
Menurut saya pernyataan-pernyataan ini adalah pernyataan para ulama dan pendapat sejumlah manusia yang jelas seorang muslim tidak harus mengikutinya kecuali jika disertai dengan alasan yang benar dan sesuai dengan al-Quran dan sunnah. Yang kedua dari pernyataan para ulama tersebut mereka tidak memahami dengan valid filsafat Islam. Mereka tidak mendalaminya. Akal juga mengakui keterbatasan horisonnya. Saat itu akal akan mengatakan “ sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami akan menaatinya.”
Abu al-Hasan al-Asy’ari misalnya menjawab dengan baik :
“Segolongan manusia telah menjadikan kebodohan sebagai modal mereka : mereka malas berpikir dan menganalisa keagamaan, cenderung taklid dan menganggap remeh, menuduh orang-orang yang mengkritisi ilmu keagamaan sebagai orang yang sesat, dan meyakini bahwa membahas permasalahan-permasalahan seperti ‘gerak’ dan ‘diam’, ‘jisim’ dan ‘tampilan’, ‘warna dan ‘benda’, ‘bagian’ dan ‘pecahan’, serta sifat-sifat Allah Swt- sebagai bid’ah yang menyesatkan.”
Yang lain filsafat dianggap akan menjadi saingan wahyu. Filsafat karena dianggap mendewa-dewakan akal akan memalingkan seseorang dari petunuk wahyu. Ketika akal bertentangan dengan ayat al-Quran dan hadis, mada para pencinta filsafat akan mendahulukan akal dan menakwilkan wahyu sedemikiran rupa agar sesuai dengan akal.
Al-Quran dan hadis tentu saja membawa pesan-pesan yang benar dan sebagiannya melampaui pesan-pesan akal. Al-Quran dan hadis banyak menjelaskan tentang kebenaran-kebenaran yang kadang-kadang akal tidak dapat mencerapnya. Namun jangan lupa juga bahwa al-Quran dan hadis sendiri juga melegitimasi fungsi akal sebagai alat pencerap kebenaran. Sangat banyak sekali ayat-ayat dan hadis yang mengistimewakan akal. Bahkan dalam sebagian ayat dijelaskan karena seseorang tidak menggunakan akalnya menjadi ahli neraka. Keselamatan di hari akhirat menurut ayat ini sangat tergantung pada pemanfaatan atas akalnya. Dalam beberap riwayat akal juga disebut sebagai wahyu batin padanan untuk al-Quran dan hadis yang disebut sebagai wahyu yang terlihat dan terbaca.
Jika secara syariat akal itu adalah alat persepsi maka yang menggunakan akal secara tidak langsung adalah yang mengikuti pentujuk al-Quran dan hadis. Seolah-olah wahyu ingin mendeklarasikan sekarang anda jangan ragu-ragu lagi gunakan akal semaksimal mungkin dan akal sudah punya status otonomi untuk mencerap kebenaran, untuk menjustifikasi kebenaran. Wahyu memberi legitimasi kepada akal karena wahyu juga mengetahui bahwa tidak seluruh pesan itu ditulis dalam wahyu. Seandainya al-Quran misalnya harus merinci bab jihad ekonomi secara mendetail, bab fikih secara terinci, bab muamalah secara panjang lebar, bab zakat secara tuntas, dan sebagainya maka al-Quran akan menjadi kitab yang sangat tebal sekali; yang mungkin membuat seseorang menghindari untuk membacanya. Al-Quran hanya memuat pesan-pesan inti dan universal dan mempersilahkan kepada akal untuk menguak sebagiannya.
Yang kedua, wilayah akal dan wahyu juga sebagiannya berbeda. Wahyu menyuguhkan pesan bagi yang sudah mengimaninya. Wahyu menjadi tidak efektif bagi mereka yang tidak mengimaninya. Jangankan mau mengimani mendengarkan saja tidak mau. Untuk menerima wilayah-wilayah keimanan, atau akidah tidak boleh melewati jalur taklid, tapi harus melalui keyakinan diri sendiri. Ia sendiri yang harus meyakininya dan keyakinan itu bukan dipaksakan dari luar atau karena ikut-ikutan.
Seorang mukmin tidak boleh taklid dalam urusan akidah. Ia harus menerima berdasarkan akal dan menerimanya sebagain sesuatu yang prinsip dalam beragama. Akal mengakui keberadaan Allah swt, dan keharusan turun risalah dari Allah melalui para nabi dan kepatutan menaati ajaran-ajaran nabi Muhammad sebagai nabi yang terakhir. Itu adalah kewajiban yang ditetapkan oleh akal. Akal bisa menetapkan itu sebagai sebuah kewajiban akli sebelum memasuki kewajiban syar’i. Seseorang tidak mungkin mau menaati ajaran-ajaran nabi jika ia meragukan status kenabiannya. Seseorang tidak mungkin menyembah Allah dengan ikhlas dan benar jika keyakinan akan rububiyah dan uluhiyyah belum kokoh.
Ini adalah wilayah-wilayah yang bisa difahami dan dicerap oleh akal. Akal memiliki fungsi untuk memperkokoh keyakinan, tauhid dan keimanan serta aklak. Karena itu mengapa wahyu menghormati akal, karena akal dapat memperkuat fondasi iman dan islam. Jadi fondasi iman itu lebih kokoh jika ditetapkan oleh akal. Sebagai ilustrasi jika anda ditanya mengapa anda meyakini bahwa tuhan itu satu, mungkin anda akan menjawab karena ayat al-Quran mengatakan Qul huwallahu ahad. Katakanlah bahwa Allah itu esa! Jadi anda menyimpulkan keesaan tuhan berdasarkan ayat yang turun dari Allah swt. Keesaan tuhan dibuktikan oleh dalil yang menyusul keberadaan Allah swt. Artinya yang awal dibuktikan oleh yang berikutnya. Yang pertama dibuktikan oleh yang kedua. Tentu saja ini memiliki kelemahan, karena keesaan tuhan itu adalah esensi Zat tuhan dan yang menjad sebab hakiki ketunggalan tuhan bukan ayat di surah al-ikhlas tadi, tapi karena Allah adalah Zat Basîth.
Oleh: Nano Warno, M.ud
[1]Dikutip dari situs al-Manhaj, org yang mengutip dari majalah as-sunnah
[2]Hasan bin Farhan al-Maliki, Pilih Islam atau Mazhab, Jakarta : Penerbit Noura, 2013