Cingkrang: Antara yang Mewajibkannya dan yang mengolok-oloknya
Oleh: Husein Alkaff
Beberapa dasawarsa terakhir ini gejala cingkrang (celana panjang di atas mata kaki) makin marak. Bersamaan dengan itu, muncul pro dan kontra terhadapnya. Ada yang menyikapinya secara berlebihan dan bersifat bermusuhan. Para pendukungnya menganganggap pakain cingkrang sebagai kewajiban agama sehingga memakai pakain (sarung dan celana) tidak cingkrang sebagai perbuatan yang haram, dosa dan sesat. Sebaliknya, kalangan yang tidak mendukung cingkrang mengolok-olok para cingkrangers sebagai kelompok intoleran dan bahkan teroris. Sikap dua kubu ini saling menghujat dan menyerang; baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Cingkrang: Permasalahan dan Hukumnya
Masalah cingkrang bukan sekedar masalah mode pakaian yang sedang trend, tapi telah menjadi masalah dan isu agama yang menyebabkan ketegangan di tengah umat Islam. Dalam benak kebanyakan orang, ketika disebut kata “cingkranger“, maka benak mereka tertuju pada satu kelompok Muslim tertentu bukan lainnya. Dengan demikian, masalah cingkrang adalah masalah agama dan masalah ekspresi seseorang dalam menjalankan agama sehingga kita perlu melihat keterangan-keterangan agama Islam tentang cingkrang itu sendiri.
Dalam kitab-kitab Hadis Ahlu Sunnah dan Syiah akan terdapat beberapa riwayat tentang larangan memakai sarung atau celana di bawah mata kaki (isbaal), seperti beberapa riwayat di bawah ini;
1. Sarung yang (terurai) di bawah dua mata kaki berada di neraka (HR. Bukhari)
2. Allah tidak akan melihat seseorang yang membiarkan jubahnya dengan kesombongan (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hindarilah memanjangkan sarung dan gamis karena itu adalah pakaian orang-orang sombong, dan Allah tidak menyukai orang-orang sombong (HR. al Kafi al Kulaini j.6 h. 456)
4. Tidak akan mencium bau surga anak yang durhaka, orang yang memutuskan silaturahmi dan orang yang memenjangkan sarungnya dengan kesombongan ( HR. Wasaail al Syiah h. 5858).
Riwayat-riwayat di atas dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa dengannya secara jelas mengecam pakaian (sarung, celana panjang dan gamis) melebihi mata kaki, dan secara tidak langsung riwayat-riwayat ini menganjurkan untuk memakai pakaian yang cingkrang. Meskipun demikian, dalam memahami riwayat tidak bisa secara literal. Untuk memahaminya dibutuhkan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang. Secara spesifik, ilmu yang mengajarkan tata cara pengambilan (istinbath) hukum syariat disebut dengan ilmu Ushul Fiqih.
Para ulama pakar Ushul Fiqih dari zaman dahulu hingga saat ini berbeda pendapat dalam menjelaskan hukum cingkrang atau memanjangkan pakaian hingga di bawah mata kaki. Secara ringkas, terdapat tiga pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian hingga di bawah mata kaki; haram, makruh dan mubah-boleh
lihat: https://islamqa.info/ar/102260 dan http://aletra.org/print.php?id=839
Tiga pendapat dari para pakar Ushul Fiqh itu tentu didasari dengan argument-argument yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dan orang awam yang tidak mendalami ilmu Ushul Fiqih tidak berhak menyalahkan mereka begitu saja.
Setiap kita boleh mengambil salah satu dari tiga pendapat itu sesuai kepercayaan kita kepada siapa diantara para ulama Ushul Fiqih (para imam mazhab). Saat kita memilih satu pendapat, maka kita juga harus menghargai pilihan orang lain yang tidak sama dengan pilihan kita.
Ekstrimitas Dalam Menyikapi Cingkrang
Sangat disayangkan di tengah masyarakat kita muncul dua sikap yang berlebihan dan tak elok dalam menyikapi cingkranger. Dua sikap ini jauh dari ajaran Islam itu sendiri bahkan bertentangan. Pertama adalah kelompok Muslim yang meyakini bahwa pakaian cingkrang wajib dan membiarkan sarung dan celana hingga di bawah mata kaki haram. Mereka menganggap orang Muslim yang tidak mengikuti pandangan mereka dianggap menyalahi ajaran Islam dan pada gilirannya mereka dianggap sesat. Tentu sikap ini menyakitkan kelompok lain dan sangat menganggu, apalagi sikap ini disampaikan di tempat-tempat umum seperti media sosial. Mestinya mereka paham bahwa hukum cingkrang tidak tunggal, yaitu wajib saja, atau hukum membiarkan pakaian hingga di bawah mata kaki yaitu haram saja. Mereka perlu membuka diri dengan pandangan lain dan menghargainya.
Kedua adalah kelompok yang memakai pakaian yang tidak cingkrang. Pada umumnya, mereka ini tidak tahu riwayat-riwayat di atas tentang larangan memakai pakaian hingga di bawah mata kaki. Kerena ketidaktahuan (baca: keawaman) itu mereka membenci cingkranger dan bahkan mengolok-oloknya secara berlebihan. Mereka harus dipahamkam bahwa pakaian cingkrang itu adalah pakaian Nabi Saw. Karena itu, ketika mereka membenci dan mengolok-olok para cingkranger, maka sebenarnya mereka secara tidak sadar maupun tidak tahu bahwa mereka juga membenci dan mengolok-olok Nabi Saw. Wal iyadzu billah.
Kesimpulan
Poin dari tulisan ini adalah para cingkranger harus membuka wawasan bahwa hukum cingkrang tidak tunggal, dan harus menahan diri untuk tidak men-sesatkan yang non-cingkranger karena hal itu menyalahi ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk menghargai perbedaan. Sementara itu, yang bukan cingkranger boleh tidak setuju dengan pakaian cingkrang tapi tidak boleh mengolok-olok para cingkranger. Ketidaksukaan pada sikap cingkranger jangan sampai mengolok-olok pakaian itu karena pakaian Nabi Saw juga cingkrang.