Falsafatuna: Kritik Islam terhadap Filsafat Barat
Dewasa ini perhatian para sarjana Barat terlalu sering dalam soal-soal yang berkenaan dengan apa yang lazim disebut “fundamentalis” atau “revivalis” Islam, terfokus kepada figur-figur dan gerakan-gerakan yang didasarkan pada reaksi-reaksi emosional dan sentimental dalam melawan keburukan-keburukan dan kezaliman-kezaliman yang melanda seluruh dunia, termasuk Dar Al-Islam. Amat jarang perhatian diberikan kepada respon intelektual yang muncul dari tempat-tempat tertentu terhadap tantangan-tantangan modernisme, dan yang berusaha memberikan jawaban Islami bukan dengan semata-mata memekikkan slogan-slogan tetapi dengan menggali kekayaan tradisi intelektual Islam dan menggunakan logika dan nalar seperti diperintahkan Al-Quran. Buku ini termasuk dalam kategori terakhir ini.
Pada abad ini juga telah muncul salah seorang tokohnya, Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, yang dalam Ushul-e Falsafeh wa Ravesy-e Re’alizm, telah memberikan kritik tajam terhadap materialisme-dialektikal yang didasarkan pada prinsip-prinsip “filsafat realisme” yang tak lain adalah pertumbuhan dan kesinambungan filsafat transenden (al-hikmah al-muta’aliyyah) Mulla Sadra. Buku pertama, dalam bidang ini, diulas oleh salah seorang murid cemerlang Allamah Thabathaba’i, Murtadha Muthahhari, yang juga mengkritik berbagai mazhab filsafat Eropa modern dalam karya-karyanya. Filosof-filosof Islam tradisional dari Iran juga telah menggarap karya-karya berkenaan dengan masalah-masalah yang dimaujudkan oleh ilmu dan filsafat Eropa dari sudut-pandang filsafat Islam, seperti Knowledge by Presence oleh filosof kontemporer termasyhur, Mahdi Ha’iri Yazdi.
Falsafatuna, Bahasa Indonesia[/caption]Falsafatuna termasuk dalam jenis tulisan ini. Buku ini membahas teori pengetahuan (epistemologi), hakikat dan hukum alam (ontologi). Dengan mendasarkan diri pada nilai positif dan peran logika, dan menggali secara ekstensif dari tradisi filosofis Islam, penulis mengkritik empirisisme, materialisme-dialektikal dan mazhab-mazhab pemikiran lainnya yang meruyak di dunia modern saat ini. Beliau berupaya menjelaskan landasan semua pola pemikiran itu dan ideologi-ideologi yang telah melanda dunia Islam semenjak abad 19 dan yang telah menggelapi pandangan Islam tentang realitas yang didasarkan pada supremasi Allah dan pengetahuan yang membawa kepada-Nya.
Muhammad Baqir Al-Sadr sendiri tidak akfab dikenal sebagai filosof, ia juga tidak tercatat mengenyam studi khusus di bidang filsafat Islam. Tetapi, pengalaman mempelajari berbagai sistem filsafat Islam menghasilkan sebuah buku yang hingga kini masih aktual dan relevan dibaca. Namun perlu kiranya ditegaskan bahwa Baqir Al-Sadr sesungguhnya seorang ulama tradisional yang hidupnya dihabiskan untuk mempelajari secara khusus ilmu-ilmu tradisional keislaman seperti: Fiqih, Ushul Fiqih, Riwayat, Dirayat, Rijal, Tafsir.
Namun dari dua ilmu ini pula ia produktif melahirkan berbagai karya ilmiah di berbagai bidang ilmu keislaman dan sekuler (non-agama). Selain Falsafatuna, ia juga menulis Iqtishaduna, Rasalatuna, bahkan Al-Usus Al-Manthiqiyyah li Al-Istiqra’, sebuah buku logika yang berupaya mengajukan pemecahan masalah utama induksi melalui kalkulus probabilitas (hisab al-ihtimalat). Para muridnya melaporkan bahwa ia sudah berencana akan menyusun sistem sosial Islam, yaitu Mujtama’una.
Falsafatuna terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dalam bahasa Arab. Cukup cepat meraih sambutan di dunia Islam maupun di dunia Barat hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris juga ke dalam Bahasa Indonesia. Salah satu fokus buku ini, dan mungkin fokus utamanya, ialah tanggapan kritis terhadap filsafat Eropa yang pada dekade 60-80 didominasi oleh paham Kapitalisme dan Sosialisme. Sebagai seorang Muslim, Baqir Al-Sadr komit untuk menganalisis kritis dua paham Barat itu dengan perspektif Islam. Meski boleh jadi pad awalnya ditujukan pada pemuda sekuler di Irak, Falsafatuna juga digagas dalam menanggapi pertumbuhan ide-ide komunis.
Seperti diungkapkan Nossein Nasr, Falsafatuna adalah buku berpengaruh dan banyak sekali dibaca di Dunia Arab. Dalam perjuangan-perjuangan masa kini di berbagai negeri Islam, dan antara dunia Islam dan Barat, tak ada kebajikan yang lebih tepat, dan sekaligus sangat dibutuhkan, selain pemikiran yang jelas dan terang, kesadaran, objektivitas dan ketakberpihakan di dalam dunia yang diciptakan oleh wahyu dan kebajikan-kebajikan Qur’ani yang senantiasa mewataki pemikiran Islami yang otentik.
Lebih lanjut Nasr menuturkan bahwa buku ini termasuk karya kontemporer yang langka yang berupaya melestarikan banyak dari karakteristik-karakteristik tersebut. Karena itu buku ini patut dikaji sebagai dokumen penting yang mengungkapkan aspek-aspek penting tertentu kehidupan intelektual Islam kontemporer dan suatu tipe respon dari satu mazhab pemikiran penting dalam Islam – suatu dunia yang, meskipun telah dirundung kejadian-kejadian selama dua abad silam, tetap hidup, baik secara spiritual maupun intelektual – terhadap serangan dahsyat Barat dewasa ini.
Bagian pertama dari buku ini menguraikan tentang Teori Pengetahuan (Epistemologi). Bab pertama menjelaskan sumber pengetahuan manusia. Baqir Al-Sadr menjelaskan doktrin Platonis tentang rekolaksi, teori rasionalisme, teori empirisme, dan akhirnya teori abstraksi dalam tradisi Islam. Sadr membantah doktrin Platonis dan mendukung Rasionalisme. Menurutnya, ide-ide bawaan yang ada di dalam jiwa berupa potensial dan mereka memperoleh kualitas yang sebenarnya dengan pengembangan dan integrasi mental jiwa.
Baqir Al-Sadr menyatakan bahwa empirisme tidak memberikan penjelasan yang logis untuk kausalitas. Filosof seperti George Berkeley dan David Hume tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan untuk hubungan kausalitas yang semata-mata atas dasar persepsi akal. Baqir Al-Sadr kemudian menjelaskan sikap dari aliran positivisme sebagai perpanjangan dari empirisisme. Ia menjelaskan bahwa dalam hal ini, usaha kaum positivis menentang diri sendiri dengan cara mereka meminjam gagasan metafisis untuk menghancurkan gagasan metafisika.
Buku ini dengan sangat rinci mendudukan hubungan antara Tuhan, materi dan filsafat melalui sebuah pendekatan yang tidak dualistik dan oposisi antara rasio dan alam semesta (rasional-empiris); bahwa Tuhan adalah realitas objektif yang pertemuan dengan-Nya dibangun secara konsepsi (rasional) dan dinilai dalam realitas objektif. Tuhan adalah kebenaran objektif yang diterima manusia sebagai makhluk berkesadaran. Jadi, Tuhan adalah dasar dan tujuan pengetahuan (jiwa) manusia (filsafat psikologi).
Seperti disinggung Nasr, Falsafatuna haruslah disambut hangat oleh mereka yang berminat kepada pemikiran Islam kontemporer, dan juga mereka yang peduli terhadap situasi kontemporer Dunia Muslim. Tulisan-tulisan beliau mengandung makna teologis dan filosofis, sebab beliau adalah intelektual penting dalam kehidupan Islam kontemporer, satu figur yang karya-karyanya melampaui sekadar semata polemik dan retorik.
Penting dicatat bahwa tak seperti banyak pembaru Islam dewasa ini, Allamah Muhammad Baqir Al-Shadr menekankan pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis dan teologis yang tangguh sedemikian sehingga mampu memerangi kekuatan-kekuatan sekularisme dan agnostisisme. Buku ini didasarkan pada pemaparan intelektual yang kuat, bukan pada sekadar makna eksternal wahyu yang ditopang pelecehan terhadap logika dan pemahaman intelektual.(dirangkum dari berbagai sumber).[af]