ASYURA: PAWAI DUKA DI QOM
SUATU pagi tanggal 10 Muharram (Asyura) di kota Qom. Aku hari itu dan sejak tanggal 9 Muharram (Tasu’a) tidak ada jadwal pelatihan. Tanggal 9 dan 10 Muharram hari libur nasional di Iran. Aku manfaatkan untuk bergabung di pawai duka memperingati tragedi kesyahidan Husain bin Ali bin Abi Thalib (w 680).
Aku berjalan bersama sekelompok pemuda yang membawa bendera Iran dan panji-panji duka, bergerak dari Jihad Square (Maidan Jahad) menuju Kompleks Makam Fatima Ma’shuma. Sepanjang pawai, mereka membacakan maqtal (syair kronologi kesyahidan). Semua jalan dipadati ribuan warga. Mayoritas mengenakan pakaian serba hitam. Banyak tenda-tenda di kiri-kanan jalan yang menawarkan makanan dan minuman. Sedekah mereka. Gratis buat kita. Hmm…aku pasti mampir kalau ada makanan atau minuman yang aku suka.
Di halaman kompleks Makam Fatima Ma’shuma, terlihat air kolam berubah menjadi merah darah. Satu jam menjelang adzan dhuhur berkumandang, para peserta pawai menumpahkan rasa haru dan kesedihan yang sama. Aku mendengar isak tangis dimana-mana. Suara isak tangis semakin keras dan meledak ketika seorang pengkhotbah menyampaikan detik-detik dibantainya Imam Husain di Karbala. Aku pun hanyut dalam suasana haru-biru mereka. Haru seharu-harunya.
Terbayang bagaimana saat tombak menancap di punggung Imam Husein, belasan anak panah menghujam ke dadanya, tubuhnya terpelanting dari kuda tersungkur ke tanah, dadanya ditindih dan ditusuk pedang berkali-kali, kemudian lehernya digorok dari belakang hingga terpenggal kepalanya. Darah muncrat bercucuran. Kepalanya ditusuk tombak dan diacung-acungkan ke udara. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Itu cucu Rasulullah, dibantai sedemikian sadisnya. Tubuh Imam Husain terkapar tanpa kepala, seluruh pakaian, cincin, baju perang dan sepatu yang dikenakan dilucuti secara paksa dan diperebutkan oleh para pembunuhnya.
Perasaan pilu, duka dan belasungkawa atas kesyahidan Imam Husain, keluarganya, dan para sahabatnya di Karbala ditunjukkan warga Iran dengan berpakaian serba hitam, memasang bendera hitam di mana-mana, di rumah, di masjid, di jalan, di husainiyah, di kampus, di hauzah dengan tulisan-tulisan Husain, Zainab, Ali Asghar, atau nama lain yang shahid di Karbala. Mereka memperingati peristiwa Karbala selama 10 hari penuh, mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram.
Dalam sepuluh hari itu, ada majelis-majelis duka di masjid dan husainiyah. Husainiyah adalah bangunan semacam pondokan yang biasanya dipakai untuk melaksanakan kegiatan keagamaan mazhab Syiah. Malam sehabis isya’, ratusan orang hadir di majelis itu. Acara diawali dengan bacaan al-Qur’an kemudian ceramah seputar hikmah kesyahidan Imam Husain. Setelah itu, lampu ruangan berubah temaram. Seseorang maju dan melantunkan maqtal (syair kronologi kesyahidan). Para peserta berdiri ikut mengiringi kidung duka yang dilantunkan, sambil tangannya menepuk-nepuk dada atau kepala. Setiap kali nama Husain disebutkan, gemuruh isak tangis memenuhi ruangan. Majelis duka diakhiri dengan pembagian makanan dan minuman dari panitia.
Ada juga sejumlah husainiyah yang mementaskan drama tragedi dengan lakon Syahidnya Imam Husain di Karbala. Dan, khusus pada hari Jumat diantara sepuluh hari itu, para ibu-ibu sambil membawa anak kecilnya memperingati syahidnya Ali Asghar. Bayi mungil yang syahid dalam pelukan Imam Husein karena tertembus anak panah di dadanya.
Tragedi kesyahidan Imam Husain di Karbala memang sudah lama, sudah 1340 tahun yang lalu. Namun suasana majelis duka dan juga pawai duka telah merubahnya seolah tragedi itu baru saja terjadi. Isak tangis atas kesyahidan Imam Husain bukanlah isak tangis kehinaan dan kekalahan, melainkan ekspresi perlawanan terhadap pengkhianatan, kebatilan dan kedhaliman.
Aku tidak menyangka bisa memperingati Asyura di Iran. Kenangan itu terlalu susah dilupakan. Sudah membekas terlalu dalam. Suasananya sungguh berbanding terbalik dengan peringatan Muharram/ Syuro di Indonesia. Yang kadang isinya gelaran budaya, mistis, atau malah pesta tahun baru, tertawa, dan gembira ria… hurray!
Mungkin ungkapan yang bisa mewakili kesyahduan Asyura di Iran adalah “kullu yaumin Asyuro, kullu ardlin Karbala” (setiap hari adalah Asyura, setiap tanah adalah Karbala). Tidak cocok kalau dipakai ungkapan ini “every day is holiday in Bali”. End
Catatan Perjalanan Dr. Helmi Syaifuddin (Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang) di Iran tahun 2008.