Demokrasi: Barat dan Pancasila
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat dan kembali kepada rakyat, sebuah pernyataan yang sangat popular. Demikian, itulah yang disebut-sebut sebagai arti demokrasi yang sebenarnya. Untuk memperjelas duduk permasalahan, mari kita simak contoh sederhana berikut ini; voting akan dilakukan oleh 7 orang, ayah, ibu, dan 5 orang anak, yang masing-masing berusia, 6,9,13,16 dan 20 tahun. Opsi yang akan dipilih; fast food atau sayur asem. Kedua orang tua dengan pertimbangan kesehatan keluarga memilih sayur asem, sementara ke lima anak-anak mereka lebih doyan menyantap makanan cepat saji alias fast food. Alhasil, keluarga demokrat itu telah terbohongi oleh demokrasi.
Munkin kita bisa berdalih, bahwa contoh di atas sangat tidak relevan dengan kenyataan demokrasi dalam sebuah tatanan kenegaraan, baik dari segi usia pemilih, kampanye, informasi yang sampai ke pemilih mengenai opsi-opsi yang akan dipilih dan faktor-faktor yang lain. Saya rasa tidak jauh beda dengan apa yang telah kita alami selama kurun waktu kemerdekaan Negara kita tercinta ini. Parahnya, memang fast food yang terpilih dalam pesta demokrasi mini di atas merugikan kesehatan, namun rasanya yang gurih dan sedap masih bisa memenuhi selera instant kaum pemalas era westernisasi sekarang ini, namun, pesta demokrasi di Negara kita acapkali bukan hanya merusak cita-cita luhur bangsa dan Negara dalam mewujudkan kemakmuran, keadilan sosial dan pembangunan yang menyeluruh, namun juga memporak-porandakan rasa kerukunan berbangsa dan bermasyarakat yang menjadi tulang punggung persatuan bangsa ini.
Lantas apalagi yang kita korbankan dalam pesta demokrasi lima tahunan ini?. Terkadang saya enggan membagi jawaban untuk pertanyaan di atas, alasannya? Cukup banyak dan cukup beralasan, misalnya; ogah diklaim penista atau sok pinter oleh sebagian orang-orang dekat alias teman. Tapi inilah kenyataan nya, persis seperti contoh di atas tadi, selain kedua orang tua, tidak pernah tau secara mendetil tentang efek negatif dari makanan cepat saji, padahal pemilu kecil tadi diselenggarakan tanpa kampanye. Bayangkan berapa persen dari masyarakat kita yang sadar, tau, mengerti dan memahami betul-betul tentang tokoh-tokoh cepat saji yang pekikan pembangunannya menggugah selera para pemimpi idealism bangsa ini, namun jauh panggang dari api, ditambah lagi oleh kampanye, yang sering kali secara politik dan kebudayaan sesat dan menyesatkan.
Akhirnya, Arjuna berubah menjadi Duryodhana, idealisme diinjak-injak oleh perburuan tahta dan harta, janji tinggal janji, moto, slogan hilang bersama dengan hilangnya selebaran-selebaran, spanduk-spanduk, banner-banner, dan berakhir di tong sampah mengotori tangan-tangan pemulung kecil yang tidak pernah bisa besar. Kadang kita digugah kembali untuk sekedar bersedih, ketika slogan-slogan keadilan dan kemakmuran menempel manis dibaju kaos pengemis miskin yang dia dapatkan sewaktu kampanye dulu dari salah satu paslon, kadang juga kita dipaksa untuk menahan emosi melihat halaman-halaman muka surat kabar terkemuka, hampir semuanya memuat tentang korupsi, kadang juga kita harus menahan tawa melihat kebodohan sebagian dari punggawa-punggawa kita, yang bingung dengan pekerjaan yang harus dia kerjakan.
Anehnya, bangsa ini tidak pernah kapok, tidak pernah jera, tidak pernah dan tidak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu, bukankah bangsa Indonesia dikenal karena kepintarannya, atau minimal Indonesia termasuk salah satu bangsa pintar di dunia, lantas kok bisa dibohongi terus menerus?
Belum lagi gaya para koruptor yang berlagak bak actor Hollywood, menebar senyum ke-kamera para juru tinta, merespon pertanyaan para reporter TV dengan lambaian mesra, dan masih mendapat hormat dari sebagian orang, maklum uang hasil korupsi masih menumpuk di bank-bank Negara tetangga. Itu koruptor kelas menengah, koruptor kelas atas, lain lagi ceritanya UNTOUCHABLE? Yah, tidak tersentuh. Bagi mereka hanya waktu yang menghalangi mereka untuk kembali menjadi fast food bangsa ini, dengan kekayaan yang mereka miliki, jaringan, pengikut, mass media dan lain-lain. Semuanya akan menjadi senjata yang pada waktu nya kembali memerangi kejujuran bangsa ini.
Cerita ini tidak akan pernah berakhir, karena; bangsa kita bangsa pelupa, atau mungkin bangsa ini mengidap kelainan short-term memory?
Salah siapa, dosa siapa?
Yang jelas bukan dosa ibu mengandung, bukan pula dosa ibu pertiwi yang terus menangisi anak-anaknya, itulah DOSA-DOSA DEMOKRASI?
Pak interupsi pak? (silahkan)
Akankah kita berpaling dari demokrasi ini?
Saya juga bingung?
Sebagai poin terakhir, asa musyawarah dan mufakat serta demokrasi akan menjadi lebih objektif bila di monitoring dengan baik dan benar, baik dari segi keagamaan maupun tata susila dan etika berpolitik yang sah. Demokrasi dapat diartikan lain bukan sebagai dari rakyat oleh rakyat dan untuk partai. Demokrasi dapat diartikan musyawarah mufakat, Sebagaimana yang terdapat dalam sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Mari berdemokrasi Pancasila! (AS. Jadtu dan Asep Purwa)