Falsafah Makan dalam Quran
Apakah semua makanan yakni hewan dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut bagus untuk dikonsumsi? Kita mengenal istilah seafood aneka makanan dari laut. Dalam hal ini kita juga harus mempelajari klasifikasi jenis hewan dan tumbuhan laut, karena ada yang hidup dilaut tapi dia termasuk mamalia, ada yang hidup dilaut tapi bernafas dengan paru-paru, ada yang hidup dilaut tapi memiliki racun di dalam tubuhnya, ada juga yang memiliki bisa berbahaya, lebih berbahaya dari bisa hewan darat. Dalam hal ini alangkah bijak jika juga melihat pada parameter lain yang diberikan Quran, parameter itu adalah, Makanlah dari makanan-makanan yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu.
وَ ظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَ السَّلْوَى كُلُوْا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَ مَا ظَلَمُوْنَا وَلَكِنْ كَانُوْا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
Dan Kami naungi kamu dengan awan dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan-makanan yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu. Dan mereka tidak menzalimi Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. [1].
Jadi walau berasal dari Allah yang berada di laut tetap saja dipilih yang baik bagi kesehatan tubuh manusia, bukan dipilih hanya karena alasan kenikmatan lidah dan citarasa semata.
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa semua makanan itu berasal dari-Nya, Allah sendiri menjadikan pengikat bahwa pemberian makanan ini sebagai sebuah kelaziman akan penyembahan kepada-Nya. yang telah Kami berikan kepadamu. Walau memang sudah tersedia di alam semesta namun sebagian makanan tidak diperuntukkan bagi manusia secara langsung. Diperuntukkan untuk hewan yang lain, yang memiliki kekebalan untuk bisa mengkonsumsi makanan-makanan tersebut, baik yang tumbuh di laut maupun yang hidup di daratan. Akhirnya dari ekosistem itu tercipta lingkungan sehat dan seimbang dan manfaatnya juga kembali kepada manusia itu sendiri. Jadi ketika tidak diperbolehkan makan sebagian tumbuhan atau hewan dari laut jangan berpikir bahwa itu berarti manfaatnya tidak kembali kepada kita manusia.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّباتُ وَ طَعامُ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ حِلٌّ لَكُمْ وَ طَعامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.[2]
Makanan dari hewan sembelihan secara umum hukumnya halal, namun hewan yang disembelih atas nama selain Allah dan dilakukan oleh selain ahli kitab hukumnya berbeda. Hewan yang sudah digunakan untuk menyekutukan Allah tidak boleh dikonsumsi oleh seorang muslim. Larangan ini pasti ada dampak negatifnya bagi seorang muslim, walau bisa jadi sampai sekarang belum ada yang bisa memaparkan data detail bahwa memakan makanan non muslim dan non ahli kitab akan berdampak seperti apa.
Falsafah Makan dalam Quran
يا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّباتِ وَ اعْمَلُوا صالِحاً إِنِّي بِما تَعْمَلُونَ عَليمٌ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[3]
Dalam ayat ini kita selain mendapati perintah untuk memilih makanan yang baik, disini juga disebut secara jelas dan tegas kerjakanlah amal saleh. Jadi tujuan utama dari prosesi makan adalah agar selanjutnya manusia berbuat amalan yang baik dan mulia. Dapat dibayangkan jika konsep ini dijalankan oleh sekelompok masyarakat, misalnya oleh masyarakat dalam satu kabupaten atau masyarakat dalam satu kota, dengan memahami falsafah makan lalu mereka hanya bertindak yang postitif saja, yang baik saja. Tidak ada tindakan yang merugikan orang lain, tidak ada ketidakadilan diranah tertinggi maupun terendah. Sebuah kawasan yang tidak lagi membutuhkan aturan, karena semua orang sudah hidup secara teratur, tidak mendahului ketika antri, tidak berbicara buruk, tidak membuli, tidak melakukan korupsi, tidak memonopoli dan rakus, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak menipu, semua berkata jujur dan tulus, saling membantu dan menolong, jelas ini akan menjadi masyarakat yang sangat luar biasa.
وَما جَعَلْناهُمْ جَسَداً لا يَأْكُلُونَ الطَّعامَ وَما كانُوا خالِدينَ
Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.[4]
Dalam ayat pendek ini kita juga diajari falsafah dari makan, tubuh manusia adalah tubuh yang selalu membutuhkan makanan. Setelah menjelaskan kondisi primer kebutuhan tubuh selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa tubuh yang butuh makanan ini bukanlah ciptaan yang kekal, adalah suatu ciptaan yang suatu ketika akan tiada, akan hancur menjadi tanah. Setelah memakai tubuh ini, dengan menggunakan ikhtiar dalam memilih makanan yang halal lagi baik lalu memakannya dengan cara yang baik dan benar, kelak karena tubuh tidak kekal maka akan ada hari perhitungan atas ikhtiar-ikhtiar yang telah dilakukan semasa hidup di alam dunia fana ini. Dan mereka bukanlah orang-orang (makhluk) yang kekal.
آتِنا غَداءَنا لَقَدْ لَقينا مِنْ سَفَرِنا هذا نَصَباً
“Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”[5]
Penggalan percakapan Nabi Musa AS ini mengajari kita tujuan dari makan, bahwa makan bukan karena ingin memuaskan nafsu lidah yang senantiasa mengajak menikmati makanan yang lezat dan nikmat. Mengkonsumsi makan lebih dalam rangka mengembalikan kebugaran tubuh semata, untuk menyambung hidup, agar kebutuhan tubuh tercukupi. Makan sebagai kebutuhan bukan sebagai hobi atau apalagi menjadi sebuah penyakit kecanduan psikologis.
[1] Qs Albaqarah: 57.
[2] Qs Al Maidah: 05.
[3] QS Al Mu’minun: 51.
[4] Qs Al Anbiya: 08.
[5] Qs Al Kahfi: 62.