Fatwa Imam Khamenei tentang Tatbir
Bila kita searching kata “tatbir” di google, tertulis di wikipedia.org dalam bahasa Inggris dengan keterangan bahwa: itu merupakan ekspresi berkabung dari kaum muslim Syiah untuk al-Husain cucu Nabi Muhammad (saw) beserta putra-putra dan para sahabatnya yang dibantai oleh khalifah Yazid dari bani Umayah. Kemudian menambahkan: Masalah tatbir (melukai badan) diperselisihkan di kalangan ulama Syiah. Sebagian mengharamkannya karena menyebabkan kerusakan, tetapi sebagian lain membolehkannya.
Lebih lengkap lagi keterangannya bila dengan kata “تطبير” yang berarti melukai diri sampai berdarah, bahwa tatbir adalah upacara ritual kaum muslim Syiah Itsna Asyariah –yang ditolak oleh sebagian mereka. Tatbir termasuk syiar husaini untuk mengenang peperangan Karbala, di dalamnya yang terbunuh antara lain Husain putra Ali dan saudaranya, Abbas. Dengan menggunakan pisau atau benda tajam, para peserta –pada hari Asyura dan Arba’in- mengetukkannya di kepala mereka supaya terluka mengeluarkan darah darinya, sambil yel “haidar”.
Itulah tentang tatbir versi wikipedia.org, dan sebagai pembandingnya penulis membawakan versi mayoritas ulama dan maraji’ Syiah, yang dapat kita rujuk pandangan dan fatwa mereka di dalam makalah-makalah atau risalah amaliah mereka terkait masalah ini.
Di dalam penjelasan mereka mencakup hal menolak penisbatan tatbir kepada kaum Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariah). Bahwa tatbir merupakan amalan oknum-oknum Syiah dari kalangan ekstrim, yang dalam sejarahnya dan sampai kini dimanfaatkan oleh musuh barat dalam mencoreng agama Islam.
Hari berkabung
Berkabung atas cucu Nabi saw, al-Husain, yang syahid terbunuh di Karbala, menurut riwayat-riwayat tak hanya terjadi pasca Asyura 61 H. Tetapi bahkan Rasulullah saw, Imam Ali dan Sayidina Hasan as di masa hidup mereka, pun berduka dan menangis bila mengingat musibah besar yang akan menimpa Abu Abdillah as di masa sesudah mereka.
Pasca kesyahidan Imam Husein, sembilan imam Ahlulbait as dari anak keturunan beliau di sepanjang hidup mereka bila memasuki bulan Muharam, dari hari pertama sampai hari kesepuluh, mereka berkabung. Tak terlihat kegembiraan di wajah mereka, karena rasa duka mereka yang mendalam.
Kesedihan dan tangis manusia-manusia suci itu membuat para sahabat mereka sedih dan menangis. Pada hari-hari berkabung itu, para pecinta Ahlulbait Nabi dari kalangan ulama, tokoh masyarakat dan awam mengadakan majlis-majlis duka, khususnya dan puncaknya pada hari Asyura. Di dalamnya mereka dapat ekspresikan rasa duka mereka, melalui pelantunan syair-syair ma`tam dan slogan-slogan husaini dengan menepuk dada, misalnya.
Ungkapan dalam Peringatan Asyura
Ungkapan berkabung harus memiliki dua segi: yang pertama, ialah segi muatan dan perkara yang disampaikan. Dari segi ini, apa yang disampaikan tidak seharusnya bertentangan syariat, seperti kebohongan, melampaui batas (ghuluw), menjatuhkan mazhab dan kedudukan Imam serta harga diri kaum mu`min dan orang yang berkabung.
Lebih jelasnya, perkara-perkara yang disampaikan harus memiliki landasan dan sandaran, dan tidak berseberangan dengan akidah serta apa yang diinginkan Ahlulbait as.
Yang kedua, mengenai bagaimana berkabung tidak boleh disertai dengan perbuatan yang haram, seperti musik yang haram, dan dengan hal yang dapat menistakan mazhab. Artinya, tidak seharusnya para peserta peringatan Asyura melakukan hal yang dieksploitasi oleh musuh-musuh Islam. Mereka melakukan propaganda yang buruk terhadap Ahlulbait as dan Syiah.
Praktek Melukai Fisik
Ekspresi berkabung seperti dengan memukulkan rantai ke punggung atau memukul dada sampai membiru, tidak masalah jika tidak membawa bahaya yang signifikan bagi badan.
Tetapi lebih dari itu, musuh-musuh Islam mengekploitasi dan memanfaatkannya secara negatif, seperti melukai diri atau melukai fisik, atau seperti melompat di atas api dan sebagainya, praktek semacam ini menjadi problem. Karena tidak ada landasan dan sirah yang mendasarinya.
Fatwa Ayatollah Uzhma Sayed Ali Khamenei
Di dalam “Ajwibah al-Istifta`at” terdapat beberapa soal jawab terkait hukum melukai diri, antara lain:
1-Soal no:1441 mengenai hukum penggunaan rantai yang berpisau di majlis berkabung, beliau menjawab bahwa penggunaan alat ini tidak boleh apabila menyebabkan penistaan terhadap mazhab, atau bahaya pada fisik.
2-Soal no 1460 menyinggung amalan ritual seperti tatbir pada hari Asyura, dijawab bahwa semua perbuatan yang berbahaya bagi seseorang, dan atau menyebabkan penistaan terhadap agama dan mazhab, adalah haram. Kaum mu`min harus menjauhinya. Tak samar bahwa kebanyakan perkara ini mencoreng dan menistakan mazhab Ahlulbait as, dan hal ini termasuk bahaya yang paling besar.
3-Soal no 1461, bagaimana jika tatbir dilakukan secara tertutup? Jawaban beliau, dalam bagaimanapun tidak boleh. Dengan alasan: Pertama, tatbir tidak dipandang oleh‘urf sebagai ekspresi kesedihan. Kedua, tidak ada sejarahnya baik di masa para imam (as) maupun di masa sesudah mereka, dan tidak pula ada dukungan secara khusus atau umum tentang itu dari seorang ma’shum. Ketiga, di masa kini menyebabkan penistaan dan pencorengan terhadap mazhab.
4-Soal 1462 mengenai tolok ukur bahaya pada raga maupun pada jiwa, menurut beliau adalah bahaya yang (siginifikan dan) menjadi atensi urf.
5-Soal 1463, penepukan rantai ke badan (punggung) seperti pada biasanya, tidaklah masalah apabila urf memandangnya sebagai ekspresi duka dalam berkabung.
M.Ilyas