Epistemologi, Berita dan Dosa
Oleh: Andi Mahdi
Ibarat daging alot, mau ditelan susah dikunyah, mau dibuang sayang, karena tidak punya pilihan lain. Kira-kira begitulah ilustrasi bagi informasi yg belum terverifikasi lantas main “sedot” saja dan dijejalkan ke dalam mental.
Informasi bisa juga disebut dengan berita, dimana ia merupakan sekumpulan subjek, predikat dan predikasi dan memungkinkan untuk benar atau salah dengan sendirinya. Artinya, berita dan informasi memiliki kemungkinan benar atau salah tanpa melihat siapa penyampainya, dan hanya melihat berita sebagaimana berita itu sendiri.
Epistemologi, berita dan Dosa
Mungkin sebagian orang menganggap bahwa Epistemologi itu adalah disiplin ilmu yang dipelajari bagi yang berminat dengan filsafat. Tidak sepenuhnya asumsi tersbut salah. Namun, mungkin lupa bahwa epistemologi adalah alat yang diperlukan oleh manusia bernalar waras dalam kehidupan sehariannya. Karena, poros terpenting dari Epistemologi adalah mengembalikan berita pada realitas sebagaimana mestinya. Kalau dalam Istilah Alquran adalah tabayyun. Artinya, mencari kejelasan.
Dari sisi inilah manusia bernalar waras sangat memerlukan epistemologi dalam kehidupan kesehariannya. Agar dapat memilah, memilih, menimbang dan mengembalikan berita kepada realitasnya.
Dengan mengabaikan kebutuhan tersebut, maka seseorang akan mudah terjerembab ke dalam dosa, ketika mendapatkan kabar atau berita, dikarenakan yakin kepada si penyampai berita ataupun memiliki stereotip tertentu, langsung memberikan penghukuman dan judge tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Sehingga sangat mungkin, seseorang dengan tanpa melakukan verifikasi terjerembab pada prasngka buruk, analisa negatif, ghibah bahkan fitnah.
Maka, bagi kita yang terhubung dengan dunia Medsos sering memposting, atau reposting sebuah berita tanpa melakukan verifikasi. Dan akhirnya, tanpa kita sadari telah tersungkur dalam kubangan-kubangan dosa horizontal alias dosa-dosa sosial (hablun minan-Nas), dimana permohonan ampunannya tidak bisa langsung secara vertikal (hablun minallah). Karena, banyak disebutkan di dalam literatur suci bahwa dosa-dosa sosial itu terkait dengan manusia, maka amnesty-nya terhubung langsung dengan manusia.
Klasifikasi Pengetahuan
Pengetahahuan indrawi, merupakan satu jenis pengetahuan dimana indra terhubung dengan objek-objek eksternal dan menciptakan gambaran atau konsep di dalam mental. Selama, indra masih terhubung dengan objek-objek tersebut maka, selama itu pula gambaran atau konsep akan terbentuk dan mewujud di dalam metal manusia.
Pengetahuan imaginer, merupakan kesan yang tersimpan di dalam mental dari objek-objek eksternal, baik itu bersifat indriawi ataupun pengalaman kehadiran. Sebagai contoh, konsep dan gambaran objek indrawi yang mewujud di dalam mental selama terkait dan terhubung dengan indra akan tersimpan di dalam mental ketika hubungan indrawi tersebut terputus. Contoh selanjutnya, di saat rasa lapar mewujud di dalam jiwa, realitas tersebut dalam bentuk kehadiran, namun mental manusia mampu menangkap gambaran dari realitas lapar tersebut. Sehingga, manusia memiliki konsep tentang lapar.
Pengetahuan rasional, merupakan satu pengetahuan konseptual yang selalu bersifat universal dan berbeda dengan dua jenis pengetahuan di atas, indrawi dan imaginer, yang selalu bersifat partikular. Pengetahuan kehadiran, merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui metodologi penggambaran dan pengkonsepan, bahkan objek-objek pengetahuan tersebut hadir dalam jiwa. Pengetahuan kewahyuan. Jenis pengetahuan ini dapat ditinjau dari dua sudut pandang, sudut pandangan kehadiran, sudut pandang tekstual.
Menarik untuk dibahas adalah jenis pengetahuan kewahyuan yang terhubung dengan sudut pandang tekstual. Karena, bahasan tentang pengetahuan kewahyuan tekstual menuntut banyak disiplin ilmu seperti: hermeneutika, tafsir, filsafat bahasa, epistemologi teks, hadis dllnya. Disiplin yang mencakup seluruh kajian-kajian yang terhubung dengan pengetahuan kewahyuan tekstual adalah new theology alias teologi baru.
Media pengetahuan
Media Pengetahuan Indrawi/indriawi
Dengan mengamati jenis-jenis pengetahuan akan menghantar kita pada media-medianya. Pengetahuan indrawi, metodologi perolehannya dengan menggunakan induksi. Artinya, pengamatan indra secara langsung terhadap objek-objek indriawi. Metodologi induksi merupakan pengamatan objek-objek personal indriawi yang akan menghasilkan kesimpulan global, bukan universal. Maksud dari “kesimpulan global” adalah kesimpulan-kesimpulan tersebut masih memungkin untuk menerima pengecualian. Contoh, ketika terdapat 100 orang sakit demam, kemudian dokter memberikan paracetamol pada setiap dari mereka dalam kondisi yang berbeda-beda seperti, kondisi sebelum sarapan pagi, setelah sarapan pagi, bangun tidur, sebelum tidur, duduk atau berdiri, dan kondisi lainnya, ternyata mereka sembuh dari demamnya dikarenakan mengkonsumsi Paracetamol, maka dokter bisa mengambil kesimpulan bahwa Paracetamol adalah obat untuk demam. Namun, pada uji-coba yang ke 101, seorang yang terkena demam kemudian dokter memberikan Paracetamol, dan ternyata tidak sembuh dari demamnya hal ini tidak menjadikan kesimpulan atas 100 orang sebelumnya menjadi salah. Kesimpulan tersebut tetap benar, hanya saja dikecualikan untuk penderita demam yang ke-101.
Sering terjadi kerancuan dalam memahami kesimpulan tersebut. Artinya, sebagian pendapat –dikarenakan penganut rasionalisme murni— menyatakan bahwa pengetahuan dan kesimpulan-kesimpulan indriawi tidak dapat dipegang karena, tidak valid 100%. Kerancuan ini disebabkan meletakkan pengetahuan indriawi dan kesimpulan-kesimpulannya dalam “zona rasional universal’.
Ataupun sebaliknya, kelompok positivisme yang mengagungkan pengetahuan indriawi dengan segala kesimpulannya adalah universal. Karena, siak ekstrem mereka yang tidak menerima jenis pengetahuan rasional. Menurut Auguste Comte (17-Januari-1798 M), mengklasifikasikan manusia dengan jenis pengetahuannya menjadi tiga:
- Primitif, adalah yang masih berpegang tegun pada ajaran-ajaran agama dan menjadikan agama sebagai sumber pengetahuan.
- Filosofis, adalah yang masih menerima dan mengakui pengetahuan-pengetahuan immaterial yang nun-idrawi.
- Modern, adalah yang tidak menjadikan agama dan filsafat sebagai sumber pengetahuan dan hanya berpegang-teguh pada pengetahuan indriawi, pengalaman-pengalamannya serta kesimpulan-kesimpulannya.
Oleh karena itu, seharusnya kita lebih bijak untuk meletakkan jenis pengetahuan indriawi dan segala kesimpulannya secara proporsional. Dan orang yang sangat proporsional dalam meletakkan jenis pengatahuan indriawi adalah almarhum Syahid Muhammad Baqir al-Sadr.
Insya Allah, pada kesempatan yang akan datang, bahasan tentang beliau akan menjadi sorortan kita bersama.
Antara Epistemologi dan Disiplin Pengetahuan Lain
Epistemologi sebagai satu disiplin yang independen dan mandiri, memiliki keserupaan dengan beberapa disiplin pengetahuan lainnya. Keserupaan tersebut terkadang merujuk pada struktur, metodologi, permasalahan-permasalahannya dan subjek bahasannya. Dengan mengabaikan perbedaan atas keserupaan tersebut, menyebabkan kerancuan dalam membatasi epistemologi dengan disiplin lainnya. Sebagai contoh, keserupaan epistemologi dengan filsafat ontologi, keduanya memiliki keserupaan dalam subjek kajiannya. Filsafat ontologi dalam bahasan permasalahan-permasalahnnya, dimana ilmu atau pengetahuan menjadi sorortan yang serius dalam filsafat ontologi.
Kemiripan lainnya, epistemologi dengan psikologi filosofis. Dalam psikologi filosofis poros utama kajiannya adalah jiwa. Pembahasan tentang “jiwa nalar” secara ontologis adalah bahasan yang cukup panjang dalam disiplin Psikologi filosofis. “Jiwa nalar’ dengan berbagai macam kekuatan dan fakultas-fakultasnya, salah satunya adalah keterkaitan pengetahuan pada “jiwa nalar” merupakan irisan kemiripan dengan epistemologi.
Keserupaan selanjutnya adalah epistemologi dengan logika. Jika, pada dua disiplin di atas, filsafat ontologi dan psikologi filosofis, masih dapat dibedakan dengan mudah tidak demikian kasusnya dengan logika. Terlalu sulit memberikan perbedaan-perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Sebagai contoh, dalam bab “proposisi”. Proposisi, dalam definisi logisnya, adalah berita yang terdiri dari subjek, predikat dan prediksi yang memiliki nilai benar atau pun salah dengan sendirinya, secara inheren. Ketika, berbicara benar dan salah itu merupakan salah satu subjek bahasan yang sangat penting dalam epistemologi.
Isya-Allah, pada kesempatan selanjutnya saya akan mengurai lebih luas lagi tentang keserupaan dan perbedaan antara epistemologi dengan tiga disiplin di atas, filsafat ontologi, psikologi filosofis dan logika.
Epistemologi dan Logika
Dari sekian disiplin yang menyerupai Epistemologi, seperti dalam tulisan sebelumnya, adalah logika. Jika dalam tulissan sebelumnya disebutkan bahwa untuk membedakan antara Epistemologi dengan filsafat ontology dan psikologi filosofis masih mudah untuk menemukan perbedaan-perbedaanya, tidak demikian dengan logika.
Menemukan perbedaan antara epistemologi dengan logika merupakan upaya yang lumayan sulit dan menyusahkan. Hal tersebut dikarenakan, beberapa pakar logika menyebutkan bahwa salah satu hal yang melatar-belakangi penyusunan dan penulisan logika oleh Aristoteles adalah untuk melawan arus pemikiran sopistisme, relativisme dan skeptisisme. Dengan artian, penyusunan dan penulisan logika tidak lain adalah bertujuan untuk memaparkan metodologi yang benar dalam seni argumentasi, berfikir, pendefinisian dan analisa. Ciri-ciri tersebut sangat bermiripan dengan epistemologi.
Walau pun demikian, bukan berarti keduanya, logika dan epistemologi, tidak bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan keduanya terlihat dari selain subjek bahasannya, juga terlihat dari kegunaan materi kajiannya. Bahasan tentang proposisi juga terdapat pada logika dan epistemologi. Namun, keduanya, berbeda pada sudut pandang dalam penggunaan dan uraiannya. Jika logika mengamati proposisi dalam bentuk-bentuk, bagian-bagian serta komposisinya, maka epistemologi mengamati proposisi yang bisa menghasilkan pengetahuan dan keyakinan. Proposisi epistemik lebih menitik-beratkan pada nilai proposisi dalam kesesuainnya dengan fakta dan realita.
Oleh karena itu, epistemologi tidak memiliki kaitan dalam bahasan proposisi dari sudut pandang teknis logisnya seperti, komposisi, syarat-syarat validitas dan jenis-jenis proposisi. Dengan contoh lain yang mungkin bisa mempermudah bahasan ini, dalam logika membahas jawaban atas pertanyaan “berapakah komposisi proposisi predikatif?”. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah komposisi proposisi prediktif ada tiga: 1. Subjek, 2, predikat dan ke 3, predikasi. Contoh “gula adalah manis”, gula adalah subjek, manis adalah predikat dan “adalah” merupakan predikasinya, yang menghubungkan antara manis dengan gula tanpa memperhatikan apakah proposisi tersebut benar dan sesuai dengan fakta ataukah tidak. Hal-hal di atas merupakan bahasan teknis logika tentang proposisi, dan tidak terkait dengan epistemologi.
Akan tetapi, yang menjadi sorotan epistemologi pada proposisi adalah apakah “gula adalah manis” benar ataukah tidak, apakah proposisi tersebut dapat memberikan pengetahuan dan keyakinan ataukah tidak? Perlu kiranya ditelaah lebih lanjut.