Bi’tsah Dan Wilayah Serta Relevansinya Dalam Kehidupan
Beberapa lama kita telah memperingati hari Bi’tsah, hari pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang Nabi. Peresmian dari Allah SWT bahwa beliau adalah utusan-Nya yang sah. Semua manusia harus menghormati dan menghargainya walau sebenarnya Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak gila hormat, tidak membutuhkan penghormatan, penghormatan ini lebih kepada bentuk penghargaan manusia baik beliau sebagai utusan-Nya maupun sebagai sosok yang memiliki akhlak paling utama, lebih-lebih beliau sebagai wali semua manusia bapak dari seluruh umat.
Sisi yang jarang diungkap adalah sisi wilayah yang beliau miliki, Muhammad bin Abdullah selain sebagai seorang Nabi beliau adalah seorang Rasul dan seorang Imam, seorang yang memiliki wilayah atas umat manusia. Wilayah atas diri dari masing-masing manusia, jika beliau berkata untuk menceraikan istri kita maka kita wajib mentaatinya, karena diri kita berada dibawah kekuasaan beliau. Ketika beliau menyuruh kita masuk kedalam tanur yang apinya sedang berkobar, maka kita wajib masuk kedalam tanpa bertanya kembali, meminta alasan dan penjelasan panjang lebar. Apapun yang diperintahkan pasti ada hikmahnya, pasti pada tatanan keadilan bukan kezaliman. Demikianlah wilayah semestinya diyakini dan dijalankan. Sebuah ketaatan mutlak kepada Nabi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dalam ranah politik berbangsa dan bernegara. Berwilayah mencakup seluruh elemen kehidupan, taat dalam semua hal bagi seorang manusia yang ingin utuh berwilayah kepadanya.
Dalam salat kita membaca Asyhadualla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulallah, mengulang-ulang kesaksian akan ke Maha Esaan Allah serta bahwa Nabi Muhammad Saw adalah rasul utusan-Nya, tentu tidak berhenti sebagai ucapan lisan dan pengakuan dalam hati semata, tapi juga ada reaksi dalam kehidupan nyata, merasakan langsung wilayah kenabian itu dalam kehidupan kita, mentaatinya dengan mentaati ulil amri yang menjadi penerusnya, mentaati penerusnya dengan mentaati wakil yakni wali fakih seorang marja yang memenuhi semua syarat. Ada sebuah garis wilayah dari Allah, Rasulullah dan ulil Amri yang senantiasa memayungi manusia.
….”Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.”[1]
Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” [2]
Dalam beberapa ayat tidak disebutkan taatlah kepada ulil amri, seperti pada ayat 66 Al Ahzab dan ayat 54 Surat Nur, adanya dua redaksi ini bukanlah sebuah pertentangan, tapi dua redaksi ini menjelaskan satu dengan yang lain. Hal ini diperkuat karena dalam hadis Nabi banyak kita temukan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul selalu disandingkan dengan dengan ketaatan kepada seorang Imam.
Berwilayah yakni memasrahkan diri secara utuh tanpa komplain. Kepada Allah, kepada Rasul, dan juga kepada ulil Amri. Apakah hal ini mudah, tentu tidak, ini butuh latihan bertahun-tahun, akan ada ujian dan rintangan untuk bisa lulus darinya. Perjalanan ini butuh sair wa suluk irfani jika ingin tuntas secara total dalam menjalankan ketaatan.
Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[3]
Bisa jadi kita hanya mengaku beriman sebagaimana orang Arab Badui ini, kita masih dalam posisi mengetahui saja bahwa Allah dan Rasul serta ulil amri adalah wajib ditaati. Kita hanya tidak bisa mencari argumen lain untuk menyangkalnya tapi keimanan itu belum masuk kedalam relung hati kita.
Ulil Amri di jaman ini adalah Imam Mahdi Afj. Keberwilayahan yang harus kita perhatikan dan kita amalkan adalah berwilyah kepada beliau. Sebuah ujian bagi masyarakat sekarang adalah karena beliau sedang dalam masa ghaibah kubro. Beliau tidak bisa ditemui sebagaimana para sahabat menemui Nabi dan juga para imam setelah beliau. Ujian yang juga dialami kaum Musa selama empat puluh hari dan mereka gagal dan akhirnya mencari berhala pengganti Allah, padahal waktu itu ada yang hadir dan bisa dilihat mata yakni Nabi Harun As, di jaman ini pun begitu, manusia dalam berwilayah benar-benar harus menggunakan hujah batin yakni akal mereka, merasakan dan mencerna bahwa dengan nalar jelas mudah dibuktikan bahwa Imam terakhir sudah selazimnya di Ghaibkan Allah dari mata umum manusia. Hadir tetap menerangi dan membimbing tapi umumnya manusia tidak bisa melihat apalagi menemuinya.
Lima belas sya’ban hari lahir Imam Zaman di sebagian tempat dijadikan sebagai hari raya, masing-masing warga mengucapkan selamat hari raya nime sya’ban pertengahan sya’ban. Saling mengingatkan untuk kembali dan kembali memperbaharui baiat kita sebagai makmum kepada Imam kita. Lalu melaksanakan perintah-perintah Imam yang harus kita jalankan.
Pengenalan manusia kepada Imam Mahdi afj jelas bertingkat-tingkat, pengenalan ini semestinya tahun demi tahun harus ditingkatkan. Berbagai subhat terkait Imam Mahdi afj dijawab dengan argumen yang jelas. Hal ini bisa dilakukan dengan mengikuti kajian-kajian mahdawiyah yang diselenggarakan diberbagai tempat.
Buku dan artikel serta ceramah-ceramah akan sangat membantu masyarakat jika diperbanyak. Jadi dua kutub saling mengisi, dari bawah yakni masyarakat awam mencari, dari atas pihak-pihak yang memiliki pengetahunan dan kemampuan menyiapkan media. Karena masa-masa penantian bukan berarti menjadi pengangguran, masa penantian adalah kerja keras dan penuh kesungguhan. Berusaha menyiapkan diri untuk pantas menjadi masyarakat yang dipimpin oleh Imam Mahdi Afj.
[1] QS Al-Ahzab: 66.
[2] QS Nur: 54.
[3] QS Al Hujurat: 14.