Basirah Politik
Alkisah, Sayidina Ali—dalam suatu peperangan yang dipimpinnya—mengutus seorang prajuritnya untuk mengawasi pergerakan musuh di tengah kegelapan malam. Saat sedang memantau pergerakan musuh ”dalam selimut”, sang prajurit memergoki seseorang sedang mengambil air wudhu, mengelar sajadah dan kemudian melaksanakan shalat malam. Usai shalat tahajud yang begitu khusuk, orang yang religius ini menyempurnakan ibadahnya di tengah suasana perang ini dengan membaca Alquran. Bacaan Alqurannya bukan sembarang bacaan, tapi tilawah yang super pas makhraj huruf dan tajwidnya, bahkan suaranya yang merdu membuat merinding prajurit tersebut yang semakin tertawan dan terlena oleh fenomena langka ini.
Karuan saja, pelbagai perasaan dan pikiran berkecamuk dalam hati sang prajurit. Betapa dahsyat ibadahnya; betapa mulia hatinya; dan betapa dekatnya ia dengan Allah Swt, demikian gumamnya. Massa orang sebaik dan sesuci ini sesat dan salah? Massa orang sedekat ini kepada Allah masuk neraka?
Alhasil, sepulang dari pengamatannya, Sayidina Ali bertanya tentang hasil dari pengintaiannya. Sang prajurit dengan bersemangat menceritakan fenomena yang dilihatnya dan menggarisbawahi aspek kesalehan dan kekhusukan seorang ‘abid tersebut. Begitu terpengaruhnya oleh ibadah lahiriah orang tersebut hingga prajurit ini tidak segan dan tidak panjang pikiran mengatakan di hadapan Sayidina Ali bahwa ia ingin menjadi bulu di badan orang yang ahli ibadah tersebut.
Sayidina Ali hanya terdiam seribu bahasa. Beliau memandang bahwa bukan saatnya sekarang memberi pelajaran kepada sahabatnya yang keblinger ini. Dan pasca berkecamuknya perang yang dimenangkan oleh kubu Sayidina Ali, beliau mencari dan memanggil sang prajurit. Setelah berhasil menemukannya, Sayidina Ali bertanya kepada prajurit tersebut apakah ia mengenali jenazah musuh yang ada di hapadannya? Dan betapa terkejutnya sang prajurit melihat bahwa jenazah tersebut ternyata adalah sang ‘abid yang terlanjur dibanggakan dan diidolakannya. Ya, orang yang dianggapnya saleh, ahli ibadah dan ahli jannah (penghuni surga) ternyata memusuhi Ali dan bahkan memeranginya. Padahal, Nabi saw bersabda: Ali bersama kebenaran dan kebenaran senantiasa bersamanya.
Ya, prajurit dan ‘abid di atas adalah contoh dari seorang yang tidak memiliki basirah. Lalu apa sich basirah itu? Dalam kamus besar bahasa Indonesia, basirah diartikan sebagai pandangan yg sungguh-sungguh dengan mata hati. Basirah secara bahasa dimaknai sebagai pengetahuan, pandangan mata hati, kecerdasan dan yakin. Sedangkan menurut ahli thariqah berarti energi hati/intuisi yang berperan dalam mengenali hakikat/realitas sehingga mampu mencapai pemahaman sampai ke tingkat yang paling dalam (ke akar masalahnya).
Urgensi basirah ini tampak jelas bagi kita saat menelaah sejarah Islam secara serius dan obyektif. Sebagai contoh, sebagian pelaku mutilasi terhadap Sayidina Husain adalah mantan alumni Perang Shiffin yang notabene pernah berperang bersama ayahnya, Sayidina Ali dan nyaris gugur sebagai syahid dalam rangka membela beliau.
Problemanya adalah seringkali kita menganalisa suatu fenomena politik dan sosial dengan kaca mata lahiriah semata yang rentan kesalahan. Politik dalam makna hakikinya bukan berarti mendukung orang ini atau orang itu, namun bermakna memiliki pandangan universal/umum dan kapasitas untuk menganalisa suatu gerakan umum di tengah masyarakat. Dalam kaca mata politik hakiki, seyogianya melalui kajian gerakan umum suatu masyarakat ditentukan jawaban atas pelbagai pertanyaan yang riil, seperti: kehidupan kekinian akan membawa kita ke arah mana? Apakah kita bergerak dalam koridor keadilan sosial dan kemerdekaan yang sejati? Apakah gerakan kita memberikan sumbangsih pada pembangunan peradaban Islam? Apakah aktifitas sosial-politik kita justru membebek cara musuh dan terpengaruh oleh model yang dikemas olehnya?
Bagaimana cara mudah mendapatkan basirah? Jawabannya adalah dengan menjadi insan yang bebas/merdeka. Pelbagai ikatan (persahabatan, persaudaraan, perkumpulan dan lain-lain), hawa nafsu, prasangka buruk seringkali membelenggu manusia, sehingga membuatnya berpikir dan bertindak tidak obyektif dan tidak rasional. Cara lain untuk mendapatkan basirah adalah dengan meningkatkan kualitas ibadah kita. Dan kualitas ibadah diperoleh dengan dua hal: dawam fikr (kontinu dalam tafakur) dan dawam zikir (kontinu dalam mengingat Wajibul Wujud).
Aulia dan kaum sufi terkenal dengan kepemilikan basirah yang tajam dan bening. Firasat seorang sufi seringkali bersesuaian dengan realitas. Yang demikian itu karena orang ‘arif memandang dengan “pandangan Ilahiah”. Inilah yang dimaksudkan Nabi saw dalam sabdanya: “Hati-hatilah kalian terhadap firasat seorang mukmin karena ia memandangan dengan cahaya Ilahi.” Dan Hafez Syirazi berkata: “Bila cahaya al-Haqq memanifestasi pada diri salik maka ia akan bebas dari kegalauan dan keraguan serta akan mencapai hakikat.”
Berpikir dan bertindak berdasarkan basirah akan menjaga seseorang dari pengambilan keputusan yang salah dan ngawur alias ceroboh. Dan perlu ditekankan di sini bahwa kaum khawas (elite) diprioritaskan untuk memiliki basirah daripada kaum awam (rakyat biasa). Mengapa? Sebab, kesalahan khawas (seperti umara dan ulama) akan berdampak luas dan merugikan banyak orang, sedangkan kesalahan awam memiliki pengaruh yang kecil dan sederhana.
Keloyoan dan kemalasan serta analisa yang salah para pembela kebenaran sepanjang sejarah adalah dipicu karena kelemahan basirah. Boleh jadi seseorang memiliki niat yang baik namun karena ketiadaan basirah maka ia melangkah di jalan yang salah. Dan contoh konkretnya adalah prajurit Sayidina Ali di atas.
Terkadang kita tidak sadar bahwa langkah kita, ucapan kita dan asumsi kita justru menguntungkan musuh, dan basirah menyadarkan kita supaya kita mengubah setiap sikap kita yang membahagiakan musuh. Terkadang kita tidak sadar bahwa amunisi dan senjata yang kita miliki justru kita tembakkan di area yang tidak ada musuh, bahkan mengenai saudara kita sendiri. Dengan memiliki basirah seseorang tidak akan mudah masuk dalam perangkap fitnah dan jerat musuh. Dan basirah ini ibarat kompas yang menunjukkan kepada kita arah dan gerakan yang benar.
Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Sosial-Keagamaan