Dua cara Pandang yang Mendasari Penolakan dan Penerimaan Revolusi Imam Husain
Peristiwa yang terjadi pada Imam Husain bukanlah peristiwa yang terpenggal dan terpisah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum kejadian Asyuro. Baik dakwah yang sudah dirintis oleh Nabi Muhammad Saw maupun oleh Amirul Mu’mini, Imam Hasan, dan akhirnya sampai juga kepada Imam Husain As.
Memang bisa kita memenggal revolusi Imam Husain ini sebagai sebuah kejadian tragedi kemanusiaan semata, sebagaimana bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kaitan teologis dan idiologis dengan momentum Asyuro.
Secara umum kita bisa melihat Karbala Abu Abdillah dengan dua cara
Pertama melihatnya sebagai sebuah rangkaian besar tak terpisahkan dari da’wah Rasulallah Saw.
Kedua melihatnya secara sepenggal sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Kalau kita melihatnya sebagai sebuah kejadian yang terpisah, maka kita bisa melihatnya dari sisi kemanusiaan, hal ini akan memunculkan rasa empati dan dukungan, serta kecaman kepada para pelaku pembantaian. Hal ini bersifat universal, lintas negara bisa menjangkau semua orang selama mereka masih memiliki nurani, punya kepercayaan kepada nilai-nilai moral maka itu sebagian dari kita pernah mendengar pernyataan empati, simpati, dukungan, kekaguman, kepada Imam Husain As yang dilontarkan oleh orang-orang yang bisa saja tidak memiliki ikatan idiologis, berbeda agama, tidak punya ikatan-ikatan keagamaan bahkan. Sebagaimana kita juga bisa melihat peristiwa-peristiwa kejahatan yang terjadi dalam sejarah manusia seperti yang kita lihat misalnya, pembantaian kelompok Armenia oleh Turki Othoman, atau kejadian di Bosnia atau pembunuhan pada warga Indian di Benua Amerika oleh orang-orang kulit putih pendatang, atau pembantaian atas suku Aborigin di Australia Orang Palestina oleh Israel, dan masih banyak lagi. Itu semua bisa dianggap sebuah peristiwa kemanusian dimana setiap orang yang memiliki nurani pasti akan merasa simpati, berempati, mendukung, ternyuh, iba dan sebagainya.
Demikian juga kita bisa melihat pembantaian yang dilakukan oleh Yazid pada 10 Muharram 61 H kepada Imam Husain AS dan keluarga, sebagai sebuah bagian dari konspirasi, konspirasi besar yang tidak hanya dimulai dari Yazid laknatullah alaih, karena tanpa keberadaan dan peranaan Muawiyah maka Yazid pun tidak ada. Muawiyah sendiri merupakan bagian dari sebuah orde kekuasaan sebelumnya, dan kekuasaan sebelumnya itu berhubungan dengan kekuasaan sebelumnya begitu seterusnya. Disini kita tidak perlu melihat dan membahas detail lagi perihal itu karena sudah sangat jelas dan terang benderang.
Seorang muslim, sebagai orang yang tidak hanya memiliki ikatan secara kemanusiaan, mereka juga memiliki ikatan secara idiologis, memiliki ikatan teologis keyakinan yang dibawa oleh Rasulullah saw terlepas dari madzhab-madzhab yang dianut oleh masing-masing muslim serta turunannya. Minimal kita bisa melihat dari dua sudut pandang yang sedikit berbeda. Yakni perspektif kemanusiaan yang lintas keyakinan dan agama yang bersifat universal juga bisa melihat perspektif teologis keagamaan, sebagai seorang muslim.
Ketika kita melihatnya sebagai seorang muslim, disinilah ada kenyataan bahwa masing-masing padangan setiap muslim terhadap dakwah Nabi tidaklah sama, bahkan terhadap kenabian itu sendiri. Perbedaan pandangan terhadap Nabi dan Kenabian inilah yang berdampak pada munculnya persepsi-persepsi berbeda seputar peristiwa Asyura Aba Abdillah. Dengan alasan ini maka tidak perlu merasa heran ketika ada orang Islam yang tidak tahu, ada yang seolah-olah tidak pernah mendengar, merasa heran mengapa ada kejadian cucu Nabi dibantai oleh sekelompok orang yang muslim. Sebagian muslim bukan hanya tidak mendengar bahkan mereka menolaknya. Kelompok muslim lainnya lagi bukan sekedar menolak bahwa kejadian ini pernah ada bahkan menuding bahwa hal ini hanya diperacayai khas oleh kelompok tertentu dalam Islam. Kenyataan yang merupakan pengaruh dari disinformasi yang merupakan bagian dari dua kelompok yang memandang Nabi dan Kenabian secara berbeda.
Karena itu sebagian dari umat Islam ada yang berusaha untuk menutupinya, menilai bahwa siapa saja yang mengingat, memperingati kejadian Asyuro sebagai kelompok sesat dan menyesatkan. Menetepkan semua dogma negatif kepada kelompok yang tetap bersikukuh melakukan ritual peringatan Asyuro.
Barangsiapa ingin memahami detail dari falsafah revolusi Abu Abdillah maka dia harus meluangkan waktu untuk membuka dan mendedah dua persepsi berbeda terkait Nabi dan Kenabian tadi.
Misalnya kita menilai Nabi Muhammad saw hanya sebagai manusia biasa yang kadangkala berbuat dosa, tapi kebetulan mendapatkan wahyu, hanya pasti benar ketika menyampaikan wahyu saja.
Kedua adala penilaian yang menilai beliau sebagai manusia sempurna, punya karisma dan sangat istimewa, punya leadership matang, tidak pernah berpuat alpa, lupa, salah, keliru dan dosa. Manusia yang benar-benar tuntas dalam sisi kemanusiaannya, siapa ingin melihat manusia sempurna dari semua segi kemanusiaan maka cukup melihat sosok agung ini.
Dua cara pandang sederhana ini jelas berpengaruh besar dalam menilai Islam, ajaran-ajaran Islam, Ulama-ulama Islam, dan khususnya dalam menilai apa yang terjadi pada cucu Nabi saw yang dibantai sadis di padang Karbala dalam keadaan haus tidak minum beberapa hari.
Kesimpulannya
Pembahasan Asyuro tidak bisa hanya dilihat mandiri terlepas dari da’wah Nabi sebelumnya, apa yang dilakukan Imam Husain as adalah rangkaian tak terpisahkan dari apa-apa yang sudah dilakukan Nabi, Imam Ali, dan Imam Hasan sebagai pemimpin terdahulu.
*Catatan atas kajian yang disampaikan oleh Ust. Dr. Muhsin Labib