Batasan Saat Haram Mendekati Sang Isteri!
Pernikahan mengikat hubungan antara seorang pria dan wanita melalui akad nikah. Ia membawa taklîf-taklif terkait bagi keduanya. Selain yang wajib, terdapat yang sunnah dilakukan seperti pada saat khalwat (ketika berduaan untuk melakukan hubungan intim). Di antaranya:
1-Zikir, ingat dan menyebut (nama) Allah swt. Imam Ali mengajarkan: Bila kamu (hendak) melakukan hubungan, ucapkanlah:
بسم الله وبالله اللهم جنبني الشيطان وجنب الشيطن ما رزقتني
Bismillâh wa billâh, allâhumma jannibnisy syaithân wa jannibisy syaithân mâ razaqtani; “Dengan nama Allah dan dengan Allah, ya Allah jauhkan diriku dari syaitan dan jauhkan syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepadaku.” (Syarai’ al-Islam 2:367, dan lainnya)
Dalam riwayat lainnya mengajarkan doa yang sama, hanya saja dhamîr mutakallim (kata ganti pembicara) “aku” di atas ditempati oleh “kami”. Jadi demikian: بسم الله وبالله اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطن ما رزقتنا; Bismillâh wa billâh, allâhumma jannibnasy syaithân wa jannibisy syaithân mâ razaqtanâ. (Shahih Musim 2: 856, hadis 1434)
2-Suami-isteri dalam keadaan suci, terutama di malam pengantin, dan apabila isteri sedang hamil. Rasulullah saw bersabda kepada Sayidina Ali: Jangan menyetubuhi dia (isterimu) kecuali kamu dalam wudu.”
Diriwayatkan; seorang laki mengungkapkan (keadaannya) kepada Abu Jafar (Imam Baqir ra): Umur saya cukup tua. Saya telah menikahi seorang perawan yang sangat muda, tapi saya belum masuk kepadanya. Karena saya khawatir bila dia menemui saya lalu melihat saya, dia tidak menyukai saya lantaran ketuaan saya ini!
Imam berkata, “Pesanlah kepada mereka (keluarganya) sebelum dia sampai kepadamu, agar dia dalam wudu. Kamupun jangan temui dia sebelum kamu wudu, dan lakukanlah shalat dua rakaat. Pujilah Allah dan shalawatlah kepada Muhammad serta keluarganya. Lalu berdoalah kepada Allah dan mintalah kepada orang-orang yang bersama dia supaya mengamini doamu. (Wasail asy-Syiah 14: 81, bab 55, Muqaddimat an-Nikah, hadis 1)
Makna Itizâl
Sudah tentu tak sebatas itu mengenai apa saja yang dianjurkan dalam masalah ini. Selain diterangkan hal-hal yang makruh, syariat menyebutkan apa yang haram di dalamnya. Penjelasannya sebagai berikut:
Bagi orang laki tidak boleh menyetubuhi isterinya dalam keadaan haid, sebagaimana juga diharamkan bagi si isteri sampai ia suci. Hal ini berdasarkan ijma, bahkan merupakan perkara yang jelas dalam agama (min dharuriyatiddin).
Dalam al-Baqarah 222, Allah swt berfirman:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ
Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah, “Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hindarilah wanita pada waktu haid dan janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepadamu..
Ulama sepakat atas keharaman menyetubuhi (isteri) yang haid, dan berselisih mengenai makna itizâl (menghindari/menjauhi dia) dalam ayat itu, bahwa:
1-Wajib menjauhi tempat tidur si isteri bila haid. Pendapat ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Ubaidah Salmani.
2-Wajib menjauhi hal diliputi kain sarung (mungkin yang dimaksud satu selimut dengan isteri). Ialah pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafii dan lainnya.
3-Maknanya adalah jauhilah menyetubuhi isteri pada faraj dan tempat haidnya. Ialah dari riwayat Ibnu Abbas, Aisyah dan lainnya, juga pendapat Ibnu Arabi, Zamakhsyari dan Qurtubi. Inilah pendapat mayoritas ulama Ahlulbait.
Pendapat yang terakhir ini didasari oleh beberapa prinsip hukum, salah satunya ialah mutabâdar (yang dipahami langsung oleh benak) terkait itizâl atau menjauhi isteri yang haid, yakni menjauhi berjima’ pada farajnya. Makna ini dikuatkan oleh kalimat sesudah itu: وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ; “dan janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci.”
Kalimat tersebut selain ta`kîd (menguatkan) i’tizâl, juga sebagai penjelasan bagi tujuannya. Karena kata “hattâ” dalam ayat itu secara bahasa berarti ghâyah, yakni finish dan tuntasnya sesuatu. Aturan ghâyah ini bahwa yang sesudahnya bertentangan dengan yang sebelumnya. Jadi, kalimat يطهرن (yathhurna) dengan tanpa penekanan (takhfîf) menunjukkan boleh berjima bila darah haid berhenti (yakni suci). Sebagaimana demikian pendapat mayoritas ulama Ahlulbait, dan keterangan beberapa riwayat.
Sekiranya kalimat itu dengan penekanan (tasydîd) dan sebagaimana beberapa riwayat lainnya, memuat arti tiada pilihan kemutlakan pada sampai mandi besar. Maksudnya ialah diharamkan berjimak sebelum haid berhenti, dan makruh sesudah berhenti hingga melakukan mandi besar.
Referensi:
Mausu’atu Ahkami Athfal wa Adillatuha.