Epistemologi Agama (3)
Epistemologi Agama (3)
Oleh: Andi Mahdi
Problematika Ushul Fiqih
Sebagaimana diketahui bersama, ushul-fiqih merupakan satu disiplin pengetahuan yang digunakan oleh mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat, fikih, dari sumber-sumber otentiknya. Akan tetapi, definisi-definisi yang dipaparkan oleh para pakar hanya membatasi fungsi ushul-fiqih. Padahal, terdapat tiga bagian besar pembahasan dalam ushul-fiqih. Jika diamati, ketiga bagian besar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan bagian lainnya, dan sebagai berikut:
- Sebagian bahasan ushul-fiqih sama sekali tidak digunakan kecuali dalam menyimpulkan hukum-hukum fikih. Seperti, pembahasan tentang hakikat kesyariatan, sahih dan a’am, awamir (baca: perintah), macam-macam hukum, bagian-bagian wajib, mukadimah wajib, masalah dhid (baca: perlawanan), larangan-larangan, bertemunya –kata- antara perintah dengan larangan, mafahim, ijma’, istishab, ushul-amaliyah dan lain-lainnya.
- Sebagian lainnya, selain digunakan dalam menyimpulkan hukum-hukum fikih juga dapat digunakan dalam domain-domain agama dan pengetahuan agamis. Seperti, pembahasan peletakan bahasa, hujjiyat dhawahir (baca: validitas makna tersurat dari kata atau kalimat), tanda-tanda hakiki –dari kata-, kondisi kata atau bahasa, homonimitas, dan sebagian pemabahasan rasional –aqli-. Kajian-kajian di atas, walau pun merupakan bahasan yang digunakan dengan pendekatan fungsional kefikihan saja, namun dalam perjalannnya, memperoleh perluasan cakupannya.
- Sebagiannya lagi, pada hakikatnya adalah bahasan-bahasan yang sesungguhnya asing bagi ushul-fiqih, bahkan merupakan bagian dari permasalahan ilmu-ilmu alat. Akan tetapi, dibahas dalam ushul-fiqih hanya sebatas singgungan. (Ali Akbar Reshad, Manteq Fahme Din, hal 66).
Mengamati bagian besar kedua di atas, menjelaskan pada kita bahwa sebagian bahasan ushul-fiqih merupakan ilmu alat dalam membentuk dan menciptakan pengetahuan agamis. Tentunya, melihat kondisi awal dari bahasan-bahasan tersebut yang hanya dikhususkan untuk menyimpulkan hukum-hukum fikih, diperlukan perluasan bahasan dan penyempurnaannya. Dari sinilah, sebagian ulama muda hauzah melihat perlunya akan hal tersebut. Dikarenakan, adanya “kebutuhan mendesak” bagi para pemikir agar dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan non-fikih yang terkait dengan pengetahuan-pengetahuan agamis. Oleh karena itu, istilah ijtihad tidak lagi hanya bercokol di dunia fikih, namun merambah seluruh pengetahuan yang terkait dengan agama, baik bangunan teoretis atau pun praktisnya. Sebagai contoh, ijtihad kalami (baca: ijtihad teologis) merupakan satu upaya menarik kesimpulan-kesimpulan teologis dari sumber-sumber primernya yang pada akhirnya akan membentuk satu sikap praktis di hadapannya.
“kebutuhan mendesak” tersebut mendorong para ahli dan ulama untuk merumuskan bangunan dan struktur pengetahuan yang dapat membantu mereka dalam menarik kesimpulan-kesimpulan non-fikih, yang disebut dengan pengetahuan agamis. Salah satunya dengan memperkuat dan mempertajam bahasan-bahasan “bagian besar” kedua dalam ushul-fiqih dan memperluas cakupannya tidak terbatas hanya dalam persoalan-persoalan kefikihan saja. Selain itu, juga memberikan seperangkat alat yang dapat dengannya mengukur dan menakar kesesuaian gagasan atau pun kesimpulan dengan sumber-sumbernya. Dari sinilah, muncul disiplin epistemologi agama.
Persoalan yang menjadi polemik antara para ahli dan ulama berkenaan dengan “affair of the truth” (baca: nafs al-amr) agama. Pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait masalah “affair of the truth” agama bukanlah sesuatu yang baru di kalangan kaum agamis. Seperti, apakah gagasan-gagasan yang diperoleh manusia dari teks-teks suci adalah sama dengan hakikat dan entitas kewahyuan secara faktual? Ataukah, gagasan tersebut hanya menyentuh “sebagian” kecil dari hakikat-hakikat kewahyuan? Jika, memang antara gagasan kewahyuan dengan faktanya adalah sama, lantas apakah penafsiran terhadap teks-teks suci merupakan pendeskripsian atas fakta-fakta tersebut? Ataukah, hanya merupakan pendeskripsian atas gagasan yang diperoleh dari teks-teks suci? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggugah para ahli dan ulama muda untuk memasuki kajian-kajian filosofis-irfani dalam membicarakan hakikat kewahyuan dan tolok-ukur kesesuaian antara gagasan kewahyuan dengan “affair of the truth”-nya.
Nafs al-Amr (baca: affair of the truth)
Dalam bahasan filsafat, terdapat satu bab yang mengupas “affair of the truth” secara detail. Sebagai singgungan, kajian “affair of the truth” merupakan bahasan ontologis yang terkait-erat dengan epistemologi. Di mana, “affair of the truth” merupakan wadah pengembalian seluruh jenis proposisi yang dimiliki oleh manusia. Lebih lanjutnya, manusia memiliki pengetahuan yang terdeskripsikan dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi tersebut berbeda antara satu dengan lainnya berdasarkan objeknya. Objek-objek tersebut beragam secara gradual.
Proposisi adalah sekumpulan gagasan yang terdiri dari subjek dan predikat serta menjelaskan predikasi, baik afirmatif atau pun negasi. Predikasi itulah penentu bagi hubungan antara subjek dengan predikatnya, yang kemudian menjadi pengetahuan. Pengetahuan manusia harus memiliki tolok-ukur benar dan salahnya, sehingga manusia mendapatkan jaminan atas apa yang dimilikinya sebagai pengetahuan.
Dalam pembahasan epistemologi, hal yang paling menarik perhatian para pakar adalah kajian tentang tolok-ukur benar dan salah. Diskursus tolok-ukur benar dan salah menyeret mereka untuk menuangkan teori tentangnya. Banyak teori telah mereka sodorkan, mengingat bahwa pengetahuan manusia harus mendapatkan jaminan, sehingga layak disebut pengetahuan dan berbeda dengan informasi yang belum terverifikasi. Dari sisi inilah, mengapa kaji tentang epistemologi menjadi sangat urgen.
Dari sisi lain, pengetahuan terverifikasi adalah yang dapat dikembalikan pengetahuan tersebut kepada pemiliknya, fakta. Tentunya, berbicara tempat pengembalian pengetahuan kepada pemiliknya akan menyeret kita memasuki bahasan tentang Nafs al-amr (baca: affairs of the truth).
Berdasarkan “teori korespondensi”, kesesuaian mental dengan eksternal, terdapat “affairs of the truth”, “wadah” pengembalian seluruh proposisi yang dimiliki manusia dalam mentalnya. “wadah” sebagai pemilik proposisi-proposisi dengan segala jenis dan tingkatannya.