Sosok Manusia Ilahi
Ketika Abu Za’ir alKirbai ditanya, apa tandanya seseorang itu sufi dan apa tandanya orang yang selalu dekat dengan Tuhan ? (karena selalu mengalami perjumpaan Ilahiyah). Ia menjawab, “berkhidmat kepada kemanusiaan”. Mengapa berkhidmat kepada sesama selalu ditekankan?
Ibadah ritual adalah hubungan pribadi dan privat antara indivu dan Tuhan-nya. Hanya dia dan Tuhannya yang tahu kualitas hubungan ini. Dan jika sudah menjadi kebiasaan ibadah murni ini bukan lagi hal yang berat dan manfaatnya juga lebih banyak kepada individu itu sendiri, kecuali ia tercerahkan oleh ibadah itu. Apakah karena itu adalah buah yang manis dari ibadah ritual? ataukah itu adalah tujuan dari ibadah itu sendiri?(dan ini yang seharusnya) yang membuatnya selalu melakukan pelayanan terhadap sesama.
Tidak mudah melayani kepentingan manusia apalagi sebanyak mungkin manusia. Yang harus dilawan pertama kali adalah dirinya yang cenderung bakhil, introvert, mementingkan kepentingan sendiri. Apalagi di lingkungan yang baru, ada tatapan mata yang tidak mengenalnya, tidak bersahabat, pikiran kotor dan perasaan kotor, dan kecanggungan kita yang membuat orang lain canggung. Perlu ideologi dan kebersamaan yang kuat untuk melayani total setiap orang, dan juga rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, ilmu dan harta. Ada banyak hal yang perlu dikorbankan, bandingkan dengan ibadah ritual hanya merngorbankan waktu saja. Dan ada hal yang harus didekonstruksi terutama tentang ilmu.
Ilmu yang melenyapkan ego (annihilation) dan akumulasi pengetahuan (accumulation)
Ilmu yang membesarkan ego, hanyalah pengantar ilmu saja. Pengantar tidak selalu sukses mengantarkan pada hakikat ilmu. Bahkan pada tingkatan tertentu ilmu itu menjadi hijab (veil) antara dirinya dan hakikat, antara dirinya dan alHaq. Ia menjadikan ilmu sebagai instrumen untuk mempopulerkan dirinya, memasarkan dirinya ke pasar publisitas, popularitas. Baginya ilmuwan itu ibarat selebriti yang selalu memiliki pandangan yang mencengangkan, mengagumkan, memesona nalar audience. Alih-alih ingin mencerahkan orang lain dirinya ia melemparkan dirinya dalam pesona itu. Ada beda tipis dengan kebahagiaan akal, kesenangan seorang ilmuwan lahiriyah adalah ilusi dan imaginasi yang diciptakan oleh dirinya. Semakin banyak wawasan, banyak bacaaan, dan semakin besar kafital untuk melejitkan dirinya di pusaran ketenaran. Yang paling diburu oleh ilmuwan lahiriyah seperti ini adalah simbol-simbol kecendekiawan, seperti gelar, penghargaan prestisius, dan prestasi dari kalangan publik, sertifikat, plakat, medali, dan sebagainya.
Adapun ilmuwan sejati yaitu yang melenyapkan ego dan lenyap egonya, tidak ada lagi yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya. Keinginannya menjadi keinginan Tuhan. Itulah penyamaan keinginan, dan keinginan Tuhan adalah keinginan yang tertinggi, seorang sufi mengatakan : “Aku menginginkan agar aku tidak menginginkan.” Keinginan yang lebih mulia yang mengalahkan keinginan-keingina kecil dan sementara seperti hewani dan egoisme. Ilmu semakin dalam semakin menghilangkan ananiyahnya. Ia telah menggapai dan melihat hakikat. Seorang anak kecil masih menginginkan boneka-boneka permainan tapi saat sudah dewasa ia tidak tertarik lagi ia ingin yang lebih real. Ilmuwan lahiriyah ibarat anak kecil yang masih tergoda dengan mainan-mainan, tapi jika sudah sempurna ilmunya ia hanya menginginkan Sang Pemiliki Sejati dari semua permainan dunia ini.
Bagi yang buta hatinya tidak mungkin tertarik dengan yang lebih tinggi dan lebih mulia seperti keridhaan Illahi dan pahala dari Ilahi. Ia tidak mengenal Tuhan, jadi mana mungkin tertarik, tak kenal maka tak sayang. Ilmuwan lahiriyah lebih mengenal dengan kehidupan dunia daripada kehidupan dan keabadian akhirat, meskipun yang dikuasainya adalah konsep dan informasi tentang Tuhan, alam akhirat, kebahagiaan dan keabadian. Ilmuwan lahiriyah lebih terobsesi untuk memuaskan intelektualnya dan bukan melenyapkan dirinya, Ia merasa sayang akan kehilangan dirinya karena subyek yang menikmati ketenaran dan belalak mata dari pengagumnya sangat mengikat dirinya. Ia telah melacurkan ilmu dengan sesuatu yagn lebih rendah dari ilmu itu.
Sementara ilmuwan lahir dan batin, semakin banyak yang dikuasai semakin menghilang dirinya, seperti tetesan air di samudera, ia tidak melihat lagi identitas dirinya, ia tidak melihat lagi jati dirinya yang membentuk tetesan-tetesan kecil tapi ia sudah melebur, menghilang dan menyatu dalam samudera yang lebih besar. Dalam kehidupan sehari-harinya ia lebih bermanfaat, lebih jujur, tanpa pamrih, berani, dan selalau bergembira. Bermanfaat karena ia hanyalah wasilah bagi kepentingan manusia yang lain. Ia menyerap nama-nama Ilahi. Dirinya tidak lagi eksis tapi yang eksis adalah manifestasi nama-nama Ilahi yang terkadang lembut dan terkadang keras, dan tegas. Tidak ada yang dikhawatirkan dan tidak ada yang diharapkan lagi. Jujur karena dirinya adalah kekosongan dari setiap kepentingan. Dirinya adalah kekosongan dan kemurnian yang transparan sehingga setiap orang bisa melihat dan merasa percaya dan terlayani secara sempurna. ( Hamzah Fansuri )