Kedudukan Ali bin Abi Thalib Dalam Hadis-Hadis Fariqain (Bag. 2)
Keutamaan Imam Ali a.s. Pasca Hijrah
Salah satu keutamaan khusus yang dimiliki Imam Ali a.s. setelah hijrah Nabi saw. terjadi saat peristiwa muakhat jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin dengan Ansar. Setelah Nabi saw. mempersaudarakan seluruh kaum muslimin, beliau memilih Ali sebagai saudara. Peristiwa ini juga ditegaskan oleh Ahlu Sunnah dan Syiah.[1]
Peristiwa penting lain yang terjadi pada tahun ke-2 H adalah pernikahan Imam Ali dan Fatimah Zahra. Dengan jalinan ini, beliau memperoleh predikat menantu Nabi saw. Dari sekian banyak peminang Fatimah, hanya Imam Ali a.s. yang diterima sebagai suaminya. Riwayat tentang peristiwa ini juga dinukil oleh ulama fariqain.[2]
Berkenaan dengan peminangan puteri Nabi saw. oleh Ali a.s., Ahmad bin Hanbal, imam madzhab Hanbali menukil sabda Nabi saw. saat diucapkan kepada Fatimah, “Apakah engkau tidak rela aku nikahkan dengan orang pertama yang memeluk Islam, ilmunya lebih banyak dari siapa pun, dan hikmahnya lebih agung dari semua orang.”[3]
Ali bin Abi Thalib a.s. tokoh militer kedua setelah Nabi saw. dalam sejarah Islam, petarung terkenal dan prajurit terdepan dalam medan perang masa awal Islam. Dengan mengkaji perjalanan ghazwah dan sariyah masa Nabi saw. secara global, peran aktif dan efektif Ali bin Abi Thalib dapat diketahui.
Sebanyak 26 ghazwah diikuti oleh Nabi saw dan sekitar 35 hingga 48 sariyah terjadi.[4] Menurut sejarawan fariqain, seluruh ghazwah selain perang Tabuk diikuti Ali a.s.[5] Nabi saw. menyerahkan bendera pasukan Islam kepada Ali a.s. pada banyak perang. Pemegang bendera perang menjadi salah satu keutamaan para sahabat.[6]
Mufassirin Syiah menukil peristiwa sariyah Dzatus Salasil yang terjadi pada tahun ke-9 H. Bendera tentara Islam dipegang oleh Ali bin Abi Thalib a.s. Kaum musyrik mengalami kekalahan luar biasa besar dan pa
da saat itu diturunkan surat Al-‘Adiyat. Saat Nabi saw. shalat subuh, beliau membaca surat tersebut. Setelah selesai shalat, para sahabat bertanya, “Kami belum pernah mendengar sebelumnya surat yang Anda baca dalam shalat tadi.”
Nabi saw. menjawab, “Benar, Ali meraih kemenangan atas musuh-musuhnya. Allah swt menurunkan surat tersebut dan Jibril membawa berita gembira tentang kemenangan Ali.”[7] Peristiwa ini juga menunjukkan kedudukan dan manzilah suci beliau di sisi Allah swt.
Di antara peristiwa yang terjadi pada tahun ke-9 H dan menjadi keistimewaan khusus Ali bin Abi Thalib adalah turunnya surat At-Taubah (Al-Baraah) yang dibacakan oleh Ali pada musim haji dengan perintah Nabi saw.[8] Dalam penafsiran QS. At-Taubah [9]: 3,[9] Ahmad bin Hanbal menukil dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. mengutus khalifah pertama dan memberikan surat At-Taubah untuk disampaikan kepada jamaah haji; namun Nabi saw. segera mengutus Ali untuk menyusulnya dan mengambil alih perintah tersebut. Nabi saw. bersabda, “Surat ini harus disampaikan oleh seseorang yang ia dariku dan aku darinya.”[10]
Salah satu hadis yang disepakati fariqain dalam menjelaskan kedudukan tinggi Ali bin Abi Thalib a.s. adalah hadis yang dikenal dengan “Hadis Manzilah” dalam peristiwa perang Tabuk. Selain dinukil oleh seluruh kitab hadis Syiah, hadis tersebut juga disebutkan oleh mayoritas kitab hadis Ahlu Sunnah dengan sedikit perbedaan.
Kisahnya sebagai berikut: Pada bulan Rajab tahun ke-9 H, saat Nabi saw. keluar dari Madinah menuju Tabuk bersama kaum muslimin untuk berperang melawan orang-orang Romawi, beliau saw. tidak memberikan izin kepada Imam Ali a.s. menyertai pasukan. Beliau saw. meminta supaya Ali tinggal di Madinah menggantikan posisi beliau. Nabi saw. bersabda, “Apakah engkau tidak rela memiliki kedudukan di sampingku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali engkau bukan nabi. Tidak pantas aku pergi (ke suatu tempat) kecuali engkau sebagai penggantiku (khalifahku).”[11]
Syiah dan Ahlu Sunnah sepakat bahwa hadis manzilah ini disabdakan pada peristiwa perang Tabuk dan ghazwah itu sendiri tidak terjadi. Nabi saw. dalam seluruh ghazwah yang memerlukan keberadaan Ali bin Abi Thalib, selalu keluar dari Madinah bersamanya; namun pada perang ini, Nabi saw. melihat keberadaan Ali tinggal di Madinah sebagai sebuah hal yang penting karena adanya sekelompok orang munafik di tengah-tengah kaum muslimin Madinah.[12]
(Bersambung)
[1] Ahmad bin Yahya Baladziri, Ansab Al-Asyraf, jilid 1, halaman 270; jilid 2, halaman 145.
[2] Ibnu Wadhih Ya’qubi, Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, halaman 41; Muhammad Ibnu Sa’d, Ath-Thabaqat Al-Kubra, jilid 8, halaman 11; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 3, halaman 345; Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jilid 5, halaman 316 dan 317.
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid 5, halaman 26.
[4] Izzuddin Ibnu Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh, 1414 H, jilid 1, halaman 652.
[5] Ansab Al-Asyraf, 1394 H, jilid 2, halaman 94 – 96; Al-Kamil Fi At-Tarikh, jilid 1, halaman 652 – 653.
[6] Al-Kamil Fi At-Tarikh, jilid 1, halaman 652, jilid 3, halaman 1069 – 1070; Abul Hasan Muslim bin Hajjaj Neisyaburi, Shahih Muslim, 1407 H, jilid 4, halaman 93 – 95.
[7] Muhammad bin Nu’man Mufid, Al-Irsyad, halaman 51; Tafsir Al-Mizan, jilid 2, halaman 800 – 801; Abul Qasim Ibnu Furat Al-Kufi, Tafsir Al-Furat Al-Kufi, halaman 592 – 600; Ali bin Ibrahim Qommi, Tafsir Qommi, jilid 2, halaman 434.
[8] Al-Kamil Fi At-Tarikh, jilid 2, halaman 291; Thabarsi, halaman 135 – 136.
[9] وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kalian (kaum musyrikin) bertobat, maka itu lebih baik bagi kalian; dan jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”
[10] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 231; jilid 21, halaman 150; jilid 23, halaman 212.
[11] As-Sirah An-Nabawiyyah, jilid 4, halaman 519 – 520; Shahih Muslim, jilid 5, halaman 22, hadis ke-2404; Muhammad bin Ismail Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih, halaman 659, hadis ke-3706.
[12] Tarikh At-Tabari, jilid 2, halaman 144.