Beragama Sebagai Fitrah Manusia
Salah satu tema paling mendasar dalam teologi adalah agama itu sendiri. Logikanya adalah, bagaimana kita mengetahui ushul (prinsip) sebuah agama tanpa kita mengetahui apa itu agama sebelumnya?.
Dan kenapa manusia harus beragama? Apakah beragama merupakan sebuah kebutuhan primer (mendasar) bagi setiap manusia?. Agaknya, lebih elegan jika kita membahas apa itu agama terlebih dahulu, sebelum kita membahas kenapa manusia beragama.
Menghampiri Makna Agama
Salah satu tema paling mendasar dalam teologi adalah agama itu sendiri. Logikanya adalah, bagaimana kita mengetahui ushul (prinsip) sebuah agama tanpa kita mengetahui apa itu agama sebelumnya?. Dan kenapa manusia harus beragama? Apakah beragama merupakan sebuah kebutuhan primer (mendasar) bagi setiap manusia?. Agaknya, lebih elegan jika kita membahas apa itu agama terlebih dahulu, sebelum kita membahas kenapa manusia beragama.
Secara leksikal, kata din (agama) berasal dari bahasa Arab yang berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknis, din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta serta hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Seperti disabdakan Nabi, “Segala sesuatu menjadi dapat dibedakan melalui kebalikannya”. Begitu halnya dengan din. Dari kata din-lah maka muncul kata al-ladin, yakni orang yang tidak beragama atau orang yang tidak mengimani adanya Wujud Pencipta alam secara mutlak. Apa pun definisi yang diberikan kepada konsep agama, pasti dimengerti bahwa “kepercayaan kepada sesuatu kekuatan Mutlak atau kehendak Mutlak sebagai kepedulian tertinggi” adalah hakikat esensial konsep ini dalam semua budaya dan dalam semua variasinya.
Di dalam agama, terdapat dua dimensi yang saling berintegrasi satu dengan lainnya, yaitu; ushul dan furu’. Ushul merupakan prinsip dalam agama dan furu’ berarti cabang merupakan bagian dari hukum-hukum dalam sebuah agama. Kemudian dimensi yang ada dalam agama terejawantah dalam bentuk aqidah dan hukum-hukum yang merupakan konsekuensi logis dari aqidah.
Pencarian adalah Fitrah
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ayat tersebut di atas, hendak menjelaskan kepada kita apa itu fitrah. Secara eksplisit ayat tersebut menjelaskan “fitrah sebagai agama”, yakni jalan lurus yang menghantarkan manusia kepada tauhid atau penyaksian kepada Ketunggalan. Dalam hal ini, fitrah adalah sesuatu yang universal bagi manusia. Tidak ada satu pun manusia yang dapat menyangkalnya. Ia tidak hanya terbatas pada keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan, melainkan juga mencakup seluruh ajaran dan prinsip yang benar. Kalau benar fitrah itu bersifat universal bagi manusia, lantas mengapa masih saja kita temukan orang yang mengaku tidak bertuhan ataupun beragama?
Fitrah adalah keswasenyataan yang paling jelas, karena tidak ada satu permasalahan pun yang melebihi kejelasannya. Tidak seorang pun mengingkarai hal ini. Oleh karenanya fitrah adalah salah satu yang paling jelas dan paling nyata dari sekian banyak prinsip yang pasti benarnya. Dalam ayat yang sama tersebut di atas menjelaskan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya
Di samping itu, rasa ingin tahu manusia untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan (baca: fitrah akan kesempurnaan), manusia memerlukan beragam teori atau pengetahuan tertentu untuk menggapainya. Dan bila agama bisa dijadikan ‘alat pemuas’ akan kebutuhan manusia atau terdapat kekayaan terpendam di dalamnya, tentu saja manusia akan berbondong-bondong menuju agama.
Sebut saja teori gambling Pascal. Dalam upayanya menjelaskan kepada orang-orang ateistik tentang kebertuhanan dan keberagamaannya, ia berargumentasi setidaknya demikian; “Anda harus bertaruh apakah agama—dalam hal ini jelas, Kristen—benar atau salah, meskipun ‘menurut akal, anda tidak dapat mempertahankan proposisi-proposisi semacam itu.” Anda pun menerima tantangan dan menetapkan pilihan. “Mari kita timbang untung rugi dalam taruhan tentang Tuhan,” kata Pascal. “Mari kita perhitungkan kedua peluang itu. Jika Anda menang, Anda medapat segalanya; jika Anda kalah, tidak akan kehilangan apa-apa.”
Menurut M.T Misbah yazdi, sebagian ahli psikologi bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitrah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa beragama, mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, disamping naluri rasa ingin tahu (kuriostika), rasa ingin berbuat baik (etika), dan rasa ingin keindahan (estetika). Para sejarawan dan arkeolog menemukan fakta bahwa rasa beragama dan beribadah Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah salah satu bukti kuat bahwa religiusitas adalah fitrah yang bersifat universal.
Maka tidak salah, dari fenomena religiusitas setiap peradaban, melahirkan sebuah istilah umum, “Agama adalah jantung peradaban.” Setiap peradaban mempunyai pandangan dunia holistik, dimana dimensi metafisik, filosofis dan teologis termasuk di dalamnya.
Urgensi Mencari Agama
Sebagaimana teori gambling yang kita sampaikan di atas, menunjukkan adanya upaya manusia untuk memenuhi kuriositasnya. Mungkin untuk sebagian manusia, kegiatan atau usaha untuk mencari agama adalah sebuah kesia-siaan. Karena menurut mereka, agama adalah sebuah pseudo-reality. Tidak mendatang sebuah keuntungan yang nyata atau bisa langsung dinikmati. Dengan demikian, mereka yang bergelut dengan agama adalah orang-orang yang membuang-buang waktu dalam ketidakjelasan.
Nampaknya alasan orang-orang yang enggan mengkaji agama di atas tidaklah relevan. Dalam sejarah perkembangan teknologi, para ilmuwan pada zamannya sering kali dipandang gila, karena menurut orang-orang yang sezaman dengannya mereka adalah orang-orang yang mebuang-buang energinya untuk sebuah kebodohan. Mari kita renungkan kembali justifikasi ini. Pada zamannya, Thomas alfa edision (penemu bola lampu pijar) dipandang gila dengan gagasan-gagasannya. Ia menghabiskan paruh usianya untuk melakukan eksperimen-eksperimen di laboratorium. Tidak hanya satu-dua kali ia gagal dalam eksperimentasinya. Bahkan puluhan, ratusan, ribuan kali. Hingga orang-orang di sekelilingnnya menganggap bahwa dia sudah gila. Namun apa yang terjadi ketika dia berhasil dalam uji laboratoriumnya? Seantero jagad memujinya dan Thomas alpha edision tak lagi dikenal dengan orang yang bodoh atau melakukan kesiaan.
Fenomena ini, tidak jauh berbeda ketika Einstein menemukan teori grafitasinya, orang berpikir bahwa tingkah orang jenius ini adalah sebuah kesiaan. Namun apa yang terjadi ketika ia mampu merumuskan grafitasi, yang kemudian diikuti dengan temuan applied science lainnya? Einstein tak lagi dikenal dengan orang yang bodoh atau melakukan kesiaan dengan segala lamunannya.
Beragam fenomena tersebut menunjukkan bahwa, kita tidak bisa melakukan justifikasi begitu saja terhadap agama atau apa pun itu. Sesungguhnya nilai kemungkinan tidak bisa diukur lewat satu indikiasi saja, yaitu kuantitas dari kemungkinan (qadr al-ihtimal). Tetapi ada indikasi lain yang patut dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimungkinkan (qadar al-muhtamal).
Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan dari pencarian agama tidak terbatas, maka—meskipun tingkat kemungkinan hasilnya itu lebih kecil—besar nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan membutuhkan energi yang lebih daripada usaha-usaha yang memiliki hasil terbatas. Dan ada pun orang yang menyadari bahwa ketidak perluan pada agama atau ia merasa bahwa masalah-masalah agama tidak mungkin dapat diselesaikan.
Sebuah ungkapan menarik dari M. T. Misbah Yazdi dalam menanggapi justifikasi di atas. “Pasal, darimana orang bisa mengatakan kita tidak memerlukan agama atau masalah-masalah agama tidak mungkin dapat diselesaikan, jika tanpa penelitan atau pencarian terlebih dahulu?”
Dan pada zaman sekarang ini, terdapat tanda-tanda bahwa agama-agama akan memainkan peran besar dalam mewujudkan hidup bersama sebuah masyarakat dunia ketiga. Sejarah sampai hari ini menunjukkan bahwa agama dapat mengangkat manusia pada keluhuran tertinggi, akan tetapi dapat juga disalahpahami manusia dan menjadi dasar tindakan-tindakan yang jahat.